Pekerja Perempuan Menghadapi Dampak Terbesar Akibat Pandemi Covid19
Krisis ekonomi yang terjadi di berbagai negara selama pandemi Covid-19, diyakini melipatgandakan beban kerja perempuan, baik dalam karier profesional, maupun di rumah tangga.
Walau mayoritas sektor usaha yang terdampak pandemi merupakan bidang penyerap pekerja perempuan terbanyak, sebagian besar penduduk Indonesia menilai perempuan tidak lebih berhak terhadap lowongan pekerjaan ketimbang laki-laki.
Hasil survei yang dilakukan badan riset asal Amerika Serikat itu menempatkan Indonesia sejajar dengan Turki, Filipina, dan Nigeria. Seperti pada banyaknya perempuan yang memiliki lebih baik bila dibandingkan dengan pria.
Seperti banyak perempuan yang memiliki karier cemerlang, Simone Ramos merasa harus bekerja lebih berat untuk meraih kesuksesan ketimbang laki-laki.
Situasi itu dihadapinya ketika sukses menjadi manajer pelaksana sekaligus manajer audit risiko di sebuah perusahaan asuransi.
“Pada awal karier, saya menyadari bahwa saya suatu hari saya harus keluar dari pekerjaan ini, saya harus belajar lebih banyak. Akibatnya saya harus membuktikan kapasitas diri tiga kali lebih keras dibandingkan laki-laki manapun,” ujarnya kepada BBC.
Ramos saat ini juga menjadi penasihat untuk asosiasi pekerja perempuan di bidang asuransi di Brasil. Dia akan menerbitkan buku terkait isu ini, Oktober mendatang.
Ramos ingin berkata kepada para perempuan muda bahwa mereka dapat mencapai puncak kesuksesan dengan fokus, determinasi, dan target masa depan yang jelas.
Namun seperti para ahli lainnya, Ramos mencemaskan tekanan berlebihan yang ditanggung perempuan selama pandemi Covid-19. Ia masih bertanya-tanya, apakah itu akan berdampak buruk bagi para pekerja perempuan.
Pandemi ini juga telah membuat banyak keluarga menghadapi kesulitan. Para orang tua diharuskan bekerja dari rumah. Pada saat yang sama, mereka juga harus mengurus anak yang sekolah di rumah serta anggota keluarga lainnya.
Merujuk laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada situasi seperti ini perempuan harus menanggung tiga perempat pekerjaan rumah tangga tanpa bayaran.
“Bukan rahasia bahwa para ibu yang paling sering mengasuh anak dan melakukan pekerjaan domestik di keluarga,” kata Justine Roberts, pendiri dan pimpinan Mumsnet, sebuah jejaring komunitas orang tua daring terbesar di Inggris.
Roberts berkata, realita ini menumpuk tekanan pada perempuan. Akibatnya, para ibu rumah tangga berpotensi mengalami stres.
“Para ibu khawatir mereka akan kehilangan pekerjaan atau mendapat masalah di kantor karena tidak menunjukkan kinerja yang baik seperti masa sebelumnya,” ujar Roberts.
“Bahkan jika para perempuan menilai pekerjaan atau penghasilan mereka cukup aman, sebagian besar dari mereka mengaku tidak bisa menanggung beban itu dalam waktu lama,” tuturnya.
Ramos menyebut bahwa perempuan secara tradisional harus menjalankan ‘shift kerja kedua’ di rumah, ketika jam kerja profesional mereka selesai.
Menurutnya kesehatan mental seperti ini bakal mendorong mereka, untuk mempertimbangkan pengunduran diri dari kantor. Baik permanen atau sementara selama pandemi.
“Kita sungguh perlu membuat solusi terhadap situasi yang dihadapi para perempuan di tempat kerja,” kata Allyson Zimmermann, direktur Catalyst, kelompok sipil yang berkolaborasi dengan perusahaan untuk mengatasi persoalan pekerja perempuan.
Menurutnya sistem yang ada saat ini sudah tidak relevan. Jika Anda perhatikan, perusahaan sebenarnya berkepentingan menemukan situasi normal baru di tempat kerja selama pandemi Covid-19.
Catalyst selama bertahun-tahun menelusuri karier sekitar 10.000 perempuan dan laki-laki yang mendapat gelar master dari sekolah bisnis di Asia, Kanada, Eropa, dan Amerika Serikat.
Dalam riset itu, Catalyst mengamati rendahnya opsi kerja yang fleksibel mempengaruhi motivasi para karyawan perempuan, terutama ketika mereka memiliki status baru sebagai ibu rumah tangga.
Catalyst mengatakan ada bias kebijakan yang memperlambat kemajuan perempuan di semua level karier. Namun ada juga sejumlah bias kebijakan yang memperlambat karier perempuan, baik dari sisi pengalaman maupun status memiliki anak atau tidak.
Dalam riset Catalyst, misalnya perempuan berpeluang memulai karier dari posisi yang lebih rendah ketimbang laki-laki, walau memiliki titel pendidikan serupa.
Demikian pula halnya dengan lembur seperti sebagaimana tertuang dalam hasil riset itu, akan menggenjot karier pekerja laki-laki. Keuntungan itu tidak didapatkan pekerja perempuan.
Laki-laki lulusan sekolah bisnis dalam seketika akan mendapat gaji yang lebih besar, setelah mereka berpindah perusahaan. Namun perempuan dengan titel yang sama baru akan mendapatkan kenaikan upah jika mereka bisa meyakinkan atasan.
“Perempuan harus secara terus-menerus meningkatkan kinerja, sedangkan laki-laki mendapat promosi berdasarkan potensi diri,” kata Zimmermann.
“Ada persepsi, jika perempuan melakukan hal yang sama seperti yang dikerjakan laki-laki, mereka akan mendapat keuntungan. Tapi sejujurnya, itu tidak terjadi. Perempuan sering menghadapi standar yang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Itu adalah bias yang ada tanpa disadari,” ujarnya.
Sebuah penelitian terbaru di AS menunjukkan, bias semacam itu sangat bisa muncul kembali ketika krisis ekonomi terjadi.
Perempuan yang berusaha masuk dewan direktur perusahaan menghadapi tantangan yang lebih besar saat tempat kerja mereka bergelut dengan krisis.
Setelah menganalisis 50.000 pemilihan anggota dewan di 1.110 perusahaan terbuka selama tahun 2003 hingga 2015, para peneliti menemukan bahwa pemegang saham senang mendukung direktur perempuan. Syaratnya, segala hal harus berjalan normal.
Bagaimanapun, jika perusahaan bermasalah atau diterpa krisis, mereka akan menarik dukungan mereka dari kandidat direktur perempuan.
Para perempuan itu dihadapkan pada standar yang lebih tinggi ketimbang kolega laki-laki mereka, dan lebih berpeluang keluar dari perusahaan itu beberapa tahun setelahnya.
Corinne Post, peneliti dari Lehigh University di AS, berkata kepada BBC, najwa untuk saat ini sulit menemukan penjelasan lain, selain tentang keraguan pada komitmen perempuan atau apakah mereka akan benar-benar bekerja keras.
Steve Sauervald, ilmuwan dari University of Illinois, di AS, menyebut kajian lainnya yang menunjukkan bahwa keberagaman berpengaruh pada capaian perusahaan.
Namun demikian hasil itu harus didasarkan pada minimnya penipuan dan perilaku yang lebih beretika. Kondisi itu memberi perusahaan keunggulan untuk bersaing di pasar yang dinamis.
Arjun Mitra, peneliti dari California State University, berkata bahwa perusahaan merusak bakat pekerja perempuan saat mereka seharusnya mendulang keuntungan dari kualitas kepemimpinan perempuan.
“Itu mengirimkan sinyal yang kuat bahwa perusahaan tidak begitu mendukung perempuan menjalankan peran sebagai pimpinan,” tutur Mitra.
Perempuan bekerja di supermarket, virus corona,covid-19Getty ImagesPandemi virus corona mempengaruhi perempuan berpenghasilan rendah.
Selama 50 tahun terakhir, kesetaraan gender berkembang secara positif di berbagai negara.
Namun menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), terdapat negara yang membutuhkan setidaknya satu abad lagi untuk menyeimbangkan hak pekerja laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian sebenarnya pandemi Covid-19 juga sudah berdampak terhadap para perempuan berpenghasilan rendah.
Krisis ekonomi yang saat ini terjadi lebih berdampak pada pekerjaan perempuan, ketimbang laki-laki. Penyebabnya, pandemi memukul lapangan kerja yang didominasi perempuan seperti sektor jasa akomodasi, pangan, manufaktur, dan penjualan.
Di Amerika Tengah, 59% perempuan bekerja di sektor-sektor tadi. Di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, persentasenya mencapai 49% dan 45%.
Di AS, tingkat pengangguran perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
“Krisis sebelumnya menunjukkan, ketika perempuan kehilangan pekerjaan, beban mereka di pekerjaan tak berbayar meningkat. Dan ketika lowongan yang tersedia minim, perempuan kerap menolak peluang kerja yang tersedia untuk laki-laki,” tulis ILO dalam pernyataan resmi.
Menurut data dari Organisasi Buruh Internasional setidaknya empat puluh persen dari tenaga kerja perempuan bekerja di empat sektor yang paling terpukul selama pandemi
Di banyak negara, terdapat pandangan yang kuat bahwa perempuan memiliki hak yang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan daripada laki-laki. Kecenderungan itu muncul dalam survei di 34 negara, yang diterbitkan Juni lalu oleh US Pew Research Center.
Para responden diminta menjawab, apakah laki-laki semestinya mendapat lebih banyak hak untuk bekerja dalam krisis ekonomi.
Sekitar 80% responden di India dan Tunisia setuju dengan pernyataan itu. Sementara di Indonesia, Turki, Filipina, dan Nigeria, persentasenya mencapai 70%.
Di Kenya, Afrika Selatan, Lebanon, dan Korea Selatan, lebih dari 50% responden setuju. Adapun persentase di Brasil, Argentina, Rusia, Ukraina, dan Meksiko, mencapai 40% atau nyaris mendekati rata-rata global.
Juliana Horowitz, asisten direktur PEW di bidang tren demografi, menyebut ada tensi yang ketidaktulusan di negara yang masyarakatnya mengklaim mendukung kesetaraan gender. Mereka, kata Horowitz, yakin laki-laki lebih berhak terhadap lapangan pekerjaan ketimbang perempuan.
“Ini sepertinya menunjukkan peluang yang dimiliki perempuan saat banyak negara mengalami krisis akibat pandemi,” ujarnya.
Tetapi apa pun dampaknya, pandemi Covid-19 pada akhirnya akan berlalu. Ramos yakin itu akan memberi jalan kepada ‘realitas baru’ yang sudah mulai diadaptasi dunia bisnis.
Ramos yakin, banyak perusahaan sudah mulai mengambil ‘citra penuh kasih’ dan akan menawarkan opsi kerja yang lebih fleksibel agar sesuai dengan keadaan personal karyawan.
Luciana Barros, pimpinan eksekutif perusahaan manajemen aset dengan portofolio global senilai US$1 miliar (sekitar Rp14.476 triliun), berkata kepada BBC,
“Saya pikir kita akan mundur satu langkah dan maju dua langkah.” jelasnya.
Barros mengatakan, perempuan semakin sadar tentang pentingnya karier ‘untuk membebaskan dan memenuhi’ jiwa mereka. Akibatnya, perjuangan untuk kesetaraan gender tidak berakhir di titik ini.
Namun banyak orang percaya bahwa pasar kerja pasca-pandemi, akan lebih penting lagi bagi perempuan untuk menguasai karier mereka, dan mempertanyakan apakah perusahaan yang mereka inginkan berjuang untuk nilai dan etika tersebut.
Menurut Zimmermann dirinya sering memberi tahu mahasiswi ilmu bisnis, untuk melihat apa yang terjadi di puncak perusahaan sebelum mereka melamar pekerjaan di sana.
“Ketika Anda mencari perusahaan Anda, Anda tidak mencari kesempurnaan, tapi kemajuan. Jika Anda tidak melihat diri Anda terwakili dalam struktur kepemimpinan, atau jika Anda tidak melihat bahwa mereka secara aktif bekerja menuju hal itu, maka saya akan mencari di tempat lain,” kata Zimmermann.
Sumber/foto : bbc.com/detik.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS