Hati-hati, Karantina Bisa Memperburuk Kondisi Kejiwaan Seseorang
Mengingat penyebaran Covid-19 yang semakin cepat dan meluas, banyak negara dan pemerintahan mulai mengeluarkan beragam kebijakan kepada masyarakatnya untuk melakukan karantina diri. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak terkena penyakit tersebut, juga menghentikan penyebarannya.
Kegiatan karantina tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda bagi setiap orang, namun pada intinya adalah sama yakni tetap berada di rumah, serta berusaha menghindari aktivitas atau kondisi keramaian. Hal ini juga berlaku bagi karyawan dalam perusahaan, sehingga kemudian menimbulkan konsep Work From Home (WFH). Yaitu karyawan yang melakukan pekerjaannya secara remote working, atau tanpa kehadiran secara fisik di kantor.
Namun demikian menurut beberapa pakar psikologi, kegiatan karantina diri juga bisa berefek pada psikologis seseorang. Karena berdiam diri dirumah dengan waktu yang lama, terutama bagi mereka yang sering melakukan aktivitas di luar, akan menyebabkan seseorang tersebut jenuh bahkan stres.
Vinita Mehta, Ph.D., Ed.M., psikolog klinis mengatakan bahwa , terpisah dari sebagian besar orang lain dan dalam isolasi untuk kebaikan masyarakat dapat menimbulkan berbagai kerugian yang signifikan bagi setiap orang maupun kelompoknya
.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Samantha Brooks dan rekan-rekannya dari Kings College London, mereka telah melakukan berbagai ringkasan atas efek psikologis dari seseorang yang dikarantina. Diantaranya adalah :
1. Prediktor dampak psikologis sebelum karantina, yaitu memiliki riwayat kejiwaan dikaitkan dengan kecemasan dan kemarahan empat hingga enam bulan setelah dibebaskan dari karantina. Selain itu petugas layanan kesehatan yang dikarantina menunjukkan gejala stres pasca-trauma yang lebih parah, dibandingkan dengan anggota masyarakat yang dikarantina.
2. Stres saat karantina. Dimana masa karantina yang lebih lama dikaitkan dengan gejala stres pasca-trauma, penghindaran, dan kemarahan. Peserta khawatir akan kesehatan mereka sendiri atau ketakutan menulari orang lain. Merasa frustrasi dan bosan selama karantina, karena dikurung, kehilangan rutinitas, dan berkurangnya kontak sosial dan fisik dengan orang lain.
Juga karena kurangnya memiliki persediaan dasar yang tidak memadai misalnya, makanan, air, pakaian, atau akomodasi selama karantina bisa menyebabkan frustrasi. Ini bisa diperburuk apabila mereka tidak memiliki informasi yang memadai, termasuk kejelasan tentang tindakan yang harus dilakukan, tujuan karantina, dan berbagai tingkat risiko terbukti sangat menegangkan.
3. Mengkarantina diri, juga berkaitan dengan ekonomi seseorang. Seperti biasanya mereka bekerja tetapi tidak bisa bekerja karena harus melakukan karantina diriatau ketika mereka bekerja dari rumah dengan upah yang tidak memadai.
Kerugian finansial karena ketidakmampuan untuk bekerja menciptakan kesulitan ekonomi yang serius, dengan dampak psikologis yang bertahan lama. Khususnya kemarahan dan kecemasan bertahan selama berbulan-bulan setelah karantina.
Stigma dilaporkan dengan jelas bahwa peserta mengalami penolakan dan penghindaran oleh orang lain, dan diperlakukan dengan rasa takut dan curiga.
Maka apa yang bisa dilakukan untuk mengimbangi konsekuensi psikologis karantina?. Samantha Brooks juga memberikan beberapa tips yang bisa dilakukan.
Pertama, lakukan karantina sesingkat mungkin atau masuk akal secara ilmiah. Studi menunjukkan bahwa semakin lama karantina, semakin buruk hasil psikologisnya.
Kedua, berikan orang informasi sebanyak mungkin. Orang yang dikarantina takut terinfeksi atau menulari orang lain. Jadi, memastikan bahwa orang yang dikarantina memiliki pemahaman yang kuat tentang penyakit dan tujuan karantina adalah kuncinya.
Ketiga, menyediakan persediaan yang memadai dengan cepat, dan memiliki cadangan rencana untuk apa yang harus dilakukan jika mereka yang karantina kehabisan.
Keempat, kurangi kebosanan dan tingkatkan komunikasi. Panduan yang jelas tentang penanganan dan manajemen stres harus disediakan.
Selain itu, tetap terhubung ke jaringan sosial seseorang bahkan dari jarak jauh membantu menjaga dari kecemasan langsung dan kesusahan jangka panjang. Selain itu, pejabat kesehatan masyarakat harus jelas dengan mereka yang berada di karantina tentang apa yang harus dilakukan jika mereka memiliki gejala.
Kelima, petugas kesehatan membutuhkan perawatan khusus. Mereka sering mengalami stigma dan harus didukung oleh kolega mereka.
Terakhir, altruisme bekerja lebih baik daripada paksaan. Pengingat bahwa karantina membuat orang lain aman, dan bahwa pejabat kesehatan berterima kasih kepada orang-orang karena karantina direkomendasikan. Ini membantu meningkatkan kepatuhan dan mengurangi efek negatif kesehatan mental karantina.(Artiah)
Sumber/foto : psychologytoday.com/verywellmind.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS