Antisipasi Patologi Sosial Sebagai Dampak Covid 19
Heru Wiryanto
People-Data Scientist
New Normal yang saat ini adalah suatu budaya yang baru yang terbentuk akibat pandemi covid 19, budaya baru ini mengatur tata cara hidup yang baru yang berbeda dengan normal sebelumnya; seperti menjaga jarak sosial dan fisik, harus memakai masker, hindari kerumunan, mencuci tangan dan hidup bersih serta menjaga Kesehatan.
Mengacu pada pendapat Durkheim bahwasanya suatu permasalahan sosial bisa dikategorikan sebagai patologi atau penyakit ketika permasalahan itu berpotensi meruntuhkan sistem sosial yang sudah mapan. Sistem sosial rentan runtuh bila norma sosial tidak dipelihara oleh anggota masyarakat.
Yang dimaksud dengan Norma sosial adalah seperangkat aturan disertai sanksi-sanksi baik tertulis maupun tidak yang berfungsi memandu kehidupan sosial anggota masyarakat. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa norma adalah apa yang membuat suatu tindakan sosial disebut normal.
Covid 19 adalah virus yang bukan merupakan patologi sosial, tetapi perilaku tidak memakai masker, tidak menjaga jarak, tidak menghindari kerumunan itu perilaku sosial, tidak menjaga kebersihan yang ada dalam protocol penanggulangan covid 19 sehingga melahirkan wabah virus covid 19 yang menular merupakan patologi sosial, sehingga tanpa disadari masyarakat menjadi bagian dari patologi sosial itu sendiri.
Ketika, beberapa pedagang orang di pasar tidak menggunakan masker saat berjualan dipasar dengan alasan “gerah” dan tidak biasa. Ketika ada sekumpulan orang berkumpul dikedai kopi dengan tidak menjaga jarak dalam kurun waktu lama, perilaku kolektif tersebuts sudah merupakan patologi sosial yang akan berujung pada tidak berakhirnya masa pandemik justru lebih menularkan lebih banyak pada orang lain.
Jadi kita memahami Patologi sosial diproduksi oleh perilaku sosial. Perlu dicatat, produksi patologi sosial berlangsung dalam struktur sosial tertentu yang menopang perilaku patologis tersebut. Dengan kata lain, lahirnya patologi sosial tidak lepas dari struktur sosial yang ada. Struktur Sosial yang jelas dan tegas akan mencegah terjadi Patologi Sosial dibandingkan dengan yang longgar dan samar. Sebagai contoh di Kota-kota besar aturan- aturan PSBB diberlakukan ketat, begitu juga di pelosok desa yang memberlakukan ketat ketika ada orang baru dari daerah pandemic langsung diisolasi. Namun pada daerah yang tidak jelas atau “hinterland” yang tidak jelas antara kota dan desa dimana norma sosial menjadi longgar maka aturan-aturan protokol covid tidak menjadi ketat sehingga tidak heran daerahnya menjadi zona merah.
New Normal pada prinsipnya adalah suatu Budaya yang baru. Bierstedt menjelaskan ketiga unsur yang membentuk budaya yakni, Norms(Norma) – Things – dan tatanan Nilai (values). Covid 19 merupakan Things, yang untuk menghadapinya dibentuk norma-norma yang baru seperti dalam Protokol covid 19, aturan perundangan yang berlaku. Nah hendaknya masyarakat juga mengubah tata nilai yang ada jika tidak maka akan terjadi permasahalan sosial. Prof. J.S. Nimpoeno Dipl . Psych melengkapi pendapat Bierstedt bahwasanya interaksi antara Norms dan Things akan membentuk Konsep, Konsep yang baru tentang New Normal yang lengkap dengan segala aturannya. Di lain fihak interaksi antara Things – dan values akan membentuk “Percept”atau persepsi yang terdapat dalam Individu dan bersifat subyektif. Ketidaksesuaian antara Konsep dan Persepsi inilah sebagai cikal bakal terjadinya Patologi Sosial. Persepsi mengenai covid 19 yang salah akan kontra produktif dengan konsep protokol coind 19 tentunya, sehingga muncul contoh perilaku yang tidak menjaga jarak, dan sepeti contoh-contoh yang telah diuraikan, bagaimana beberapa orang yang terindikasi mengidap covid malah berjualan bakso dipemukiman, atau berdagang di pasar sehingga besoknya pasar ditutup selama 4 hari berturut-turut merupakan contoh yang baik ketidak sesuaian antara konsep dan persepsi.
Yang lebih berbahaya lagi ketika Virus Covid 19 bermutasi menjadi Virus Akal Budi ala Richard Brodie… “Virus of the mind” menurutnya virus akal budi bekerja secara diam diam namun cepat dan sigap, dengan menguasai deskit demi sedikit akal budi manusia dan menariknya keberbagai arah yang tak menentu. Virus akal budi mengalihkan perhatian manusia dari apa yang sangat penting dalam hidup kita kepada hal-hal yang bersifat instingtif, kemudian membuat manusia putus asa karena serbuan propaganda sosial media yang tiada akhir, hingga akhirnya manusia tersesat dan putus asa.
Jadi New Normal jangan dijadikan penyemaian virus akal budi, New Normal”yang tentunya bukan berarti Kembali ke kehidupan dan budaya normal yang lama. New Normal bukan berarti kita dengan seenaknya bisa bebas tanpa masker, tanpa menjaga social distance, yang kontra produktif dengan pencegahan covid 19. Karena Ulah virus akal budi, membuat manusia dengan segala daya upayanya mengejar tiga hal yang paling primitif dalam dirinya yakni : Bahaya, Makanan dan Sex.
Jadi mulai tinggalkan budaya Normal yang dahulu dengan apa yang disebut New Normal, Analogikan dengan kupu-kupu yang keluar dari kepompongnya, menjadi individu baru yang beradaptasi dengan pola perilaku budaya yang baru…. dengan ini kita optimis Badai Covid 19 akan berlalu…. Sebaliknya jika tidak bersiaplah untuk berhadapan dengan hantaman badai tsunami covid 19 kedua, badai ketiga dan selanjutnya yang tentunya lebih dashyat lagi. Jadi benar kata sahabat saya kita dihadapkan dalam pilihan “Change to New Normal or Die”.
Foto : truedigitalpark.com