Hanya 22 Persen Gen Z yang Mau Bekerja Kembali ke Kantor Apabila Pandemi Berakhir
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Deloitte tentang Milenial dan Gen Z menyebutkan bahwa ketangguhan generasi tersebut pada saat pandemi menjadi lebih vokal dalam menyerukan perubahan di institusi, dan, terutama tempat kerja.
Perubahan yang diminta oleh karyawan termasuk meningkatkan praktik keragaman dan inklusi, mendukung karyawan wanita, dan memprioritaskan kesehatan mental, untuk beberapa nama.
Menurut Michele Parmelee, Deputi CEO Deloitte Global dan Chief People and Purpose Officer dalam 10 tahun Deloitte melakukan survei Milenial, kehidupan Milenial dan Gen Z telah berubah, tetapi nilai-nilai mereka tetap stabil.
“Mereka telah mempertahankan idealisme mereka, keinginan mereka untuk dunia yang lebih baik, dan keyakinan mereka bahwa bisnis dapat dan harus berbuat lebih banyak untuk membantu masyarakat,” katanya.
Penelitian pada 2021 tersebut melibatkan sekitar 14.655 responden dari Milenial dan 8.273 Gen Z (total 22.928) yang tersebar di 45 negara di Asia Pasifik, Amerika Utara & Latin, Eropa Barat & Timur, Timur Tengah, dan Afrika.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa Milenial dan Gen Z berharap bahwa mereka dapat menghabiskan lebih banyak waktu di kantor setelah pembatasan dicabut. Banyak yang mengaku bersemangat untuk kembali ke lingkungan kerja formal. Tentunya dengan tetap memperhatikan aspek keamanan dan kesehatan secara ketat.
Namun uniknya hanya seperempat Milenial (25%) dan 22% Gen Z mengatakan mereka ingin lebih jarang bekerja di kantor daripada sebelumnya.
Dalam aspek lain, kurang dari setengah Milenial (47%) dan Gen Z (48%) menganggap bisnis memiliki dampak positif bagi masyarakat. Ini menandai pertama kalinya angka itu turun di bawah 50%. Dari catatan, hampir turun 30 poin sejak 2017.
Hasil survei juga mengungkapkan bahwa mereka akan mempertimbangkan kemungkinan tertentu yang lebih baik, jika ada peluang:
Meninggalkan perusahaan mereka saat ini dalam waktu dua tahun (36% Milenial dan 53% Gen Z; masing-masing meningkat menjadi 31% dan 50% pada tahun 2020);
Tetap bersama perusahaan sekarang mereka saat ini setidaknya selama lima tahun (34% Milenial, 21% Gen Z)
Parmelee mengatakan, selama bertahun-tahun, survei ini secara konsisten menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh para Milenial dan Gen Z didorong oleh nilai dan berorientasi pada tindakan, dan mereka menganggap diri mereka sendiri, dan bisnis, bertanggung jawab.
“Bahkan selama tahun yang sulit, mereka terus mendorong perubahan sosial yang positif. Bisnis yang memiliki visi yang sama dan mendukung upaya mereka untuk menciptakan masa depan yang lebih baik akan menjadi yang teratas.” jelasnya.
Dalam penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa generasi ini juga merasakan stres yang luar biasa akibat pandemi. Survei menunjukkan 41% Milenial dan 46% Gen Z merasa stres sepanjang atau sebagian besar waktu. Urutan pemicu stres mereka adalah faktor keuangan, kesejahteraan keluarga dan prospek pekerjaan mereka di masa depan.
“Stres ini juga menyebar dengan cepat ke tempat kerja,” dikutip dalam survei tersebut.
Sekitar sepertiga dari semua responden—31% Milenial dan 35% Gen Z—telah mengambil cuti kerja karena stres dan kecemasan yang disebabkan oleh pandemi. Hampir setengah dari kelompok ini, bagaimanapun, memberi majikan mereka alasan yang berbeda untuk ketidakhadiran mereka. Alasannya, menurut survei karena adanya kemungkinan stigma yang terus berlanjut seputar kesehatan mental di tempat kerja.
Selain itu disebutkan pula bahwa hanya 38% Milenial dan 35% Gen Z yang merasa cukup nyaman untuk berbicara secara terbuka dengan atasan tentang stres yang mereka rasakan. Sekitar dua dari lima (40%) mengatakan bahwa perusahaan tidak banyak melakukan hal yang positif dalam mendukung kesehatan mental mereka selama pandemi.
Menurut Parmelee membina tempat kerja yang terbuka dan inklusif di mana orang merasa nyaman berbicara tentang stres, kecemasan, atau tantangan kesehatan mental lainnya yang mereka alami sebenarnya sangat penting.
“Untuk itu seharusnya pengusaha memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan karyawan dan memungkinkan mereka untuk berkembang lebih jauh lagi.” jelasnya.
Sumber/foto : humanresourcesonline.net/shrm.org
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS