Tiga Tips Terbaik dalam Membentuk Tim Kerja Hybrid di Masa Pandemi
Sejak pandemi Covid meluas ke seluruh dunia, banyak organisasi mulai mengadopsi sistem kerja flesible atau sering disebut dengan istilah work from home (WFH). Sebagian lagi memilih sistem kerja hybrid, sebuah penggabungan antara kerja tradisional dengan tatap muka di kantor dengan beberapa hari diantaranya bekerja dari rumah.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh RGF International Recruitment menyebutkan bahwa 61% pemberi kerja di Singapura berniat untuk melanjutkan pekerjaan yang fleksibel setelah pandemi. Sedangkan 65% responden lainnya menganggap bahwa hal ini sebagai faktor kunci untuk keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.
Penelitian lain yang dilakukan oleh The Straits Times juga menemukan bahwa delapan dari 10 pekerja lebih menyukai pengaturan kerja yang fleksibel, sementara satu dari 10 lebih memilih kembali ke kantor secara penuh waktu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar para pekerja lebih menyukai bekerja secara hybrid. Hal ini juga terlihat dari peneitian yang mendapatkan hasil bahwa sebanyak 88% pekerja di Asia Pasifik menginginkan fleksibilitas untuk memilih apakah akan bekerja dari rumah atau kantor. Sementara 82% perusahaan global berniat untuk mempertahankan tenaga kerja hibrida bahkan setelah pandemi, dan hampir setengahnya (47%) akan mengizinkan karyawan untuk bekerja. jarak jauh penuh waktu.
Secara umum pengertian sistem ataupun model kerja hybrid mengacu pada pengertian bahwa karyawan bisa bekerja dari rumah atau kantor sesuai dengan keinginan karyawan dan perusahaan. Ini juga bisa menjadi kombinasi keduanya tergantung pada faktor-faktor seperti industri, sifat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Beberapa organisasi memiliki atau berencana untuk menetapkan hari kerja untuk pertemuan tatap muka atau orientasi karyawan. Yang lain memiliki tim yang terpecah atau jadwal yang berbeda-beda, dan beberapa bahkan memungkinkan karyawan sepenuhnya fleksibel dalam memilih lokasi kerja.
Seperti misalnya sektor perbankan di Singapura, memperkenalkan flexi-work sebagai fitur permanen di luar pandemi COVID-19 tetapi model hibrida yang diadopsi oleh setiap bank berbeda-beda. Misalnya, UOB telah menerapkan kebijakan kerja dari rumah selama dua hari, yang memungkinkan karyawan untuk mengelola pekerjaan mereka berdasarkan ruang yang paling efektif. Demikian pula, DBS menyediakan opsi untuk bekerja dari jarak jauh hingga 40% dari waktu dan akan meluncurkan Lab Hidup yang memadukan konfigurasi ruang kerja fisik dan virtual untuk memfasilitasi diskusi dan kolaborasi lintas tim.
Sementara perbankan lainnya menawarkan tiga pengaturan kerja berdasarkan peran pekerjaan; pekerja kantor secara permanen berbasis kantor karena alasan kepatuhan atau kebutuhan untuk menghadapi klien, pekerja kantor fleksibel terutama berbasis kantor dan dapat bekerja dari rumah satu hingga dua hari per minggu, sementara pekerja rumahan fleksibel memiliki jadwal tetap yaitu setidaknya 50% bekerja dari rumah.
Para pemimpin di industri teknologi juga mengadopsi rasio kerja rumahan yang serupa. Raksasa teknologi Google telah mengumumkan uji coba minggu kerja yang fleksibel di mana karyawan akan menghabiskan setidaknya tiga hari di kantor pada ‘hari kolaborasi’ dan bekerja dari rumah selama sisa minggu itu.
Pengaturan kerja seperti itu memberikan banyak keuntungan seperti pengambilan keputusan yang lebih cepat, produktivitas yang meningkat, dan kepuasan karyawan yang lebih tinggi. Namun, ini hanya mungkin jika dikelola dengan baik.
Berikut adalah beberapa faktor kunci keberhasilan untuk membantu Anda membangun model kerja hybrid yang berkelanjutan.
1.Mendesain ulang proses dan infrastruktur
Model kerja hybrid memerlukan kejelasan tentang peran pekerjaan untuk menentukan tugas mana yang paling cocok untuk dilakukan dari jarak jauh atau di kantor. Beberapa pertimbangan untuk organisasi meliputi:
Meskipun teknologi (misalnya, penyimpanan cloud dan aplikasi kolaborasi) adalah pendorong yang hebat, teknologi memungkinkan karyawan untuk mengakses sumber daya penting sambil bekerja dari jarak jauh dan tim untuk terus menciptakan solusi bersama meskipun secara fisik terbagi. Namun, teknologi saja tidak cukup untuk menjalankan model hybrid kecuali karyawan memiliki keterampilan ulang dan diperlengkapi untuk menggunakan alat dan teknologi guna membantu pekerjaan mereka dan dilatih untuk menyadari keamanan data saat mengakses informasi rahasia dari jarak jauh. Karenanya, teknologi dan peningkatan keterampilan digital harus berjalan seiring.
Selain infrastruktur TI, tata letak fisik kantor juga dapat dikerjakan ulang untuk mengakomodasi pekerja di lokasi untuk berpartisipasi dalam pertemuan fisik dan virtual. Ini mungkin berarti membuat ruang pertemuan yang lebih kecil dan ruang berkumpul yang dilengkapi dengan sistem pemesanan kamar.
2.Membangun kepercayaan di tempat kerja
Selain mengubah hardskill untuk memungkinkan implementasi secara penuh, softskill juga perlu diubah untuk memperkuat dan mempertahankan tenaga kerja hybrid yang berhasil. Pengusaha dan manajer perlu mempertimbangkan:
Manajer sebagai fasilitator utama dari model kerja hybrid perlu dilatih tentang cara mengelola tim tersebut. Misalnya, bagaimana memberdayakan karyawan, mendelegasikan pekerjaan dan menetapkan ekspektasi yang jelas, dan memberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan untuk memberikan hasil. Beberapa manajer mungkin memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku pengelolaan mikro seperti pelacakan terus-menerus aktivitas online atau jam kerja karena mereka merasa tidak memiliki kendali atas karyawan jarak jauh atau bahkan karyawan kantor. Namun, gerakan seperti itu dapat menyebabkan tekanan yang tidak semestinya dan menumbuhkan budaya penyajian yang kontraproduktif.
Sebaliknya, manajer perlu belajar untuk percaya bahwa karyawan mereka melakukan yang terbaik bahkan ketika mereka tidak berada di bawah pengawasan fisik yang ketat dan fokus pada hasil kerja. Salah satu cara efektif untuk mengawasi karyawan adalah dengan menjadwalkan check-in pribadi atau grup untuk mendapatkan pembaruan pekerjaan.
Untuk membantu manajer dalam mengawasi tim hibrida dengan lebih baik dan menumbuhkan budaya kepercayaan, organisasi dapat:
Menetapkan kebijakan pengaturan kerja hybrid yang jelas yang dapat diadaptasi dari kebijakan telecommuting yang ada terkait jam kerja dan ekspektasi perilaku selama jam kerja, dan komunikasikan hal ini dengan jelas kepada semua karyawan.
Mengadopsi sistem penilaian yang adil dan obyektif, dengan standar terukur untuk mengevaluasi kinerja pekerjaan (misalnya hasil proyek dan penyelesaian tugas).
3.Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif
Dengan karyawan yang bekerja di lokasi yang berbeda dan mungkin pada waktu yang berbeda, manajer sangat penting dalam memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Selain melakukan check-in rutin tentang kemajuan pekerjaan, manajer harus menyediakan platform yang aman untuk komunikasi dua arah agar semua karyawan dapat mengangkat masalah atau menyumbangkan pandangan mereka, dengan mempertimbangkan preferensi individu untuk mode komunikasi.
Model kerja hybrid tertentu juga dapat membuat subkelompok karyawan, dengan mereka yang bekerja dari rumah dan mereka yang berada di kantor membentuk klik mereka sendiri. Hal ini berpotensi mengarah pada mentalitas ‘kita’ vs ‘mereka’ yang dapat merusak moral di tempat kerja. Hubungan sosial dan rasa memiliki karyawan juga dapat memburuk jika mereka merasa dikucilkan.
Manajer yang baik akan menciptakan lingkungan yang mendorong inklusivitas, memperkuat hubungan karyawan, dan menjembatani kesenjangan fisik antara mereka yang bekerja dari jarak jauh dan mereka yang bekerja di lokasi. Upaya sadar akan diperlukan untuk menciptakan peluang bagi karyawan jarak jauh dan di lokasi untuk berinteraksi. Misalnya, berikan kolaborasi lintas tim dan mengatur aktivitas ikatan tim melalui beragam pertemuan informal yang bersifat sosial.
Namun demikian tidak ada model kerja hybrid satu ukuran untuk semua. Untuk menerapkan pengaturan kerja hybrid yang berkelanjutan, organisasi harus terlebih dahulu menetapkan tujuan untuk mengadopsi pengaturan tersebut (misalnya untuk menarik dan mempertahankan bakat), menilai kebutuhan organisasi dan karyawan (misalnya melalui survei),
Sumber/foto : humanresourcesonline.com/techcrunch.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS