Cara Mengukur Keberhasilan Model Kerja Hybrid
Setelah 74% perusahaan AS beralih ke model kerja hybrid, kini para pemimpin mengalihkan perhatian mereka untuk mengukur keberhasilan model kerja itu. Model kerja berbasis kantor tradisional cuma ada satu, tetapi banyak cara untuk melakukan pekerjaan hybrid. Dan, apa yang bekerja dengan baik pada budaya perusahaan tertentu mungkin tidak bekerja dengan baik di tempat lain, bahkan dalam industri yang sama. Jadi, bagaimana seharusnya seorang pemimpin mengevaluasi apakah model yang diadopsi itu optimal untuk kebutuhan perusahaan mereka, atau perlu penyempurnaan?
Langkah pertama adalah menetapkan metrik secara jelas. Sayangnya, hanya sedikit perusahaan yang mengukur aspek penting dari transisi kerja hybrid ini. Misalnya, laporan baru dari Omdia menemukan bahwa 54% organisasi mampu meningkatkan produktivitasnya dengan mengadopsi gaya kerja yang lebih hybrid, tetapi hanya 22% organisasi yang menetapkan metrik untuk mengukur peningkatan produktivitas dari kerja hybrid.
Seperti kata pepatah, “Semua yang dapat diukur, dapat dikelola.” Tetapi kutipan keseluruhannya adalah: “Apa yang dapat diukur dapat dikelola, meskipun tidak ada gunanya mengukur dan mengelolanya, dan bahkan jika itu merugikan tujuan organisasi.”
Langkah kedua adalah memilih metrik yang dengan hati-hati agar hal itu bermanfaat bagi kesuksesan organisasi dan dapat diukur secara efektif. Idealnya, metrik itu bersifat kuantitatif dan obyektif. Tetapi, jika perlu bisa secara kualitatif dan subyektif. Memahami dan melaksanakan langkah ini adalah keterampilan penting bagi para pemimpin.
LAKUKAN PENDEKATAN STRATEGIS YANG TEPAT
Dari pengalaman saya membantu 21 organisasi saat melakukan transisi ke pekerjaan hybrid, seluruh jajaran eksekutif harus terlibat secara aktif dalam merumuskan metrik, dan disetujui oleh Dewan Direktur/Komisaris. Tapi, seringkali para eksekutif itu justruyang melemparkannya ke bagian SDM dan meminta mereka untuk mengerjakannya.
Itu adalah sebuah kesalahan. Transisi ke model kerja hybrid adalah keputusan strategis tentang masa depan perusahaan dalam jangka panjang. Ini membutuhkan tperhatian dan kepedulian pada tingkat tertinggi dalam organisasi. Jika tidak, jajaran eksekutif tidak akan terkoordinasi dan gagal untuk mendapatkan pemahaman yang sama tentang apa yang dianggap sebagai “sukses” dalam pekerjaan hybrid. Akibatnya, mereka akan menemukan kekacauan dala kurun enam bulan setelah transisi itu dilakukan.
Untuk menentukan metrik yang terbaik, jajaran eksekutif perlu mengambil jarak dari kesibukan sehari-hari untukmembuat pilihan strategis jangka panjang.
Sebelum dimulai, jajaran eksekutif perlu mengevaluasi metrik awal dengan mengetahui ukuran-ukuran kuantitatif dan objektif serta melakukan survei dan wawancara kelompok dengan karyawan dan manajer tingkat menengah untuk menilai hal-hal yang subjektif dan kualitatif. Meskipun akan muncul banyak data eksternal tentang preferensi kerja hybrid,namun setiap perusahaan memiliki budaya, sistem, proses, serta talenta tersendiri. Dengan demikian, jajaran eksekutif akan menganggap data-data itu sangat berguna saat mengambil keputusan.
MEMAHAMI METRIK MANA YANG PENTING
Berdasarkan pengalaman klien saya, perusahaan umumnya fokus pada berbagai macam metrik yang kurang lebih dianggap penting. Masing-masing metrik ini harus diukur sebelum menetapkan model kerja hybrid secara permanen untuk mendapatkan pondasinya. Kemudian, metrik tersebut perlu dievaluasi setiap kuartal untuk menyempurnakan model kerja hybrid tersebut.
Retensi karyawan adalah metrik yang jelas untuk diukur, baik kuantitatif maupun objektif. Metrik yang terkait seperti rekrutmen malah lebih sulit diukur dan lebih bersifat kualitatif.
Tolok ukur eksternal menunjukkan bahwa pekerjaan jarak jauh bisa memfasilitasi masalah retensi dan rekrutmen karyawan. Jadi, jika jajaran eksekutif memilih untuk mengadopsi kebijakan yang lebih fleksibel, mereka dapat mencantumkan masalah itu pada situs web perusahaan, seperti yang dilakukan salah satu klien saya, Institut Ilmu Informasi di Universitas California Selatan. Bagian SDM pasti akan mendapatkan banyak pertanyaan dari para pelamar pekerjaan yang merujuk pada kebijakan ini, serta calon karyawan yang menunjukkan antusiasme untuk ikut dalam wawancara. Antusiasme seperti itu adalah sesuatu yang bisa diukur.
Kinerja bisa lebih sulit atau lebih mudah diukur, tergantung pada sifat pekerjaan. Misalnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Bureau of Economic Review melaporkan tentang uji acak terkendali untuk membandingkan kinerja insinyur perangkat lunak yang ditugaskan pada model kerja hybrid dengan rekannya yang bekerja WFO. Insinyur yang bekerja dalam model kerja hybrid melakukan coding 8% lebih banyak selama periode enam bulan. Melakukan coding adalah ukuran produktivitas yang terstandarisasi dan objektif.
Hal itu juga memberikan bukti kuat tentang produktivitas yang lebih tinggi dalam beberapa pekerjaan jarak jauh. Jika tidak memiliki pengukuran kinerja yang jelas seperti itu, bisa digunakan penilaian kinerja mingguan reguler dari supervisor. Tetapi, hindari penggunaan program pelacakan perangkat lunak, karena Owl Labs melaporkan bahwa hal itu menyebabkan 45% karyawan merasa stres.
Kolaborasi dan inovasi adalah metrik penting untuk terciptanya kinerja tim yang efektif, tetapi mengukurnya tidaklah mudah. Mengevaluasi masalah ini membutuhkan penilaian yang lebih bersifat kualitatif dari pemimpin tim dan anggotanya. Selain itu, dengan melatih tim dalam tehnik inovasi dan kolaborasi yang bersifat hybrid, kita dapat meningkatkan metrik ini.
Beberapa metrik yang sulit diukur namun penting bagi budaya organisasi dan manajemen talenta adalah moral, keterlibatan, kesejahteraan, kebahagiaan, kelelahan kerja, niat untuk keluar, dan berhenti secara diam-diam.
Ini membutuhkan penggunaan pendekatan yang lebih kualitatif dan subyektif, seperti survei yang disesuaikan secara khusus dengan kebijakan kerja hybrid dan jarak jauh. Sebagai bagian dari survei, ada baiknya kita meminta responden untuk berpartisipasi dalam kelompok fokus seputar masalah ini. Kemudian, dalam grup fokus, kita dapat menggali lebih dalam pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui perasaan dan motivasi karyawan.
Salah satu cara untuk mengukur kesejahteraan karyawan dan kelelahan kerja dalam sebuah metrik adalah dengan menghitung hari ketika karyawan sakit. Dengan mengukur bagaimana perubahan itu disesuaikan dari waktu ke waktu, kita dapat mengevaluasi dampak kebijakan itu terhadap kesehatan mental dan fisik karyawan.
Keanekaragaman, kesetaraan, dan inklusi merupakan metrik yang sering diabaikan, tetapi sangat dipengaruhi oleh model kerja hybrid. Kita tahu bahwa kelompok minoritas sangat menyukai pekerjaan jarak jauh. Jadi, klien saya yang memilih model kerja WFO harus menginvestasikan sumber daya yang besar untuk meningkatkan soal keanekaragaman, kesetaraan dan inklusi ini untuk mengkompensasi hilangnya talenta yang kurang terwakili.
Mengukur masalah keanekaragaman kesetaraan, dan inklusi ini cukup mudah dan objektif. Lihatlah retensi staf dan pemimpin dari kalangan minoritas saat model kerja hybrid diterapkan. Selain itu, pastikan survei yang dilakukan bisa membuat para staf mengidentifikasi sendiri kategori demografis yang relevan, sehingga Anda dapat mengukur masalah ini terkait dengan keterlibatan karyawan, moral, dan sebagainya.
Pengembangan profesionalisme dan kepemimpinan, serta orientasi dan integrasi dari karyawan junior adalah hal terakhir yang perlu diukur. Survei yang dilakuan oleh Dewan Konferensi menemukan bahwa 58% karyawan keluar kerja tanpa dibekali pengembangan profesionalisme yang memadai, dan itu lebih banyak terjadi pada kelompok minoritas. Pengembangan kepemimpinan sangat penting untuk kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Dan orientasi dan integrasi dari karyawan junior merupakan kebutuhan mendasar untuk sukses. Namun sebagian besar perusahaan kesulitan mencari tahu bagaimana melakukan ini dengan baik dalam model kerja hybrid.
Mengukur pengembangan profesionalisme paling baik dilakukan melalui alat yang lebih subjektif, seperti survei dan kelompok fokus. Kita juga dapat menilai seberapa banyak peningkatan kinerja karyawan di mana mereka menerima pengembangan profesionalisme, dan membandingkan hasil penyampaian pembelajaran secara tatap muka dan jarak jauh.
Mengevaluasi pengembangan kepemimpinan itu lebih mudah karena hal itu lebih bersifat kuantitatif dan objektif. Kita dapat menilai seberapa tinggi kesuksesan dari pemimpin yang baru dipromosikan berdasarkan evaluasi kinerja dan penilaian kinerja 360 derajat. Penempatan kerja dan integrasi dari karyawan baru juga memerlukan evaluasi kinerja oleh supervisor untuk mengukur produktivitas mereka.
Setelah memiliki data dasar dari beragam metrik ini, jajaran eksekutif perlu menentukan metrik mana yang paling penting bagi organisasi. Pilih tiga hingga lima metrik teratas, dan bandingkan tingkat kepentingannya terhadap satu sama lain. Dengan menggunakan metrik ini, para pemimpin dapat memutuskan tindakan untuk model kerja hybrid yang paling optimal demi mendapatkan hasil yang diinginkan.
Selanjutnya, tentukan rencana tindakan untuk mengimplementasikan kebijakan baru ini, termasuk menggunakan metrik yang sesuai untuk mengukur keberhasilan. Saat menerapkan kebijakan, jika ternyata metric itu tidak sebaik yang diinginkan, segera revisi kebijakan dan lihat bagaimana revisi tersebut mempengaruhi metrik itu.
Demikian pula, pertimbangkan untuk menjalankan eksperimen untuk membandingkan versi alternatif dari model kerja hybrid itu. Misalnya, kita dapat memilih satu hari dalam seminggu di kantor di satu lokasi dan dua hari di lokasi lain, kemudian lihat juga bagaimana pengaruhnya terhadap metrik itu. Ukur kembali dan revisi pendekatan itu sebulan sekali selama tiga bulan pertama, dan kemudian sekali satu kuartal untuk seterusnya.
Dengan mengadopsi pendekatan ini, klien saya dapat menemukan metrik yang paling efektif untuk ditetapkan sebgai model kerja hybrid yang permanen.
Sumber/foto : fastcompany.com/azure-consulting.com
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS